Atas
Nama Komite Sekolah
Amzulian Rifai ; Ketua Ombudsman RI
|
KORAN SINDO, 19 Januari
2017
Sejak
30 Desember 2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Peraturan
Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Salah satu pertimbangan
diterbitkannya peraturan ini dalam upaya meningkatkan mutu layanan
pendidikan, merevitalisasi tugas komite sekolah atas dasar prinsip
gotong-royong.
Saya
menilai setidaknya ada dua tujuan lain yang hendak dicapai. Pertama,
meluruskan eksistensi Komite Sekolah. Jangan sampai komite sekolah menjelma
menjadi lembaga pemungut iuran kepada peserta didik sekalipun bersifat liar.
Kedua, Permendikbud No 75 Tahun 2016 juga ingin mengajak semua komponen
masyarakat untuk secara bergotongroyong terlibat dalam pembangunan
pendidikan.
Aturan
ini seakan ingin menegaskan bahwa bidang pendidikan bukan semata-mata menjadi
tanggung jawab pemerintah, tetapi ada juga di pundak orang tua dan
masyarakat. Memang tentu saja penerapan permendikbud ini masih harus diuji
implementasinya di lapangan. Tidak boleh realisasinya nanti justru
menyimpang.
Komite Sekolah Selama Ini
Undang-Undang
No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa tanggung
jawab pendidikan itu bukan hanya pada pemerintah. Orang tua dan masyarakat
juga memiliki tanggung jawab tersebut. Permendikbud No 75 Tahun 2016
mengartikan komite sekolah sebagai lembaga mandiri yang beranggotakan orang
tua/ wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang
peduli pendidikan.
Selama
ini komite sekolah merupakan wadah yang cukup populer, tetapi juga “momok”
bagi sebagian peserta didik/ orang tua. Tentu bukan tanpa alasan apabila ada
pandangan semacam ini. Itu sebabnya ketika Mendikbud mengeluarkan peraturan
soal ini “langsung disambar” begitu saja oleh publik dengan tafsir sendiri.
Mungkin
tanpa membaca tuntas isi permendikbud tersebut. Penyebab lainnya karena
selama ini sepak terjang sebagian komite sekolah memang menyimpang. Selama
ini pula banyak komite sekolah menjelma menjadi lembaga justifikasi untuk
memungut berbagai iuran atas nama kepentingan sekolah.
Walaupun
belum tentu terjadi di semua sekolah, ada iuran yang menjelma dalam beragam
rupa. Ada pungutan uang asrama berjumlah jutaan rupiah per bulan untuk
sekolah negeri yang mengasramakan peserta didiknya. Iuran wajib karena
peserta didik setidaknya untuk tahun pertama wajib tinggal di sekolah.
Ombudsman
Republik Indonesia memiliki “pohon pungutan sekolah” yang menggambarkan
berbagai jenis pungutan oleh sekolah. Ada pungutan untuk seragam, untuk
pembangunan, untuk pelajaran tambahan. Begitu juga beragam jenis pungutan
lain seperti uang pindah sekolah, uang perpisahan, biaya ekskul, biaya daftar
ulang, biaya kegiatan operasional sekolah, infak, studi tur, dan lain-lain.
Jangan
heran jika penyelenggara pendidikan dasar dan menengah rentan berurusan
dengan kepolisian dan kejaksaan terkait tindak pidana korupsi. Cukup banyak
penyelenggara pendidikan di daerah yang masuk penjara karena didakwa korupsi
melalui berbagai pungutan yang dinilai liar.
Kontribusi Diperlukan
Beberapa
waktu lalu ada seorang kepala sekolah di DKI Jakarta yang mengeluhkan
kebutuhan sekolahnya di saat saya menjadi pembicara di Kemendikbud.
Bayangkan, kepala sekolahberlokasidiibukotanegara saja
berkeluhkesahatasfasilitasnya. Bagaimana dengan para kepala sekolah di 33
provinsi lainnya, bahkan di pelosok-pelosok Tanah Air, pasti sudah lama
menangisi kondisinya.
Itu
sebabnya kontribusi dari masyarakat terhadap aktivitas pendidikan itu
diperlukan. Tidak mungkin semua kebutuhan sekolah dapat dipenuhi melalui
anggaran pemerintah. Ada keterbatasan jumlah dana dibandingkan dengan
kebutuhan. Kita menyaksikan berbagai kebutuhan fasilitas minimal di banyak
sekolah di negeri ini masih belum terpenuhi.
Fasilitas
ruang kelas, toilet, komputer, perpustakaan, dan sebagainya. Banyak sekolah
yang belum memiliki ruang pertemuan. Sementara kucuran dana dari pemerintah
tersendat dan belum merata. Memang publik juga bertanya- tanya apa yang
terjadi dengan kewajiban negara mengalokasikan sebesar 20% dari APBN/APBD
untuk sektor pendidikan.
Di
satu sisi hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah di bidang pendidikan,
tetapi pada sisi lain juga dipertanyakan soal keseriusan alokasinya. Pasal 31
ayat 4 UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi anggaran
pendidikan.
Hal
ini dikuatkan dengan Putusan MK No:013/PUUVI/ 2008 bahwa pemerintah harus
menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.
Alokasi ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan terkait peningkatan kualitas.
Kemudian soal alokasi 20% ini lebih khusus dimuat dalam Pasal 49 UU No 20
Tahun 2003 Pasal 1.
Dalam
APBN tahun 2016 misalnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapat
alokasi anggaran Rp49,2 triliun. Ditambah lagi dengan anggaran untuk
Kementerian Riset dan Teknologi sebesar Rp40,6 triliun sehingga total anggaran
pendidikan mencapai Rp89,8 triliun.
Apakah
jumlah ini sudah memenuhi 20% dari anggaran negara? Mengutip Menkeu saat itu
bahwa dalam kesepakatan antara pemerintah dan DPR, pendapatan negara
ditetapkan Rp1.822,5 triliun. Belum ada penjelasan komprehensif tentang cukup
tidaknya anggaran pendidikan “yang sudah cukup besar itu” bila dibandingkan
dengan kebutuhan nyata.
Namun
mengamati berbagai keluhan di lapangan oleh penyelenggara pendidikan, dapat
dipastikan anggaran itu ternyata belum juga memuaskan. Buktinya, di banyak
sekolah hampir semua “berteriak keras” perlunya dana tambahan selain yang
digelontorkan pemerintah.
Ada
juga macam-macam pungutan yang dinilai liar di sekolah sehingga harus
berurusan dengan aparat hukum. Mestinya semua ini merefleksikan kurangnya
anggaran negara untuk dunia pendidikan. Atas alasan itu, kontribusi dari
masyarakat untuk bidang pendidikan menjadi diperlukan.
Pendidikan
berkualitas sudah menjadi keniscayaan dan banyak orang tua memprioritaskan
ini. Tidak sedikit dari mereka yang siap berkontribusi untuk menghadirkan
pendidikan yang berkualitas tersebut.
Meluruskan Komite Sekolah
Tantangannya
sekarang adalah bagaimana cara memungut uang dari masyarakat atas nama
pendidikan tanpa menimbulkan persoalan hukum. Selama ini pungutan itu melalui
komite sekolah dalam berbagai rupa dan macam-macam pula akibatnya. Komite
sekolah menjelma menjadi lembaga tukang pungut dana.
Komite
sekolah juga dipersepsikan sebagai lembaga untuk menjustifikasi pungutan.
Selain itu menjadi wadah perantara pungutan agar “seolaholah” sekolah itu
bersih, tidak terlibat sama sekali dalam soal pungutan yang dilakukan. Itu
sebabnya ada kecenderungan di banyak daerah, ketua komite sekolah adalah
sosok kuat di daerah tersebut.
Sering
kali pejabat komite sekolah berasal dari orang tua yang memiliki posisi kuat
seperti pejabat daerah, aparat hukum atau politisi. Salah satu tujuannya agar
aman dari jangkauan aparat hukum. Padahal, senyatanya dana masyarakat untuk
pendidikan itu diperlukan dan di sisi lain ada anggota masyarakat yang
bersedia memberikan kontribusi.
Tentu
dalam kondisi ini, diperlukan wadah untuk menjadi perantara antara “pemodal”
dengan lembaga pendidikan. Komite sekolah menjadi paling tepat menjalankan
fungsi itu. Mungkin atas dasar itulah Menteri Pendidikan Nasional Menerbitkan
Peraturan No 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Salah
satu tujuannya untuk meluruskan eksistensi komite sekolah. Saya memandang
setidaknya ada dua alasan pentingnya meluruskan keberadaan komite sekolah.
Pertama agar masyarakat memiliki wadah untuk ikut menyumbang/berkontribusi
guna meningkatkan mutu pendidikan.
Selain
itu, permendikbud ini seharusnyadapatmenjadipayung hukum bagi Komite Sekolah.
Selama ini payung hukum untuk memungut itu lemah sekali. Akibatnya, tindakan
komite sekolah rentan dipersoalkan secara hukum dan menjadi sasaran empuk
bagi mereka yang memanfaatkan situasi untuk tujuan sendiri.
Pasal
10 menegaskan bahwa komite sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber
daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya. Aktivitas ini dalam
bentuk bantuan atau sumbangan sukarela. Artinya, bukan dalam bentuk pungutan
yang besarannya ditentukan.
Ditegaskan
juga bahwa dalam penggalangan dana tersebut, komite sekolah harus
melakukannya secara transparan. Artinya, transparan dalam proses dan
transparan pula dalam penggunaan dan pertanggungjawabannya. Memang dalam
praktik harus mendapatkan pengawasan maksimal. Dalam masyarakat kita
“sumbangan sukarela” sering kali dilakukan atas dasar jumlah minimal.
Ada
patokan sumbangan terendah yang diikuti oleh yang lainnya. Selain itu, dalam
Pasal 11 dan 12 juga ditegaskan bahwa penggalangan dana dan sumber daya
pendidikan lain tidak diperbolehkan bersumber dari perusahaan rokok,
perusahaan beralkohol dan partai politik.
Tetap
ada celah permendikbud ini hanya menjustifikasi pungutan sumbangan pendidikan
yang sudah berlangsung. Permendikbud tersebut menghalalkan sumbangan
pendidikan sebagai pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik,
orang tua/walinya baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau
lembaga secara sukarela dan tidak mengikat satuan pendidikan.
Tetap
ada yang kontra dengan permendikbud ini karena menilai negara seharusnya
bertanggung jawab penuh semua urusan pendidikan sesuai perintah UUD. Namun
Permendikbud Nomor 75/2016 setidaknya berupaya meluruskan eksistensi komite
sekolah yang selama ini, bagi masyarakat kebanyakan, telanjur dipersepsikan
kurang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar