Poros
Maritim Butuh Gebrakan
I Gede Wahyu Wicaksana ; Dosen Hubungan International
FISIP Universitas Airlangga
Surabaya
|
JAWA POS, 20 Januari
2017
TAHUN
2017 menandai separo jalan kebijakan luar negeri pemerintahan Jokowi-JK yang
dibingkai dalam visi misi poros maritim dunia. Indonesia ingin dijadikan
sebagai negara kepulauan dan bangsa maritim kuat, stabil, dan sejahtera
sehingga dapat memainkan peran signifikan di kancah regional Asia Pasifik dan
Samudra Hindia (Indo-Pasifik). Apakah sudah ada gebrakan menuju poros maritim
dunia?
Rencana
aksi poros maritim dunia mencakup lima agenda prioritas. Pertama, mempercepat
upaya diplomasi penyelesaian konflik perbatasan, termasuk wilayah darat,
dengan 10 negara tetangga. Kedua, melindungi teritori laut nasional. Ketiga,
menjaga kekayaan sumber daya alam di dalam zona ekonomi eksklusif. Keempat,
mengintensifkan diplomasi pertahanan. Kelima, mendorong resolusi damai
konflik internasional melibatkan negara-negara besar di kawasan Indo-Pasifik.
Program aksi yang berdimensi kompleks, mulai dari hukum, politik, ekonomi,
keamanan, hingga pertahanan. Karena itu, dibutuhkan sebuah instrumen kerja
diplomasi kreatif, aplikatif, dan efektif.
Masalah
luar negeri yang menjadi salah satu tantangan serius adalah peningkatan
ketegangan antarnegara yang bersengketa di wilayah Laut Tiongkok Selatan.
Eskalasi konflik dipicu oleh tindakan provokatif Beijing yang tidak
menghiraukan hukum internasional, kedaulatan, dan kepentingan negara lain.
Bahkan, pada Maret 2016 sempat terjadi insiden di perairan Natuna yang
diklaim sebagai bagian nine dash line Tiongkok. Respons Jakarta seperti biasa
hanya meliputi tiga komponen, yakni protes kepada Tiongkok yang telah
melanggar yurisdiksi Indonesia, desakan agar Tiongkok mematuhi norma, dan
mengajak semua pihak yang berurusan dengan Tiongkok agar duduk bersama
mencari solusi permanen. Hasilnya, Tiongkok menolak ajakan berembuk secara
multilateral dan tetap kukuh pada pendirian bahwa nine dash line menjangkau pula wilayah Natuna. Artinya, Indonesia
belum berhasil mewujudkan agenda poros maritim di Laut Tiongkok Selatan.
Ilustrasi
hubungan Jakarta-Beijing baru menggambarkan satu persoalan dengan satu negara
tetangga. Yang lain masih banyak. Sebut saja aksi penculikan WNI di Laut
Sulu, perompakan di Selat Malaka, penyelundupan senjata, narkotika, dan
manusia lewat Laut Andaman, hingga isu perlombaan kekuatan angkatan laut di
antara raksasa maritim seperti Amerika Serikat, India, Rusia, dan tentu saja
Tiongkok di Indo-Pasifik. Kesemuanya menyimpan konsekuensi, baik potensial
maupun aktual, terhadap implementasi agenda poros maritim dunia.
Sampai
sekarang belum kelihatan apakah strategi yang dimiliki dan telah dilaksanakan
jajaran diplomasi kita. Publik memahami bahwa banyak hal terkait diplomasi
tidak bisa disampaikan secara terbuka, diliput media, dan dijelaskan dengan
terperinci karena menyangkut aspek kerahasiaan negara serta implikasi taktis.
Namun, paling tidak terdapat tanda-tanda perubahan cara pandang dan penerapan
kebijakan yang dapat diamati sebagai perwujudan agenda poros maritim dunia.
Yang
pertama adalah kualitas kepemimpinan. Sebagai deklarator poros maritim dunia,
Presiden Jokowi seharusnya memberi perhatian dan dukungan lebih besar dan
nyata kepada upaya diplomasi poros maritim. Selama ini presiden justru
menunjukkan sikap pasif dan terkadang kekurangtertarikan terhadap
perkembangan internasional secara umum dan masalah maritim Indo-Pasifik
secara khusus. Kebijakan luar negeri didelegasikan sepenuhnya kepada para
pembantu presiden. Padahal, mereka belum tentu mengerti betul keinginan
Jokowi. Akibatnya, kerap terjadi polemik di antara para menteri dalam
menanggapi suatu permasalahan. Misalkan bagaimana menghadapi ulah Tiongkok.
Ada menteri koordinator kemaritiman yang mempunyai determinasi kuat, memiliki
pengalaman luar negeri, dan kemampuan strategis sehingga cenderung memilih
kebijakan progresif. Sementara menteri luar negeri yang adalah seorang
diplomat karir dengan pengalaman birokrasi diplomasi panjang namun kurang
banyak terlibat dalam urusan strategis Asia Pasifik cenderung menerapkan pola
kebijakan konservatif. Setelah muncul silang pendapat, barulah presiden
bicara dengan nada rekonsiliatif. Jika Jokowi memang benar-benar menghendaki
perwujudan poros maritim dunia, kekompakan tim pembuat dan pelaksana
kebijakan luar negeri mutlak diperlukan.
Kedua,
memosisikan poros maritim sebagai pengejawantahan prinsip bebas aktif. Dalam
hal ini sangat penting untuk menghayati dan mengamalkan gagasan bebas aktif
secara benar. Bebas aktif tidak berarti bahwa Indonesia tidak boleh memihak
kepada kekuatan mana pun dan aktif menciptakan perdamaian serta keamanan
dunia. Cara berpikir keliru. Bebas aktif sebagaimana diamanatkan oleh
Sjahrir, Hatta, Natsir, dan Sukarno adalah Indonesia bebas memilih kawan
asalkan sesuai dengan kepentingan nasional, dan aktif memperjuangkan
semata-mata kepentingan rakyat Indonesia. Poros maritim dalam konteks bebas
aktif berarti Indonesia boleh beraliansi dengan negara mana pun sejauh kerja
sama yang dimaksud bermanfaat bagi bangsa dan negara. Karena itu, mengapa
harus enggan dan ragu dalam menentukan pilihan poros maritim; akan condong ke
Tiongkok ataukah ke Amerika Serikat, atau bahkan dengan India ataukah Rusia.
Sekarang bukan soal antara ideologi kapitalis Blok Barat dan komunis Blok
Timur lagi, melainkan kepentingan nasional objektif dan rasional.
Apalagi,
dalam waktu dekat kepemimpinan baru di Washington di bawah Presiden Donald
Trump segera berdampak. Sinyal kuat sudah diberikan Trump tentang sikap
Amerika kepada Tiongkok akan lebih asertif. Secara umum, kebijakan di
Indo-Pasifik pun akan bergeser mengikuti dinamika relasi Beijing-Washington.
Sementara Jakarta tidak bisa terus memainkan taktik non-blok Amerika maupun
Tiongkok karena Trump hanya memberi dua opsi ’’with the American or
Chinese’’. Siapa yang lebih menguntungkan bagi poros maritim Indonesia,
dialah yang harus dijadikan mitra strategis riil.
Ketiga,
terkait dengan platform institusional ASEAN. Sebagai pendiri sekaligus
anggota dengan kontribusi besar terhadap kemajuan ASEAN, Indonesia belum
mempunyai cetak biru tentang kedudukan serta arti penting ASEAN dalam
diplomasi poros maritim. Fungsi ASEAN hanya melanjutkan kebijakan terdahulu.
Bahkan, Indonesia tidak mampu menyatukan suara ASEAN saat berhadapan dengan
Tiongkok. Menimbang kembali untung rugi keikutsertaan dalam ASEAN bagi poros
maritim jelas perlu dilakukan. Bukan berarti ASEAN harus segera ditinggalkan.
Tetapi, peran strategis ASEAN direalisasikan demi kepentingan nasional
Indonesia, bukan untuk kepentingan negara anggota lain sebagaimana sering
terjadi kalau Indonesia berseteru dengan sesama negara ASEAN. Jakarta
mengalah demi kerukunan ASEAN.
Selain
tiga fondasi diplomasi di atas, barangkali masih ada hal lain yang urgen
dibenahi. Bila memang poros maritim dunia merupakan cita-cita nasional, bukan
retorika politik pragmatis, maka kualitas kepemimpinan, redefinisi prinsip,
dan reposisi institusi diplomasi wajib dilakukan. Mumpung masih ada waktu
sampai 2019. Poros maritim bisa jadi akan muncul sebagai janji yang ditagih
kepada pemerintahan Jokowi-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar