Presiden
Baru, Pahlawan Baru
Asvi Warman Adam ; Sejarawan LIPI
|
KORAN
TEMPO, 07 November 2014
Pengangkatan pahlawan nasional yang baru menjelang 10 November
2014 merupakan hak prerogatif presiden yang baru, Joko Widodo. Presiden tentu
perlu mengangkat Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan yang baru karena
yang lama sudah habis masa jabatannya selama lima tahun. Dewan tersebut
terdiri atas tujuh orang, biasanya dipimpin Menkopolkam dengan komposisi 3
tokoh masyarakat, 2 anggota militer, dan 2 akademikus. Seyogianya kedua
akademikus itu merupakan sejarawan.
Sudah ada beberapa orang tokoh yang menjadi "stok"
calon pahlawan nasional pada periode Susilo Bambang Yudoyono, seperti
Jenderal Soeharto, Abdurrachman Wahid, dan Ali Sadikin. Pengangkatan mantan
Presiden Soeharto jelas kontroversial, ada yang mendukung tapi banyak pula
yang menentangnya. Jika Gus Dur diangkat sekarang, itu akan menimbulkan
pertanyaan kenapa dia diangkat lebih dulu daripada Soeharto.
Sejak diangkat pertama pada 1959, jumlah pahlawan nasional sudah
mencapai 159 orang. Mungkin ini yang terbanyak di dunia, tapi sebetulnya
tidak bermasalah karena kita adalah bangsa yang besar. Berpenduduk 240 juta,
dengan asumsi seorang pahlawan nasional itu menjadi panutan bagi sejuta orang
lainnya, kita dapat memiliki 240 orang. Tentu saja dapat dilakukan moratorium
bila angka itu dianggap sudah terlalu banyak.
Pengangkatan pahlawan nasional setiap tahun mencapai jumlah
terbanyak pada 1964, yang lebih dari 10 orang, karena mengakomodasi tokoh
komunis, agama, nasional, dan perempuan. Entah kenapa sebabnya selama
beberapa tahun tidak ada pahlawan nasional yang diangkat pada 1978-1983. Yang
jelas pada 1983 Presiden Soeharto diberi gelar "Bapak Pembangunan"
oleh MPR. Kalau dilihat dari jumlah rata-rata pengangkatan dari dulu sampai
sekarang, memang tiga orang per tahun. Karena itu, siapa tiga tokoh yang
perlu diprioritaskan menjadi pahlawan nasional ?
Menurut saya, hal ini bergantung pada nilai atau pesan yang
ingin disampaikan kepada masyarakat dan bangsa dewasa ini. Semangat persatuan
seperti dicantumkan dalam Sumpah Pemuda tentu perlu dilestarikan. Karena itu,
tiga figur utama yang terkait dengan Sumpah Pemuda sebaiknya didahulukan.
Pertama, Soegondo Djojopoespito yang menjadi Ketua Kongres Pemuda II, yang
melahirkan Sumpah Pemuda. Para panitia Kongres Pemuda II 1928 seperti M.
Yamin (sekretaris) dan J. Leimena (Pembantu Umum IV) serta W.R. Soepratman,
yang menyampaikan lagu Indonesia Raya secara instrumental dengan biola pada
28 Oktober 1928, telah diangkat menjadi pahlawan nasional.
Soegondo adalah tokoh Taman Siswa, murid langsung Ki Hajar
Dewantara. Sepanjang hayatnya ia membaktikan diri dalam bidang pendidikan.
Sempat menjadi direktur Antara, ia pernah pula menjadi Menteri RI di
Yogyakarta, yang ketika itu menjadi Negara Bagian RIS. Sewaktu menjadi
menteri, ia lebih suka naik becak ketimbang naik mobil dinas menteri.
Tokoh yang kedua adalah Soeratin, lulusan insinyur sipil dari
Jerman yang meninggalkan pekerjaannya di perusahaan Belanda dan mengurus
sepak bola nasional. Ia mendirikan PSSI pada 1930 sebagai realisasi dari
Sumpah Pemuda, yakni meningkatkan nasionalisme dalam bidang olahraga. Selama
11 tahun berturut-turut ia menjadi Ketua PSSI. Soeratin meninggal di Bandung
dalam keadaan miskin pada sebuah rumah yang dindingnya terbuat dari bambu. Ia
mengorbankan segalanya bagi sepak bola Indonesia.
Yang perlu mendapat prioritas juga adalah Abdul Rahman Baswedan,
yang mengikrarkan Sumpah Pemuda keturunan Arab pada 1934. Sumpah itu berbunyi
bahwa tanah air bagi keturunan Arab adalah Indonesia, dan kedua, mereka wajib
membaktikan diri bagi Indonesia. Ketiga, orang-orang keturunan Arab itu tidak
boleh mengisolasi diri. A.R. Baswedan pernah bekerja pada perusahan pers
milik orang Tionghoa. Baswedan juga Menteri Muda Penerangan yang ikut
rombongan Agus Salim dalam mencari pengakuan internasional atas kemerdekaan
Indonesia dari negara-negara Timur Tengah. Karena misi diplomatik itu belum
selesai, Agus Salim meminta Baswedan untuk pulang ke Tanah Air membawa surat
pengakuan resmi dari Mesir. Karena Jakarta masih dikuasai Belanda, surat
tersebut dimasukkan Baswedan dalam kaus kakinya sehingga ia lolos dari
pemeriksaan di Kemayoran, Jakarta, dan selanjutnya membawa surat penting itu
ke Ibu Kota, yang waktu itu adalah Yogyakarta. Tokoh keturunan Tionghoa John
Lie sudah diangkat menjadi pahlawan nasional pada 2009, tapi sampai saat ini
belum ada pahlawan nasional keturunan Arab.
Ketiga tokoh tersebut patut dijadikan pahlawan nasional.
Seandainya masih perlu ditambah lagi, saya kira Ali Sadikin yang berasal dari
Angkatan Laut juga layak. Ia memimpin Jakarta selama dua periode dan berhasil
membangun jalan-jalan besar dan jalan-jalan di kampung-kampung di tengah kota
(proyek MHT). Tidak sekadar pembangunan fisik, Bang Ali pun membangun tempat
kesenian seperti TIM, gelanggang remaja, tempat rekreasi Ancol, kebun binatang
Ragunan, dan menyediakan bantuan hukum bagi rakyat (LBH). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar