Wajib
Belajar atau Wajib Sekolah?
Junaidi Abdul Munif ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 07 November 2014
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memiliki program wajib
belajar 12 tahun. Sebelumnya, kita akrab dengan program wajib belajar 9
tahun. Perkembangan zaman memaksa pemerintah untuk menaikkan standar minimal
belajar, agar anak-anak Indonesia tidak tertinggal oleh anak-anak dari negara
(yang dianggap) maju.
Kendati dinamakan wajib belajar, yang dimaksud program ini
adalah wajib sekolah 12 tahun. Seperti dikatakan Menteri Anies Baswedan,
"kalau sudah wajib belajar, jika tidak sekolah, anak bisa kena sanksi.
Semua harus belajar (Kompas, 30/10).
Artinya, anak-anak minimal harus lulus setingkat SMA. Rinciannya adalah SD (6
tahun), SMP (3 tahun), dan SMA (3 tahun).
Kita tampaknya begitu mudah dan tanpa beban menukar
"sekolah" dengan "belajar", seolah dua kata ini
bersinonim. Sekolah dan belajar tentu saja adalah dua kegiatan yang sangat
berbeda. Sekolah memiliki konsekuensi berupa ruang kelas, guru, mata
pelajaran, jam pelajaran, dan evaluasi hasil pembelajaran yang terencana.
Karena itu, dunia persekolahan, dengan segala kelengkapannya, lebih bertumpu
pada kebijakan negara.
Sementara itu, belajar tak memerlukan konsekuensi secara rigid seperti pada sekolah. Proses
belajar tak memerlukan institusi resmi bernama sekolah. Di mana pun
tempatnya, seseorang bisa menjadi pembelajar dan mendapatkan ilmu. Tempat
kursus, pesantren, komunitas, kamar kos, dan lain-lain bisa menjadi tempat
belajar. Orang pun bisa belajar sambil tidur-tiduran, misalnya.
Ivan Illich, pemikir pendidikan, bisa diambil sebagai contoh
tokoh yang membedakan secara tegas sekolah dan belajar. Kritiknya bermuara
pada sekolah yang mempunyai kurikulum tersembunyi. Sekolah dianggapnya
sebagai ruang kapitalisme pengetahuan, legalisasi ilmu pengetahuan, dan
ketergantungan masyarakat pada sekolah. Sekolah adalah medium untuk belajar
tentang sesuatu, bukan belajar dari sesuatu (Paulo Freire, dkk, 1999). Orang kemudian merasa bahwa sekolah
adalah satu-satunya tempat belajar.
Revolusi mental Jokowi-JK semestinya tidak berjalan pada pola
pikir yang menyederhanakan belajar dengan sekolah, dan dunia persekolahan
sama dengan dunia pendidikan. Seperti halnya pendidikan, pembelajaran adalah
dunia yang begitu luas dan kaya. Toh, Jokowi juga memilih Susi Pudjiastuti,
yang hanya lulusan SMP, untuk menjadi menteri di Kabinet Kerja 2014-2019.
Orang belajar tidak harus secara "resmi" dilakukan di
sekolah, yang sejatinya hanya salah satu tempat belajar, di antara ribuan
tempat belajar lainnya. Sekolah dibatasi dengan waktu, belajar berbatas waktu
ketika manusia meninggal dunia. Seperti peribahasa Arab, manusia belajar dari
ayunan sampai liang lahat.
Penyebutan "wajib sekolah 12 tahun" lebih benar dan
dapat diterima secara empiris-formalis. Di situ negara dituntut membuka akses
masuk sekolah kepada anak bangsa, sekaligus meningkatkan kualitas kurikulum
dan pembelajaran di sekolah. Di luar sekolah, kehidupan adalah ruang belajar
yang terbuka untuk dipelajari, dan manusia belajar darinya. Siapa gurunya?
Kata peribahasa bijak, pengalaman adalah guru yang terbaik. Biarkan
masyarakat mengolah potensinya untuk menciptakan ruang dan suasana belajar
yang unik, heterogen, dan multikultural.
Untuk itu, alangkah elok jika istilah "wajib belajar"
diganti dengan "wajib sekolah" agar tidak terjadi
"penyesatan" publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar