Perang
Jokowi Melawan Korupsi
Refly Harun ; Pengajar
dan Praktisi Hukum Tata Negara
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Oktober 2014
KORUPSI masih menjadi penyakit
akut bangsa ini. Sepuluh tahun masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), indeks persepsi korupsi Indonesia tetap di bawah tiga.
Artinya, Indonesia masih terkategorikan negeri yang sangat korup. Presiden
Jokowi dan para menteri yang baru dilantik pada 27 Oktober lalu tidak boleh berdiam
diri. Mereka semua harus menjadi bagian dari pemecahan masalah (part of solution). Para menteri itu,
terutama tidak boleh menjadi bagian dari masalah (part of problem). Apalagi sampai dijerat Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) suatu hari nanti, seperti halnya tiga menteri Presiden SBY yaitu
Andi Mallarangeng, Suryadharma Ali, dan Jero Wacik. Belum lagi
pejabat-pejabat eselon I kementerian yang juga ditangkap KPK, yang
menunjukkan menteri tempat pejabat tersebut bernaung sudah gagal.
Berikut beberapa saran kecil yang
mudah-mudahan bisa berdaya kerja (workable)
bagi Presiden Jokowi dan kabinet untuk berperang melawan korupsi pada 100 hari
pertama. Tidak perlu berdalih bahwa kabinet kerja tidak hanya untuk 100 hari
pertama. Tunjukkan saja ada tren positif dalam 100 hari pertama tersebut.
Rakyat akan percaya dan terus mendukung bila perubahan itu dirasakan. Itulah perwujudan
nyata dari revolusi mental tersebut.
Mulai dari istana
Pertama, dimulai dari diri
Presiden Jokowi. Lantai kotor tidak mungkin disapu oleh sapu yang juga kotor,
atau piring kotor tidak mungkin diputihkan oleh air yang juga kotor,
begitulah tamsilnya. Presiden harus mendeklarasikan secara terbuka harta
kekayaan yang ia miliki. Ia harus berjanji, selama menjabat sebagai presiden tidak
akan melakukan korupsi. Tidak akan memperkaya diri sendiri atau kerabatnya
dengan cara yang menyimpang.
Presiden juga harus melarang keras
sanak kerabat terdekatnya untuk memanfaatkan kekuasaan yang ia miliki.
Bahkan, bila perlu, melarang mereka untuk berbisnis selama ia menjabat
presiden. Di negeri ini, kerabat pejabat yang berbisnis kerap mendapatkan
kemudahan. Presiden harus bekerja keras untuk memberikan contoh bahwa daerah
steril korupsi ialah lingkungan kepresidenan. Kantor kepresidenan harus
menjadi teladan dalam pemberantasan korupsi.
Tanpa keteladanan itu sulit menyebarkan
serum antikorupsi ke unit-unit pemerintahan lain. Logikanya sederhana, bila
kantor presiden saja penuh dengan mafia korupsi, apatah lagi unit-unit
pemerintahan yang lain.
Kedua, semua menteri dan semua anggota
kabinet diberi mandat untuk membersihkan lingkungan kementerian dari
virus-virus korupsi selama 100 hari pertama menjabat. Mulai dari lingkaran
terdekat, para pejabat eselon I setingkat sekretaris jenderal atau direktur
jenderal, hingga lingkaran paling jauh yang selama ini nasibnya abai
diperhatikan seperti tukang sapu, tukang parkir, satpam, dan pekerja-pekerja kecil
lainnya.
Komitmen 100 hari itu harus
dijalankan dengan sungguh-sungguh dan dengan strategi yang jitu. Reward dan punishment diperlakukan dengan tegas dan keras. Mereka yang
terbukti masih melanggar harus dihukum bila perlu sampai dikeluarkan. Semua
karyawan, misalnya, diperintahkan untuk menandatangani fakta antikorupsi. Bila
terbukti melakukan korupsi, mereka siap dipecat.
Menteri yang terindikasi gagal melaksanakan
program pembersihan yang diindikasikan dengan adanya perubahan signifikan dalam
100 hari pertama harus pula menerima punishment, yaitu diberhentikan dari
jabatannya. Karena itu, mereka juga harus menandatangani fakta antikorupsi, juga
dengan ancaman pemecatan bila terbukti melakukan korupsi. Untuk itu harus
dibuat kesepakatan, sanksi pemecatan tersebut bisa langsung diterapkan tanpa
harus menunggu terlebih dulu formalisme hukum yang kerap menghambat
pemberantasan korupsi, yaitu putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Secara teoretis,
sebagai kepala kekuasaan eksekutif tertinggi, presiden dapat mengangkat dan
memberhentikan menteri-menterinya, dengan atau tanpa persetujuan sang
menteri.
Ketiga, Presiden harus menjalin
sebuah koalisi besar, sebuah gerakan rakyat melawan korupsi. Untuk menghadapi
serangan balik para koruptor dengan kekuatan financial yang dimiliki, para
koruptor dan pengusaha hitam berpotensi membangun kekuatan perlawanan. Misalnya,
mereka dapat membeli media massa, baik cetak maupun elektronik, untuk
menyuarakan kepentingan mereka. “Kita
tentu saja juga harus mengakui bahwa korupsi juga ada dalam profesi
jurnalisme,” ujar Jeremy Pope (2003: 223). Mereka juga dapat membeli massa
untuk berdemonstrasi menentang sang presiden.
Komitmen yang tidak lip service untuk memberantas korupsi,
Presiden Jokowi akan lebih mudah mendapatkan dukungan massa atau kelompok
massa yang selama ini pun geram dengan fenomena korupsi. Lembaga swadaya
masyarakat, kelompok mahasiswa, para pengusaha putih, intelektual perguruan
tinggi yang belum terbeli, dan anasir-anasir putih dalam parpol, ialah
kelompok-kelompok potensial yang dapat berdiri di belakang presiden.
Keempat, the last but not least, Presiden tetap harus mencontohkan pola
hidup sederhana. Korupsi kerap muncul dari pola hidup pamer dan konsumtif
yang dicontohkan pemimpin kepada bawahannya, orangtua kepada anaknya, orang kaya
kepada yang miskin, dan masyarakat kepada lingkungannya. Lihatlah para calon
menteri yang datang ke Istana menemui Jokowi, hampir semua pamer mobil mewah dan
wah.
Melihat orang lain hidup wah, sering
terlintas di hati untuk pula mendapatkannya. Kesederhanaan dari seorang
presiden akan menjadi contoh kuat, mudah-mudahan dapat membunuh keinginan
untuk hidup enak dengan jalan pintas.
Korupsi memang sudah berurat berakar.
Kanker ganas itu sudah hampir membawa kematian bagi bangsa ini. Susah
membunuh penyakit yang satu itu, kecuali dengan sebuah perang besar dan
dahsyat yaitu dengan keteguhan. Saya masih yakin, dengan keteguhan dan komitmen
yang kuat, korupsi bias diberantas. Tidak ada rintangan yang tidak bisa
diatasi dengan keteguhan dan komitmen yang kuat. Selama ini, dua hal itulah yang
absen dari bangsa ini, dari kita, dan terutama dari pemimpin-pemimpin kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar