Rakyat
dan Presidennya
Ridho Imawan Hanafi ; Peneliti
dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 06 November 2014
JOKOWI tak sendiri ketika menuju Istana. Usai dilantik di gedung
MPR pada 20 Oktober 2014, sukarelawan dan rakyat mengantarnya. Presiden baru
itu diarak dengan prosesi kirab budaya, dan publik bisa melihat sebuah
kegembiraan. Pancaran itu seperti memenuhi apa yang pernah berulang kali
dikatakan Jokowi bahwa pilpres yang ia jalani bersama sukarelawan adalah
sebuah kegembiraan politik. Rakyat dan presidennya menyatu dalam jarak yang
rapat.
Perayaan seperti itu merupakan hal baru. Belum pernah terjadi
proses pergantian kepemimpinan nasional diliputi suasana gembira. Selama ini,
rekaman sejarah mewartakan proses suksesi kepemimpinan nasional berjalan
terjal dan penuh ketegangan. Maka, ledakan antusiasme rakyat dalam menyambut
Jokowi salah satunya bisa dibaca sebagai ungkapan syukur rakyat atas
keterpilihan pemimpin nasional melalui kompetisi elektoral yang demokratis
dan damai.
Proses menuju arah kompetisi demokratis dan damai, tak mudah.
Persaingan dua kandidat presiden: Jokowi dan Prabowo Subianto pada Pilpres
2014 disebut banyak orang sebagai yang terkeras. Bahkan, seolah-olah
masyarakat terbelah: kita dan mereka. Sampai menjelang pelantikan presiden,
antara pihak yang menang dan kalah seperti tidak bisa terdamaikan. Dunia
politik ke depan terancam suram. Yang terlihat hanya sebagai ajang adu
kekuatan dua kubu di altar kekuasaan.
Saat situasi terasa kritis, Jokowi bertemu beberapa elite partai
yang berada di luar kubunya, dan ditutup pertemuan manis Jokowi dengan
Prabowo. Puncaknya, pada acara pelantikan presiden semua kalangan hadir dan
memperlihatkan betapa demokrasi di Indonesia perlahan bergerak ke arah yang
matang. Di pidato pelantikannya, Jokowi mengajak semua kalangan dari rakyat
bawah sampai elite politik untuk bergerak bersama.
Di sinilah Jokowi sebagai pemimpin baru hadir sebagai harapan.
Jutaan rakyat berharap Jokowi mampu mengurai timbunan masalah. Dia diharapkan
bisa membawa bangsa ini mengarungi kehidupan yang lebih baik. Harapan inilah
yang menggerakkan rakyat tumpah-ruah di jalanan. Harapan membangkitkan
kelesuan, dan dari harapan terbentang perubahan keadaan. Meminjam ungkapan
Pliny the Elder, hope is the pillar
that holds up the world, hope is the dream of a waking man.
Di luar itu, syukuran rakyat sebenarnya mengandung beberapa
tafsir. Pertama; acara mengantar Jokowi untuk tidak sendirian berjalan ke
Istana memperlihatkan bahwa Jokowi tak hanya didukung partai koalisi tapi
juga sebagian besar rakyat. Dukungan tersebut telah diperlihatkan secara
demonstratif. Artinya, di balik Jokowi ada rakyat. Hal ini tidak terlepas
dari eskalasi politik belakangan ini dengan kemunculan berbagai isu untuk
menjegal Jokowi.
Alarm Peringatan
Dengan kata lain, pesan yang diinginkan sukarelawan dan rakyat
adalah meskipun koalisi lawan politik Jokowi menguasai parlemen, mereka tak
bisa seenaknya bermanuver terhadap pemerintah. Manuver mereka bakal
berhadapan dengan rakyat. Sukarelawan mendudukkan diri pada posisi berjaga
dari segala kemungkinan buruk yang menimpa pemerintah. Maka, diharapkan bagi
lawan politik Jokowi untuk proporsional dalam bermanuver.
Kedua; pemerintahan Jokowi tidak bisa dilepaskan dari kawalan
sukarelawan. Jokowi pun mengajak sukarelawan mengawal pemerintahannya. Hitam
putih jalannya pemerintahan ditanggung secara gotong royong. Pola
pemerintahan partisipatif seperti itu diharapkan menguntungkan Jokowi karena
senantiasa terawasi dan terpandu untuk berbuat yang terbaik. Begitu dirasakan
ada yang melenceng dari cita dan tujuan, alarm peringatan berdering sejak
awal dari sukarelawan.
Ketiga; karena dikawal rakyat, Jokowi harus senantiasa
mendahulukan kepentingan rakyat di atas segala kepentingan lain, termasuk
kepentingan partai pendukungnya. Jebakan untuk melakukan politik
transaksional memang selalu menggoda. Di sinilah pentingnya ingatan politik
bahwa sesungguhnya yang mengantar Jokowi ke Istana adalah rakyat. Kekuasaan
yang dijalankan pun berlandaskan kekuasaan rakyat yang tertopang oleh
gelombang besar harapan.
Kini, Jokowi sudah melantik para menteri dan secara umum Kabinet
Kerja tersebut cukup menghadirkan optimisme meskipun sebelumnya terlihat
bahwa proses pemilihan menteri berlangsung terjal. Jokowi berkesan tak
leluasa menggunakan hak prerogatifnya. Keterjalan proses penyusunan kabinet
perlahan bisa memudar bila para menteri segera ’’berlarI’’, bekerja demi
rakyat. Kabinet Kerja bukan hanya sebuah tanda atau wacana, melainkan kerja.
Jokowi, Jusuf Kalla, dan para menteri, tidak bisa berlama-lama
larut dalam euforia kegembiraan karena rakyat tidak ingin terlalu lama
menanti pemenuhan janji semasa kampanye pilpres. Mengulur pemenuhan janji
mudah menimbulkan risiko: kekecewaan. Syukuran rakyat atas pelantikan
Presiden Jokowi sesungguhnya bukan semata-mata merayakan kemenangan.
Pasalnya, kemenangan yang terbentang di depan untuk digapai adalah
terpenuhinya janji-janji Jokowi-JK semasa berkampanye. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar