Genealogi
Islam Nusantara
Ahmad Najib Burhani ; Peneliti Senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia
|
KORAN SINDO, 19 Januari
2017
Wacana
tentang Islam Nusantara di lingkungan NU (Nahdlatul Ulama) dan masyarakat
Indonesia secara umum seperti agak meredup belakangan ini. Wacana ini seperti
tergilas oleh isu hoax dan Aksi Bela Islam.
Namun
gairah yang sebaliknya justru muncul dari para pengamat asing. Setidaknya ada
sejumlah sarjana luar negeri yang saat ini mengkaji atau menulis tentang
Islam Nusantara. Di antaranya adalah Greg Fealy (Australia), Stefan Franz
(Belanda), Vinay Kumar Pathak (Singapura), Alex Arifianto (Singapura), Mohamed
Imran Mohamed Taib (Singapura), dan Ermin Sinanovic (Amerika Serikat).
Dalam
market akademik, sepertinya brand Islam Nusantara lebih menarik daripada
Islam Berkemajuan yang diusung Muhammadiyah. Setidaknya baru Syed Khairudin
Aljunied (Singapura) yang secara khusus mendalami karakter Islam Berkemajuan
atau Islam Kosmopolitan sebagaimana tertulis dalam bukunya Muslim
Cosmopolitanism: Southeast Asian Islam in Comparative Perspective (Edinburgh
University Press, 2016).
Memang,
buku ini tidak secara khusus membahas Muhammadiyah. Ia lebih membahas watak
kosmopolitan dari Islam di Asia Tenggara yang bisa dipelajari atau bahkan
diadopsi umat Islam di negara lain. Berkaitan dengan Islam Nusantara, ulasan
yang dilakukan pengamat asing dan aktivis NU lebih banyak berputar seputar
definisi, latar belakang kemunculan, karakter, objek garapan, manhaj
(metodologi), dan implementasinya dalam konteks keislaman, keindonesiaan, dan
dunia yang global.
Satu
hal yang perlu mendapat elaborasi lebih dan menjadi fokus dari tulisan ini
adalah genealogi dari Islam Nusantara itu sendiri dan peran Gus Dur terhadap
lahirnya identitas ini. Secara genealogi, terdapat tiga tahapan penting dari
pembentukan Islam Nusantara setelah kemerdekaan.
Tahap
pertama adalah apa yang terjadi tahun 1950 dan 1960-an ketika para sarjana
asing melihat Islam di Indonesia sebagai distinctive Islam atau Islam yang
beda (dari Timur Tengah atau tempat lain). Namun distingsi di sini lebih
banyak mengacu pada makna negatif, yaitu superficial Islam dan peripheral
Islam (Islam pinggiran).
Islam
di Indonesia dianggap sebagai pinggiran tidak hanya karena secara geografis
Indonesia terletak di pinggiran dunia Islam, tapi juga dari segi substansi
dan kualitas umat Islam Indonesia itu dianggap belum memeluk Islam secara
sempurna. Keislaman mereka hanyalah superfisial.
Islam
hanya menjadi lapisan tipis dari keyakinan keagamaan yang merupakan gabungan
dari animisme, dinamisme, Hindu, dan Buddha. Pendeknya, orang Islam Indonesia
ketika itu dianggap hanya memeluk corrupted Islam atau Islam yang telah
tercemar atau Islam yang tidak murni atau Islam yang tak sempurna.
Inilah
pemahaman beberapa pengamat asing tentang Islam Nusantara pada tahun-tahun
awal Indonesia. Tahap kedua adalah formation of identity atau pembentukan
identitas Islam Nusantara. Ini terjadi tahun 1980 dan 1990-an dengan Gus Dur
(Abdurrahman Wahid) sebagai tokoh yang paling penting.
Pribumisasi
Islam yang ditawarkan Gus Dur adalah pembalikan terhadap berbagai stigma
negatif yang dialamatkan kepada Islam di Indonesia atau Islam Nusantara. Gus
Dur membangunkan keyakinan diri umat Islam Indonesia bahwa keyakinan
keagamaan mereka yang sebelumnyadianggap sebagai heterodoks (menyimpang) itu
sebetulnya tidak kalah ortodoksnya dengan Islam yang ada di pusat Islam di
Mekkah dan Madinah.
Bahwa
Islam di Indonesia itu sama otentiknya dengan Islam di Arab Saudi atau negara
lain. Jika sebelumnya terdapat anggapan bahwa keramahan orang Indonesia itu
karena mereka memeluk corrupted Islam, dengan pribumisasi Gus Dur ingin
menunjukkan bahwa keramahan itu muncul karena mereka memeluk Islam yang
otentik.
Gus
Dur menunjukkan bahwa Islam Indonesia yang damai, merayakan pluralitas,
selaras dengan demokrasi, dan sesuai dengan HAM (hak asasi manusia) itu bukan
berangkat dari keislaman yang sinkretik, tetapi itulah esensi dari Islam.
Singkatnya Gus Dur membangun sebuah identitas Islam Indonesia yang berbeda
dari pengamatan orang asing semisal Clifford Geertz, LMPenders, dan Snouck
Hurgronje.
Tahun
1980- an juga menjadi tahun awal dari kebangkitan kaum nahdliyin dan lebih
percaya diri dengan model keislamannya. Tahap ketiga adalah yang terjadi
belakangan ini, terutama pasca-Muktamar NU 2015 di Jombang. Memang istilah
Islam Nusantara sudah dipakai Jurnal Tashwirul Afkar pada edisi nomor 26
tahun 2008.
Istilah
itu juga sudah dipakai oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Islam Nusantara:
Jaringan Global dan Lokal (2002) yang merupakan terjemahan dari buku
Historical Islam: Indonesian Islam in Global and Local Perspective. Meski
demikian istilah Islam Nusantara yang dipakai NU saat ini memiliki makna
khusus yang berbeda dari pemakaian sebelumnya.
Nusantara
di situ tidak hanya mengacu pada tempat, tapi juga keberagamaan tertentu.
Menurut pengamatan saya, Islam Nusantara bahkan dipahami lebih dari sekadar
identitas sebagaimana yang terjadi pada masa Gus Dur, tapi ini menunjukkan
sebuah exceptionalism. IslamNusantaraadalahsebuah kekhasan atau keunikan yang
tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Ini
bukan hanya karakter ataupun manhaj, tapi sebuah spirit dan penggerak dari
sebuah perubahan. Spirit ini mungkin bisa disandingkan dengan
Americanexceptionalism yang sebanyak apa pun kritik terhadapnya, orang
Amerika banyak yang tetap meyakini bahwa mereka dan negara mereka adalah
exceptional.
Inilah
yang terjadi pada Islam Nusantara versi NU. Ini yang dirasakan secara luas
oleh orang NU. Makanya banyak orang yang kemudian cemburu dan ingin tahu
tentang identitas ini. Persoalannya sekarang adalah apakah keislaman yang
exceptional ini mampu berhadapan dengan gelombang konservatisme yang sedang
terjadi di Indonesia?
Apakah
NU bisaterus meng-uri-uri keunikannya dan menampilkannya sebagai identitas di
tengah kompetisi dengan berbagai gerakan Islam transnasional atau tarikan
untuk bersikap sektarian seperti yang terjadidi Sampang, Madura? Harapannya
adalah keyakinan diri yang tinggi itu terus tumbuh dan Islam Nusantara bisa
menghadapi wabah populisme yang menggejala di dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar