Agama
di Ruang Publik
Komaruddin Hidayat ; Guru
Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 30 Desember
2016
Sebelum
era kemerdekaan, di Nusantara ini terdapat pusat-pusat keagamaan yang kaya
dengan tradisinya yang masih hidup sampai hari ini. Yang dominan tentu saja
Islam mengingat jumlah pemeluknya terbesar. Makanya logis saja jika simbol,
tokoh, dan aktivitas keagamaan memenuhi ruang publik, khususnya Islam.
Terlebih sekarang ketika iklim kebebasan berekspresi semakin terbuka.
Ada
organisasi keagamaan yang sikap dasarnya antisistem demokrasi justru mereka
paling efektif dan vokal memanfaatkan instrumen demokrasi untuk berbicara di
ruang publik guna menyebarkan gagasannya. Bahkan leluasa menggerakkan
massanya melakukan demonstrasi, sebuah aksi yang tak akan bisa dilakukan di
negara monarki. Dalam konteks kehidupan beragama, Indonesia tidak mengenal
pemisahan antara ruang negara dan ruang publik.
Agama
bukanlah urusan privat semata seperti di Barat, tetapi aktivitas dan ekspresi
keberagamaan juga aktif mewarnai ruang publik, bahkan masuk ke panggung
Istana dengan fasilitas negara. Dengan kata lain, ruang publik menjadi
wilayah yang kadang diperebutkan oleh simbol-simbol negara dan agama.
Di
sana terdapat rujukan hukum adat, hukum agama dan hukum positif yang
kesemuanya bisa tumbuh sejalan dan harmonis, tetapi juga potensial
menimbulkan benturan dan konflik loyalitas dari warga masyarakat. Belakangan
muncul gejala segregasi sosial yang hendak membenturkan paradigma keumatan
dan kewarganegaraan (citizenship).
Yang
pertama hendak menempatkan hukum agama di atas hukum negara (hukum positif),
yang kedua menempatkan hukum agama subordinat pada hukum positif ketika
memasuki ruang publik. Bagi sekelompok orang, bahkan ada yang memandang
pemerintahan yang ada itu thaghut atau berhala karena menempatkan hukum
positif di atas kitab suci.
Wacana Politik dan Agama
Dalam
ranah pribadi dan keluarga, bisa saja seseorang menempatkan hukum agama
paling tinggi. Tapi begitu seseorang masuk jalan raya, hukum negara yang
berkuasa, polisi sebagai pengawasnya. Dalam kehidupan sosial, wacana
keagamaan akhir-akhir ini semakin memenuhi ruang public sepertidi mimbar
televisi, ceramahceramah, dan media sosial (medsos) berbasis internet.
Orang
pun merasa paling akrab dengan medsos sehingga penggunanya mengalami
perkembangan luar biasa. Namun sangat disayangkan, banyak isinya yang
provokatif, sampah, bahkan ada yang berimplikasi memecah-belah persahabatan.
Terutama ketika agama dikaitkan dengan aspirasi pilihan-pilihan politik, lalu
menjadi sulit dibedakan antara medsos yang berisi siraman rohani, pencerahan
iman, perluasan ilmu dan provokasi politik.
Mengenai
berkembangnya simbol agama di ruang publik, yang juga fenomenal adalah aksi
dan mobilisasi massa yang terpusat di lapangan Monas dan sekitarnya pada 2
Desember 2016. Uniknya, di medsos pun terjadi diskusi mengenai berapa
kira-kira jumlah pesertanya. Ada yang menyebutnya di atas 7 juta, ada yang
menaksir hanya sekitar 3 juta. Ada lagi yang membahas, forum itu tujuannya
apa, tercapai apakah tidak, dan siapa saja aktor-aktornya?
Satu
orang mengatakan, adalah Presiden yang akhirnya jadi bintang di forum itu.
Lalu muncul bantahan, Habib Rizieq dkk yang menang karena sanggup
menghadirkan Presiden dan Wakil Presiden. Suara lain menyahut, itu semua
karena keberhasilan Kapolri yang berhasil mengubah dari format demonstrasi
menjadi aksi superdamai doa untuk bangsa.
Demikianlah,
sampai menjelang Pilkada 2017 dan Pemilu 2019 nanti, diduga isu agama akan
selalu dibawa-bawa ke ranah politik untuk menggalang dukungan massa. Dan
sifat massa selalu cenderung emosional. Soliditas dan kekohesifan akan
menguat ketika tampil musuh bersama layaknya pertandingan sepak bola klub
Bandung melawan Jakarta.
Atau
kesebelasan Malang melawan Surabaya. Tapi pilkada tentu tidak sesederhana
pertandingan bola. Belakangan ini segregasi sosial berdasarkan sentimen agama
selalu saja muncul sehingga dikhawatirkan hal ini akan merusak harmoni sosial
yang telah lama tumbuh dan terjaga.
Di
Indonesia, hubungan agama, negara, dan politik memang dinamis. Tapi kalau
kita tidak bijak dan pandai-pandai menjaga keseimbangan serta tahu batas,
situasi ini bisa menghambat dinamika pembangunan dan reformasi. Kita dibuat
sibuk oleh isu agama dan hukum. Semua persoalan bangsa seakan hanya merupakan
persoalan agama dan hukum, sedangkan aspek perbaikan ekonomi, pendidikan, dan
sains terpinggirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar