Sabtu, 24 Januari 2015

Belajar Introspeksi Charlie Hebdo

Belajar Introspeksi Charlie Hebdo

Chusnan Maghribi  ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 23 Januari 2015

                                                                                                                                     


SERANGAN berdarah teroris bersaudara (Sherif dan Said Kouachi) terhadap kantor redaksi majalah mingguan satire Charlie Hebdo yang menewaskan 10 awak majalah itu plus dua polisi di Paris (7/1/2015) rupanya tidak membuat manajemen majalah itu takut atau kapok.

Buktinya, meski mendapat serangan maut, edisi 7 Januari 2015 majalah itu tetap terbit. Sepekan kemudian bahkanmemuat ulang kartun Nabi Muhammad saw di sampul depan. Dari segi ekonomi bisnis, penerbitan dua edisi Charlie Hebdo setelah serangan maut memang mendatangkan keuntungan finansial cukup besar lantaran tingginya permintaan masyarakat di Prancis dan dunia Barat.

Untuk edisi 14 Januari 2015 misalnya, agenagen koran di Prancis kebanjiran permintaan hinggga nenuntut redaksi majalah tersebut beberapa kali mencetak ulang edisi itu. Setelah mencetak 3 juta eksemplar pada 14 Januari lalu, edisi itu kembali dicetak ulang tiap hari sekitar 1 juta eksemplar (SM, 18/1/15). Namun, dari aspek moral spiritual, penerbitan majalah itu dengan mengekspose ulang kartun provokatif ofensif Nabi Muhammad, cenderung merepotkan.

Pengeksposan ulang kartun Nabi saw itu langsung diprotes oleh umat Islam di sejumlah negara berpenduduk mayoritas muslim semisal Pakistan dan Niger hingga menelan sejumlah korban jiwa. Selain itu, mendorong publik Prancis khususnya kembali memperdebatkan penting tidaknya membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang publik.

Bagi kalangan penganut kebebasan tanpa batas tentulah kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang publik bagi tiap orang tidak perlu dibatasi. Pasalnya, kebebasan itu adalah hak sah bagi setiap individu sebagai manifestasi praktik demokrasi (liberal) yang mereka anut di tengah kehidupan sehari-hari.

Bagi mereka, kebebasan tanpa batas dianggap sebagai salah satu cara untuk mencapai kepuasan diri dalam kehidupan dunia. Karenanya, kebebasan tanpa batas mereka anggap segala-galanya. Tetapi, kalangan moralis spiritualis berpandangan sebaliknya: kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi individu di tengah masyarakat (mutlak) perlu dibatasi.

Di balik hak sah tiap individu untuk berpendapat dan berekspresi di ruang publik, terdapat hak individu ataupun komunitas lain yang mesti dijaga dan dihormati. Hal itu supaya tidak terjadi ketersingggungan antara satu dan lainnya sehingga bisa meminimalisasi, bahkan menghindari konflik antarsesama.

Kalangan moralis spiritualis memandang orang ataupun kelompok masyarakat yang memilih kkebebasan tanpa batas untuk berpendapat dan berekspresi berisiko berpendapat ataupun berekspresi ”gila”. Maka, tidaklah berlebihan bila Ahok, sapaan Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta pun berpendapat pemuatan ulang kartun Nabi Muhammad pada sampul depan Charlie Hebdo edisi 14 Januari 2015 sebagai tindakan gendheng (gila).

Di Prancis pun sebenarnya tidak sedikit warga negara menyesalkan pemuatan ulang kartun Nabi Muhammad pada majalah itu edisi medio Januari lalu. Jajak pendapat yang dilakukan Ifop, sebagaimana dikutip Harian Le Journal du Dimanche edisi 18 Januari 2015 menyebutkan 42 persen responden menolak pemuatan kembali kartun Nabi Muhammad oleh Charlie Hebdo.

Perlu Rambu

Itu berarti, meski warga Prancis yang menggandrungi kebebasan tanpa batas bagi tiap individu tampak kuat, tetap memerlukan rambu. Artinya mereka yang mendambakan kebebasan berpendapat dan berekspresi perlu batasan yang juga cukup kuat.

Lantas, apa yang mesti dilakukan manajemen majalah itu sekarang? Di tengah kontroversi pemuatan ulang kartun Nabi Muhammad pada edisi 14 Januari 2015, alangkah bijak bila manajemen majalah satire tersebut mau melakukan introspeksi seobjektif mungkin.

Upaya itu sekaligus mengevaluasi kebijakan redaksionalnya yang sejauh ini cenderung provokatif ofensif dan kerap menyinggung harga diri umat Islam di dunia, semisal mellaui pemuatan kartun Rasulullah. Bagi umat Islam, Nabi Muhammad merupakan anutan yang selalu dihormati sepanjang zaman. Mengggambar sosok Nabi haram hukumnya. Kemarahan umat Islam terhadap Charlie Hebdo sesungguhnya mudah dimengerti karena majalah satire tersebut tidak hanya sekali dua melecehkan dan menghina Nabi dengan menggambar sekaligus mengeksposenya, tapi berulang kali.

Pada November 2011 misalnya, majalah itu menggambar Nabi Muhammad serta memosisikannya sebagai pemimpin redaksi. Karenanya, sekali lagi, cobalah manajemen majalah satire tersebut mawas diri sekaligus belajar memahami perasaan umat Islam yang berkeyakinan luhur seperti itu tentang Nabi Muhammad.

Sesudah itu, akhirilah kebijakan redaksionalnya yang provokatif, baik menyangkut kartun maupun tulisan (berita dan artikel), khususnya terhadap umat Islam. Andai redaksi majalah itu secara sadar mau melakukannya, teror ataupun kekerasan umat Islam terutama terhadap majalah yang bermarkas di Paris tersebut kemungkinan besar berakhir dengan sendirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar