Memaknai
Fatwa MUI
Biyanto ; Dosen
UIN Sunan Ampel;
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jatim
|
KORAN SINDO, 30 Desember
2016
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menolak intervensi dari pihak mana pun
terkait penerbitan fatwa keagamaan. Sebelumnya pihak kepolisian meminta agar
dalam mengeluarkan fatwa, MUI selalu berkoordinasi dengan Kementerian Agama
(Kemenag) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Permintaan
Polri bisa dipahami sebagai pembatasan hak MUI untuk memberikan fatwa.
Padahal, sebagai wadah berhimpunnya para ulama, MUI memiliki otoritas untuk
mengeluarkan fatwa. Menurut MUI, sepanjang fatwa keagamaan berlandaskan
semangat menjaga ajaran agama, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Apalagi
jika fatwa MUI dikeluarkan dalam konteks menjaga Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), kebinekaan, toleransi, dan kerukunan sosial. Sikap tegas
MUI dikemukakan untuk merespons kontroversi fatwa tentang larangan penggunaan
atribut agama lain bagi muslim. Itu terjadi terutama pada pekerja muslim yang
bekerja di perusahaan milik nonmuslim.
Fatwa
MUI bisa dipahami sebagai usaha menjaga akidah umat. Apalagi dalam kehidupan
bermasyarakat masih sering terjadi sinkretisme agama, terutama tatkala
merayakan harihari besar keagamaan. Dengan mengatasnamakan toleransi, umat
Islam secara terpaksa atau sukarela sering menggunakan atribut agama lain.
Penggunaan atribut agama lain inilah yang dinilai MUI bisa mengaburkan
identitas keberagamaan seseorang.
Karena
itu, MUI memberi fatwa haram penggunaan atribut agama lain bagi umat Islam.
Ironisnya, sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) menjadikan fatwa MUI
sebagai dasar melakukan sweeping. Tidak jarang tindakan sweeping itu disertai
kekerasan. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) secara tegas meminta oknum ormas
keagamaan menghentikan tindakan sweeping.
Itu
karena tindakan sweeping berarti pengambilalihan fungsi kepolisian sebagai
aparat penegak hukum (KORAN SINDO, 22/12). Pernyataan JK penting untuk
meredakan suasana agar tidak ada gangguan terhadap umat kristiani yang sedang
merayakan Natal. Jika gerakan sweeping terus terjadi, konflik antarumat
beragama sulit dihindari. Sikap tegas MUI menolak untuk diintervensi pihak
mana pun layak diapresiasi.
Itu
berarti MUI berusaha benar-benar mandiri. Untuk menjaga semangat kemandirian
organisasi sebaiknya Ketua MUI KH Maruf Amin belajar dari pengalaman Buya
HAMKA. Saat ditunjuk sebagai ketua MUI yang pertama, Buya HAMKA mengusulkan
agar pengurus MUI tidak digaji. Buya HAMKA tentu tidak asal berbicara.
Buya
HAMKA ingin menjaga independensi ulama sebagai pengawal akhlak bangsa. Dengan
tidak menerima fasilitas negara, MUI bisa memainkan tugas dakwah amar makruf
nahi munkar. MUI juga bisa menjadi kekuatan checks and balances yang efektif bagi pemerintah. Gagasan Buya
HAMKA sangat relevan untuk menjadikan MUI bebas dari kepentingan politik dan
kekuasaan.
Pesan
ini penting karena setiap menjelang pemilu, para ulama biasanya terbelah
dalam berbagai kelompok kepentingan. Mereka bahkan memobilisasi umat untuk
kepentingan politik tertentu. Terbelahnya ulama, apalagi disertai tindakan
provokatif, tentu sangat disayangkan. Sebab, sifat tersebut jauh dari
karakter ulama sebagai ahli agama.
Dalam
sebuah Hadits Nabi SAW, ulama juga disebut sebagai pewaris para nabi. Dengan
menjadi organisasi yang benar-benar mandiri, MUI secara maksimal bisa
terlibat dalam gerakan mempromosikan Islam mazhab tengah (al-wasathiyyah).
Karakter Islam mazhab tengah selalu dicirikan dengan sikap moderat, terbuka,
toleran, saling menghormati, dan ramah terhadap perbedaan.
Dengan
begitu, Islam Indonesia bisa menjadi laboratorium dunia untuk kehidupan umat
yang toleran dan saling menghormati. Islam Indonesia sangat potensial menjadi
teladan bagi dunia. Itu karena Islam Indonesia jauh dari konflik teologis dan
politik yang meruncing. Islam Indonesia juga tidak memiliki beban sejarah.
Karena
itu, pembaru muslim ternama asal Pakistan yang menetap di Amerika Serikat,
Fazlurrahman, pernah menyatakan bahwa umat Islam Indonesia berpotensi menjadi
pemicu kebangkitan dunia Islam. Pernyataan ini seharusnya menjadi penyemangat
untuk menampilkan wajah Islam Indonesia yang jauh dari kekerasan.
Sebagai
negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, kita selayaknya
berbangga sebab banyak pemimpin negara di dunia terkagumkagum melihat bangsa
Indonesia yang begitu ramah. Sebagian pemimpin dunia bahkan tidak ragu
menyebut Indonesia sebagai laboratorium dunia untuk kehidupan masyarakat yang
pluralistik.
Itu
semua karena Indonesia dipandang sukses mengatasi problem kemajemukan. Sekurang-kurangnya
ada dua faktor yang menjadi rahasia kesuksesan Indonesia mengatasi problem
kemajemukan. Pertama, Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara.
Sejauh ini Pancasila sukses menjadi perekat keragaman etnis, budaya, agama,
dan paham keagamaan.
Dengan
moto nasional Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia bisa menjaga NKRI. Kedua,
mayoritas muslim Nusantara menunjukkan wajah yang ramah terhadap perbedaan.
Pada konteks ini, Indonesia seharusnya berterima kasih pada ormas besar
seperti Muhammadiyah dan NU yang terus mendakwahkan Islam moderat.
Dua
ormas tersebut sukses menyandingkan ajaran Islam dengan nilai-nilai
keindonesiaan dan kemodernan. Hasilnya, wajah Islam Indonesia menjadi sangat
toleran tatkala berhadapan dengan problem kemajemukan. Di tengah kondisi
negara yang sangat majemuk inilah, posisi MUI sangat penting.
MUI
harus selalu hadir merumuskan solusi problem radikalisme bernuansa perbedaan
agama dan paham keagamaan. Pada konteks itulah MUI seharusnya memberikan
fatwa yang sejuk dan menenteramkan kehidupan umat. Fatwa MUI harus memperkuat
corak keagamaan bermazhab tengah yang inklusif.
MUI
juga tidak boleh terlalu mudah mengeluarkan fatwa keagamaan bernada vonis
sesat dan menyesatkan. Apalagi jika fatwa itu belum melalui kajian yang komprehensif.
Padahal, sejumlah ormas menjadikan fatwa MUI sebagai dasar tindakan sweeping
yang disertai kekerasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar