Kecelakaan
Pesawat dan Visi Selamat
Abdul Rohim Tualeka ; Dosen Departemen Kesehatan dan Keselamatan
Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
|
KORAN
SINDO, 31 Desember 2014
Dalam
satu tahun ini telah terjadi beberapa kali kecelakaan pesawat, mulai kasus
pesawat mendarat darurat, jatuh, hilang, terbakar baik pesawat komersial
maupun militer.
Angka
kerugian berupa nyawa melayang, kerugian secara fisik dan material sangat
besar. Untuk pesawat AirAsia yang masih dalam proses pencarian menelan
kerugian sekitar Rp200,5 miliar. Itulah risiko kecelakaan di pesawat. Tingkat
risikonya tinggi bila dibandingkan dengan risiko moda transportasi yang lain.
Karena tingkat risikonya tinggi maka penerapan aspek keselamatan di maskapai
penerbangan harus menjadi prioritas utama.
Sedikit
saja terjadi kesalahan menyebabkan kecelakaan maka akan memberikan efek yang
luar biasa baik terhadap animo penumpang maupun kerugian secara finansial
yang bisa membuat maskapai bangkrut. Kasus ini telah dialami oleh salah satu
maskapai penerbangan di Indonesia.
Visi Selamat
Dalam
tataran aspek keselamatan penerbangan tampaknya maskapai masih berorientasi
pada konsep-konsep keselamatan yang telah kedaluwarsa. Seperti human error yang sering
dikambinghitamkan sebagai penyebab utama keselamatan. Manusialah, pemberi
kontribusi 88% dari setiap kejadian kecelakaan.
Faktor human error ini mengganti aspek mechanical error yang pada 10 tahun
sebelumnya sering dijadikan penyebab utama kecelakaan. Namun, tidak pernah
disangka ibarat tubuh manusia, human error masih merupakan bagian terluar
dari penyebab kecelakaan.
Bagian
yang lebih dalam dari tubuh manusia adalah perilaku, lebih dalam yaitu
struktur sistem, lebih dalam lagi yaitu mental model, dan lebih dalam lagi
yang merupakan inti penyebab semua kejadian adalah visi. Daniel Kim (2010)
mengatakan visi merupakan pengungkit utama dari semua kejadian yang ada.
Adanya visi sehat dan selamat akan melahirkan kejadian yang selamat,
begitu pula visi tidak sehat dan tidak selamat akan menjadikan kejadian tidak
sehat atau tidak selamat. ”Anda adalah apa yang anda pikirkan,” ini adalah
kata-kata mutiara yang sering diungkapkan. Kita dapat melihat bahwa banyak
perusahaan, termasuk maskapai penerbangan yang tidak memiliki visi selamat.
Para maskapai banyak yang memiliki visi komersial, finansial, karena
itulah yang dikejar. Target utama maskapai adalah jumlah seat atau tempat
duduk yang digunakan, selalu diharapkan 100%. Target tempat duduk memang
wajar bagi suatu perusahaan maskapai. Namun, harus diketahui bahwa tingkat
risiko kecelakaan pesawat (dilihat dari aspek peluang dan konsekuensi) termasuk
tinggi.
Tingginya risiko kecelakaan pesawat disebabkan faktor frekuensi bukan
probabilitas. Probabilitas kecelakaan memang rendah, namun konsekuensi
kejadiannya, yakni kerugian secara finansial dan imej perusahaan sangat
besar. Ini yang sering menjadikan maskapai bangkrut. Untuk menurunkan
konsekuensi kecelakaan dari tinggi menjadi rendah dibutuhkan kekuatan visi
keselamatan maskapai.
Dengan visi keselamatan maskapai akan memberikan anggaran yang tinggi
untuk program keselamatan, membuat standar-standar keselamatan, serta
berbagai pelatihan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap standar-standar
keselamatan yang telah ditetapkan.
Apa yang terjadi pada kasus hilangnya pesawat AirAsia dengan nomor
penerbangan QZ8501 adalah indikasi lemahnya program keselamatan dan tidak
adanya kepatuhan terhadap standar keselamatan yang telah ditetapkan, bisa
juga karena lemahnya standar keselamatan penerbangan.
Telah jamak diketahui seperti yang disinyalir oleh para ahli
penerbangan bahwa hilangnya pesawat tersebut karena tidak mampu keluar dari
awan cumulonimbus yang sering
dikatakan sebagai raja segala awan, penyebab terjadinya kecelakaan pesawat.
Bagaimanapun besarnya atau luasnya awan itu bukanlah menjadi akar utama
terjadi kecelakaan.
Penyebabnya yakni tidak adanya kepatuhan terhadap standar (yaitu harus
men-delay penerbangan karena adanya awan), karena begitu teridentifikasi
keberadaan awan tersebut apalagi diketahui jarak awan sekitar puluhan mil
maka seharusnya tidak bisa dijadikan lintasan penerbangan. Penyebab perilaku
tidak patuh terhadap standar karena lemahnya struktur sistem maskapai dalam
memberikan reward dan punishment (reinforcing
factor), juga karena sikap atau mental model.
Berdasarkan hasil riset, 85% mental model orang Indonesia adalah mental
model negatif, termasuk di dalamnya mental model tidak selamat. Walaupun
secara teknis pesawat layak terbang, adanya mental model tidak selamat
sebagai penyebab utama kecelakaan. Pemaksaan pesawat untuk terbang dalam
kondisi cuaca darurat karena ada raja awan di area lintasan pesawat adalah
bagian dari mental model tidak selamat.
Apalagi di atasnya terdapat pesawat lain yang juga melintas membuat
pesawat mudah terjebak bila terbang dalam kondisi cuaca darurat. Mental model
negatif disebabkan oleh visi negatif. Visi inilah yang menjadi akar dari
setiap kejadian. Dengan visi selamat akan melahirkan kejadian selamat.
Dengan visi tidak selamat akan melahirkan kejadian tidak selamat,
karena visi merupakan akar dari setiap kejadian maka visi maskapai sebenarnya
harus menjadi fokus utama pemerintah dalam menilai kelayakan suatu maskapai.
Visi selamat telah menjadi visi bersama semua karyawan maupun manajemen,
termasuk pilot, kopilot, dan penjaga menara.
Visi selamat merupakan doa selamat bila didengungkan secara terus
menerus pada setiap individu di maskapai ketika berkomunikasi dengan
seseorang maupun lebih akan melahirkan budaya selamat di maskapai. Lewat visi
atau doa selamat ini, salah satu ketua ormas besar Islam di Indonesia
mengimbau agar para penumpang pesawat senantiasa berzikir kepada Allah.
Budaya selamat adalah perilaku selamat yang dilaksanakan secara
otomatis, karena kejadiannya di bawah sadar. Insiden AirAsia mengindikasikan
belum adanya budaya selamat di maskapai tersebut. Pada 2015 pemerintah
Indonesia telah mencanangkan sebagai tahun Indonesia berbudaya K3. Adanya
kecelakaan pada maskapai AirAsia ini memberikan umpan balik kepada pemerintah
bahwa Indonesia memang belum berbudaya K3.
Pemerintah harus bekerja keras untuk menciptakan budaya K3 bagi semua
lapisan masyarakat di Indonesia, khususnya perusahaan- perusahaan yang
memiliki risiko tinggi terjadi kecelakaan seperti maskapai penerbangan.
Pemerintah harus fokus pada pembenahan visi perusahaan agar semua perusahaan
memiliki visi selamat. Visi itu harus menjadi visi bersama yang akan
melahirkan budaya selamat.
Visi selamat melahirkan mental model selamat, mental tersebut akan melahirkan
struktur sistem selamat. Struktur sistem selamat akan melahirkan budaya
selamat, budaya selamat akan melahirkan kejadian selamat. Dengan budaya
selamat pada maskapai akan memberikan kenyamanan pada semua penumpang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar