Efek
Debat dan Rasionalitas Pemilih Jakarta
Burhanuddin Muhtadi ;
Dosen FISIP Universitas Islam Negeri
Jakarta;
Direktur Eksekutif Indikator
Politik Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Januari 2017
SETELAH
warga Jakarta dibingungkan oleh hasil beberapa lembaga survei yang
menghasilkan prediksi yang berbeda-beda, tiga survei terakhir yang dilakukan
oleh Indikator Politik Indonesia, Populi, dan Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC) menghasilkan kesimpulan seragam: elektabilitas Basuki T Purnama
alias Ahok mulai menanjak kembali dan melemahnya tren elektabilitas Agus
Harimurti Yudhoyono. Survei Indikator pada 12-20 Januari 2017, misalnya,
menunjukkan tren elektabilitas Ahok-Djarot meningkat secara signifikan pada
dua bulan terakhir.
Pada
November 2016, elektabilitas petahana ini terpuruk pascakontroversi Surah
Al-Maidah. Tak perlu waktu terlalu lama untuk kembali memuncaki tangga survei
dengan perolehan 38,2% jauh meninggalkan pesaing-pesaingnya. Meski masih jauh
mencapai magic number 50% plus satu sebagai syarat memenangkan dalam satu
putaran, tren pulihnya elektabilitas Ahok-Djarot menyiratkan fenomena
menarik.
Perilaku pemilih
Apa
yang menjelaskan kenaikan elektabilitas Ahok-Djarot? Mengapa elektabilitas
Agus-Sylvi cenderung melemah?
Dengan
menggunakan metode stratified multistage random sampling, margin of error
sebesar 3,8% pada tingkat kepercayaan 95% (dengan asumsi simple random
sampling), survei Indikator yang dilakukan dengan tatap muka ini menguji
faktor-faktor yang dianggap menjelaskan elektabilitas calon jika pilgub
Jakarta dilakukan pada saat survei dilakukan.
Secara
teoretis, banyak faktor yang menjelaskan elektabilitas terhadap pasangan
calon gubernur dan wakil gubernur, di antaranya model sosiologis, psikologis,
dan rational choice atau pilihan rasional. Inti dari model sosiologis adalah
kesamaan karakteristik sosial menentukan pilihan politik. Variabel sosiologis
yang diyakini sebagai prediktor ialah agama, etnik, usia, gender, pendidikan
dan pendapatan (Lazarsfeld, Berelson, & Gaudet, 1944; Berelson,
Lazarsfeld, & McPhee, 1954).
Kemudian
bagi model psikologis, preferensi politik tidak ditentukan oleh variabel
sosiologis demografis, tapi oleh faktor-faktor psikologis. Ukurannya ialah
kedekatan dengan partai pengusung kandidat. Model sosiologis dan psikologis
mengandaikan isu atau program dalam kampanye bukan sebagai variabel penting.
Sebaliknya,
model pilihan rasional menilai penting apakah calon dianggap punya program
atau isu-isu teknokratik dalam menjelaskan elektabilitas calon. Ukurannya
ialah retrospeksi egosentrik dan sosiotropik. Kepuasan terhadap kinerja
petahana menjadi dasar reward and punishment (Downs, 1957; Ferejohn, 1986;
Fiorina, 1981).
Elektabilitas
calon juga bisa ditentukan oleh kualitas personal calon seperti persepsi
pemilih apakah calon jujur/bersih dari korupsi, mampu memimpin, perhatian
terhadap rakyat, ramah dan santun, tegas dan berwibawa, pintar atau
berwawasan dan berpenampilan menarik (Bean & Mughan, 1989; Liddle &
Mujani, 2007; Miller & Shanks, 1996).
Selain
faktor-faktor di atas, ada dua peristiwa penting yang dipercaya punya
pengaruh terhadap elektabilitas calon di pilkada DKI Jakarta: (1) kontroversi
Al-Maidah; dan (2) Debat calon gubernur dan wakil gubernur yang
diselenggarakan oleh KPU dan disiarkan langsung oleh media televisi.
Efek debat dan
rasionalitas pemilih
Dalam
survei ini, karakter demografis dan sosial-ekonomi responden digunakan untuk
melihat efek sosiologis dalam memengaruhi pilihan warga terhadap pasangan
calon. Model psikologis diukur melalui seberapa dekat pemilih Jakarta
terhadap partai. Survei menunjukkan hanya 7,8% pemilih Jakarta yang merasa
dekat dengan partai.
Dalam
analisis regresi logistik multinomial dengan menjadikan elektabilitas
Ahok-Djarot sebagai reference category, model psikologis ini diturunkan dalam
bentuk kedekatan terhadap partai-partai pengusung Ahok-Djarot dan efeknya
terhadap elektabilitas Agus-Sylvi dan Anies-Sandi.
Model
pilihan rasional diukur melalui dua variabel, yakni evaluasi retrospektif
warga bahwa ekonomi membaik atau memburuk dan sejauh mana kinerja Ahok
sebagai petahana dinilai memuaskan atau tidak oleh publik. Dimensi kualitas
personal dinilai dari persepsi pemilih terhadap gabungan citra personal
ketiga calon gubernur.
Sementara
efek debat dinilai dari ketiga pasangan, mana yang dianggap unggul dalam
debat pertama yang diselenggarakan KPU pada 13 Januari 2017. Analisis hanya
dilakukan pada responden yang diwawancarai setelah debat.
Terakhir,
variabel isu Al-Maidah diukur seberapa banyak pemilih yang menilai ucapan
Ahok menista agama. Analisis regresi multinomial pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa evaluasi pemilih atas kinerja Ahok dan performa Ahok dalam debat cagub
berpengaruh signifikan terhadap keputusan memilih calon gubernur-wakil
gubernur. Bila kinerja Ahok memuaskan, pemilih cenderung memilih Ahok-Djarot
ketimbang Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Begitu juga sebaliknya. Bila Ahok
dinilai paling bagus dalam debat, pemilih cenderung memilih Ahok-Djarot
ketimbang Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Begitu juga sebaliknya. Citra personal
Ahok dan isu Al-Maidah juga berpengaruh signifikan, baik dibanding Agus-Sylvi
maupun Anies-Sandi.
Faktor
gender dan pendidikan berpengaruh signifikan jika dibandingkan dengan
Agus-Sylvi, sementara dibanding Anies-Sandi tidak signifikan. Faktor
kedekatan dengan partai koalisi pengusung paslon, dibandingkan dengan
Anies-Sandi berpengaruh signifikan, tapi tidak signifikan dibandingkan
Agus-Sylvi.
Poin
utamanya ialah debat memiliki efek elektoral yang memengaruhi peta
pertarungan di DKI Jakarta. Efek debat ini punya efek signifikan bahkan
setekah dikontrol oleh banyak variabel seperti faktor sosiologis (usia,
gender, etnik, agama, pendidikan, pendapatan), faktor psikologis, faktor
rasional, citra personal Ahok, dan isu Al-Maidah. Terlepas bahwa faktor
emosional (isu Al-Maidah) masih berpengaruh signifikan, tapi saat ini Ahok
tampak mulai keluar dari isu yang sangat kuat menekan dukungannya, yaitu
sentimen primordial terutama agama.
Pada
kelompok agama (Islam, non-Islam), berdasar model, Ahok-Djarot akan cenderung
lebih rendah, baik dibanding Agus-Sylvi maupun dibanding Anies-Sandi, tapi
tidak signifikan. Ini kemungkinan karena publik juga sudah semakin jenuh
dengan isu yang melibatkan Ahok, pemilih yang ingin mengetahui lebih jauh
tentang inti permasalahannya juga sudah tidak bertambah.
Vonis
publik bahwa Ahok telah menistakan agama juga terus menurun, saat ini tidak
mayoritas, terutama dari kelompok muslim. Tingkat kepercayaan publik dengan
pengadilan atas proses persidangan Ahok dan hasilnya kelak juga menunjukkan
sinyal yang sangat positif.
Hasil
survei ini menunjukkan bahwa warga Jakarta rasional. Klaim Agus dan kubunya
yang mengatakan bahwa debat kandidat tak penting terbukti tak punya dasar
empiris. Survei menemukan bahwa 86% warga Jakarta menilai debat sangat atau
cukup penting untuk memberikan pemahaman tentang program para calon.
Di
sinilah letak keunggulan Ahok-Djarot. Pasangan petahana ini unggul, terutama
pada kategori program kerja dan pemahaman atau penguasaan masalah yang
diperdebatkan. Bahkan, pada aspek cara mengomunikasikan gagasan, Ahok-Djarot
juga tak kalah dengan Anies-Sandi menurut publik.
Faktor
kinerja juga menjadi keunggulan Ahok. Sebesar 75% warga Jakarta merasa puas
atas performa Ahok sebagai gubernur.
Publik
juga mengapresiasi kinerja pemerintah provinsi dalam menanggulangi masalah
banjir, sampah, infrastruktur, meski dalam soal mengatasi kemacetan publik
merasa belum puas.
Terlepas
dari pulihnya rating Ahok, elektabilitas petahana belum kembali seperti
sebelum kejadian Al-Maidah. Baru separuh dari yang puas terhadap kinerja Ahok
yang bersedia memilih dirinya jika pemilu dilakukan ada saat survei
dilakukan. Dengan kata lain, masih banyak warga yang puas terhadap kinerja
Ahok, tapi tak menerjemahkan dalam bentuk dukungan elektoral. Ini sekali lagi
menunjukkan bahwa aspek rasionalitas tak seluruhnya bisa menjelaskan perilaku
pemilih.
Terlepas
dari itu semua, warga Jakarta punya modal rasionalitas pilihan yang jauh
lebih baik ketimbang provinsi lain. Tingkat pendidikan dan pendapatan warga
Jakarta beberapa kali lebih tinggi ketimbang wilayah lain. Inilah sumber
rasionalitas pemilih yang membantu memulihkan tingkat dukungan kepada
Ahok-Djarot.
Jika
Agus-Sylvi dan Anies-Sandi ingin lebih kompetitif di hari pemilukada nanti,
kedua pasangan harus mampu menawarkan program yang lebih baik serta
pendekatan rasional yang lebih meyakinkan ketimbang petahana. Ke depan,
persaingan antarkandidat akan semakin bergeser pada adu gagasan, dan debat
publik akan menjadi arenanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar