Textual
Culture
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 20 Januari
2017
Dari
sekian banyak agama, Islam paling menonjol dalam hal menghargai budaya tulis
dan paling kaya warisannya dalam teks keagamaan. Ini bermula dari keyakinan
umat Islam dan bukti sejarah bahwa wahyu dan mukjizat yang diberikan Allah
kepada Nabi Muhammad adalah kitab suci Alquran, bukan mukjizat seperti rasul
sebelumnya berupa peristiwa fisik-inderawi. Misalnya mukjizat Nabi Musa
membelah lautan, Nabi Ibrahim tidak terbakar api, atau peristiwa banjir
semasa Nabi Nuh.
Pada
awalnya Alquran diwahyukan lalu dihafalkan, tetapi perkembangan seterusnya
diabadikan dalam bentuk tulisan. Jadi tradisi lisan dan tulisan berkembang
bareng. Setahu saya tradisi menghafal kitab suci hanya terjadi di kalangan
umat Islam.
Penghargaan
pada teks Alquran begitu tinggi karena Alquran diyakini sebagai firman Tuhan
yang suci dan tidak boleh diubah. Makanya umat Islam sangat teguh membela
kesucian Alquran, termasuk membela teks produk percetakan modern. Yang dibela
substansinya, tetapi kertasnya ikut dimuliakan selagi di situ tertulis
ayat-ayat Alquran. Karena Alquran itu berbahasa Arab, kitab ini sudah
diterjemahkan ke ratusan bahasa lain dengan jumlah eksemplar yang tak
terhitung lagi.
Yang
juga sangat unik dan khas dalam tradisi Islam, Alquran telah mendorong
lahirnya studi ilmu tafsir dan pada setiap zaman muncul ulama tafsir yang
bertujuan menggali dan menemukan mutiara pesan-pesan Alquran yang tersembunyi
di balik kata dan bahasa itu. Makanya kita mengenal ratusan dan ribuan buku yang
berusaha menafsirkan dan menguraikan ayat-ayat Alquran, baik yang utuh 30 juz
maupun sebatas penggalan-penggalan surat dan ayatnya saja.
Di
samping Alquran, munculnya budaya teks datang dari himpunan sabda Nabi
Muhammad yang kemudian ditulis dan terhimpun dalam teks hadis, baik ucapan
Nabi yang diyakini otentik, sahih maupun riwayat yang diangap lemah dan
palsu. Kesemuanya terhimpun sebagai dokumentasi dan objek penelitian untuk
membedakan mana riwayat hadis yang sahih dan palsu. Kenyataan ini ikut memperkaya
dan memperkuat tradisi penelitian, pemeliharaan, dan penulisan teks sebagai
tafsiran dan ulasan atas teks Alquran dan hadis. Karena kedua sumbernya
dianggap datang dari Tuhan, umat Islam sangat memuliakan kitab suci maupun
hadis.
Jadi
pada abad keenam sampai abad ke-13, dunia Islam merupakan masyarakat yang
paling maju, paling mengenal dan menghargai tradisi baca tulis. Ketika dunia
Barat masih dalam kegelapan, dunia Islam telah terang-benderang, bermunculan
pusat-pusat studi keilmuan yang sangat produktif melahirkn teks. Buku-buku
klasik warisan Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang pada urutannya
menyebar ke Eropa.
Namun
perkembangan selanjutnya pusat-pusat kemajuan dunia bergeser. Ketika dunia
Islam cukup puas dengan warisan budaya tekstual dan disibukkan oleh perebutan
kekuasaan politik, Eropa meneruskan apa yang dirintis dunia Islam dalam
bidang ilmu pengetahuan empiris warisan Yunani yang diperkenalkan oleh
ilmuwan muslim. Tidak sekadar mewarisi dan meneruskan, secara kreatif dan inovatif
Eropa mengembangkannya.
Makanya
khazanah teks keagamaan tetap terjaga dalam Islam sampai hari ini, tetapi
kegiatan riset keilmuan empiris telah beralih dan berkembang pesat di Barat.
Umat
Islam terpaku pada pendekatan jadali dan mau’idhoh dalam memaknai dan
mengembangkan Islam. Metode jadali itu sebuah pendekatan debat beradu dalil
dan argumen, sedangkan mau’idhoh itu nasihat berupa ceramah-ceramah, tapi
sangat kurang mengembangkan pendekatan riset empiris dengan menggunakan
instrumen laboratorium. Melemah pula pendekatan bilhikmah atau filosofis
dengan metode burhani atau demonstrative
thinking. Akibatnya wajah dunia Islam tak lagi ditandai sebagai pusat
ilmu pengetahuan dan kajian filsafat yang berdiri paling depan.
Yang
menonjol tradisi ritual dan budaya tekstual keagamaan yang diperdebatkan dan
diceramahkan. Budaya ceramah dan kesetiaan pada tradisi teks sangat kuat,
tetapi tidak diimbangi dengan inovasi sains empiris. Ini juga terlihat di
Indonesia. Akan dianggap kurang Islami kalau sebuah pidato tanpa disertai
teks suci. Semakin banyak menyebut teks akan dinilai semakin Islami. Padahal
kalau kita baca Alquran banyak ayatnya yang menyuruh membaca dan melakukan
rekayasa ayat kauniah atau ayat semesta secara saintifik empiris yang pada
urutannya melahirkan teknologi modern.
Karena
cara berpikirnya seperti itu, banyak yang heran dan protes ketika UIN Jakarta
mendirikan fakultas umum, misalnya Fakultas Kedokteran. Dinilainya itu akan
mengurangi perhatiannya pada kajian Islam. Mereka lupa bahwa Islam menyuruh
umatnya sehat, maka wajib mendirikan Fakultas Kedokteran.
Islam
menyuruh akuntabel dalam transaksi bisnis, maka UIN wajib membuka program
studi akuntansi. Demikianlah seterusnya. Jadi pemikiran dikotomis antara ilmu
agama dan ilmu umum itu dalam Islam hanya dikenal secara epistemologis
sebagai disiplin keilmuan, tetapi bukan sebagai moda kehidupan (way of life) dan moda berpikir (mode of thinking).
Jika
mindset ini tidak berubah, siap-siap saja menghadapi kekalahan atau bahkan
ditaklukkan oleh dunia nonmuslim yang lebih maju dalam bidang sains,
teknologi, dan senjatanya. Dan itu sudah dan tengah terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar