MPR
RI dan Gerakan Empat Pilar Negara
Hajriyanto Y Thohari ; Mantan Wakil Ketua MPR Periode 20019-2014
|
KORAN
SINDO, 04 November 2014
Sejak reformasi, kecuali periode 1999-2004, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) memang menjadi lembaga negara yang sunyi
sepi. MPR hanya menjadi berita media dua kali saja dalam sepanjang lima tahun
masa baktinya: pertama, pada saat bersidang untuk pemilihan pimpinan (1-6
Oktober): kedua, pada saat sidang paripurna pelantikan presiden dan wakil
presiden tanggal 20 Oktober.
Setelah itu, MPR tidak akan pernah bersidang paripurna lagi
sekalipun kecuali ada agenda berikut ini: Sidang Tahunan untuk mendengarkan
Pidato Kenegaraan Presiden tanggal 16 Agustus (kalau jadi), Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden, pelantikan dan atau pemilihan presiden dan/atau wakil presiden jika
salah satu atau keduanya, sendirian atau bersama-sama berhalangan tetap atau
berhenti sebagai presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya.
Dalam konteks seperti itu, lantas apa yang bisa diharapkan pada
MPR? Atau dengan kata lain apa yang bisa dilakukan oleh pimpinan MPR dan
pimpinan fraksi-fraksi serta kelompok anggota yang kosong pasca sidang
pelantikan presiden itu? Pertanyaan ini terutama bagi pimpinan MPR yang
notabene merupakan badan permanen (permanent
body), bukan diarahkan kepada anggota MPR. Pasalnya, bagi anggota MPR
oleh karena mereka adalah juga merangkap sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) atau anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tentu tidak menjadi
persoalan: mereka mengikuti sidang-sidang atau rapat-rapat di DPR dan DPD.
Terobosan Konstitusional
Maka itu, jawaban terhadap pertanyaan kepada pimpinan MPR
tersebut di atas sangat bergantung pada kreativitas dan inovasi pimpinan MPR
itu sendiri. Pasalnya, MPR tidak akan pernah melaksanakan sidang paripurna
kecuali ada tiga agenda besar tersebut di atas. Alhasil, tidak akan ada
berita apa pun dari MPR kecuali pimpinan MPR bisa melakukan terobosan selama
masih dalam koridor konstitusi. Ini bukan proposal yang sulit, namun juga
tidak mudah dan ringan. Diperlukan kejelian dan kecerdasan politik untuk
melakukan terobosan ini.
Pimpinan MPR periode 2009-2014 membuat terobosan dengan
melakukan: pertama, Gerakan Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika (dulu disebut Empat Pilar
Negara); dan kedua, memprakarsai Rapat Konsultasi Pimpinan Lembaga Tinggi
Negara yang diikuti oleh presiden, wakil presiden, pimpinan MPR, pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
pimpinan Mahkamah Konstitusi (MK), pimpinan Mahkamah Agung (MA), pimpinan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komisi Yudisial (KY) setiap dua bulan
sekali. Berkat Gerakan Sosialisasi Empat Pilar dan Rapat Konsultasi ini,
muncullah berita-berita tentang MPR.
Selebihnya adalah dan hanyalah pernyataan-pernyataan individual
pimpinan MPR tentang isu-isu aktual di berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam perspektif Empat Pilar Negara.
Kini pimpinan MPR, termasuk di dalamnya pimpinan fraksi dan
kelompok anggota, harus memikirkan dengan sungguhsungguh apa yang akan
dilakukan oleh MPR periode ini setelah pelantikan presiden dan wakil presiden
tanggal 20 Oktober 2014 ini. Tentu bukan berpikir mengada-adakan agenda agar
MPR bisa mengadakan sidang, melainkan memikirkan apaapa yang akan dilakukan
untuk bangsa dan negara yang sifatnya strategis dan mendasar. Pasalnya, apa
pun yang dilakukan MPR haruslah bersifat mendasar, fundamental, dan strategis
seperti misalnya menyangkut implementasi dasar negara, tujuan negara, dan
arah negara sebagaimana yang termuat dalam UUD 1945. Atau dengan kata lain
menyangkut aksi dan implementasi dasar dan ideologi negara, yaitu Pancasila,
UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika
(yang dulu disebut Empat Pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara).
Pasalnya, mereka bisa melanjutkan atau tidak melanjutkan program
dan gerakan sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika (yang dulu disebut Empat Pilar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara). UU tentang MD3 hanya memerintahkan
dilakukannya sosialisasi Putusan MPR. Tidak ada yang lain. Dari ketentuan
ini, MPR periode 2009-2014 membuat terobosan gerakan sosialisasi Empat Pilar
itu. Kini pertanyaannya adalah terobosan apakah yang akan dilakukan oleh
pimpinan MPR periode ini untuk mengisi hari-harinya yang sepi dan panjang
dengan programprogram dan gerakan-gerakan yang secara cerdas dielaborasi dari
frase ”melakukan sosialisasi Putusan MPR” tersebut di atas. Apa yang disebut
dengan ”putusan MPR” adalah tidak banyak: UUD 1945, Ketetapan-Ketetapan MPR,
dan Keputusan-Keputusan MPR.
Gerakan Sosialisasi
Pancasila
Dalam konteks dan perspektif ini, tentu saja saya berharap
pimpinan MPR melanjutkan dan menyempurnakan program atau gerakan sosialisasi
Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka
Tunggal Ika (yang dulu disebut Empat Pilar) dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara secara lebih baik. Sebagai sebuah gerakan maka sosialisasi empat
pilar negara haruslah dilakukan secara sistematis dan masif. Di mana pun dan
kapan pun sebuah gerakan haruslah selalu dilakukan secara metodologis,
dinamis dan sistematis. Alhasil harus merupakan sistematisasi yang dinamis
sekaligus dinamisasi yang sistematis. Itulah kata kunci dari sebuah gerakan
itu. Untuk menopang sosialisasi Empat Pilar menjadi sebuah gerakan atau movement, MPR periode sebelumnya
membentuk tiga buah Tim Kerja, yaitu Tim Kerja Sosialisasi, Tim Kerja
Pengkajian, dan Tim Kerja Anggaran, untuk menopangnya.
Pimpinan MPR memang seyogianya orang-orang yang banyak melakukan
pemikiran yang reflektif dan refleksi yang visioner mengenai dasar negara,
tujuan negara, arah atau kiblat negara, persoalan integrasi nasional, dan
lain-lainnya. Atau dengan kata lain, pimpinan MPR, sekali lagi termasuk di
dalamnya pimpinan fraksi dan kelompok anggota, haruslah siap menjadi manusia
refleksi (man of reflection) atau
manusia pemikir (man of thinking),
bukan kaum pekerja (man of action)
atau manusia praktisi (man of
practition).
Pimpinan MPR tidaklah sama dengan pimpinan DPR. Demikian juga
halnya pimpinan fraksi atau kelompok anggota MPR bukanlah pimpinan fraksi DPR
yang mengurus politik sehari-hari (day
to day politics). Pimpinan MPR lebih tinggi dari pada itu dan karenanya
juga harus berpikir lebih tinggi daripada pimpinan DPR berpikir. Pimpinan MPR
harus berpikir dalam level abstraksi yang sangat tinggi, yaitu menyangkut
dasar negara, tujuan negara, dan aturan-aturan dasar negara,Tentu pekerjaan
dan bidang seperti terurai di atas itu akan tidak menarik bagi mereka yang tidak
menaruh kepedulian (concern) pada
hal-hal yang sifatnya mendasar. Apalagi bagi orangorang yang tidak terbiasa
bergiat dalam aktivisme intelektual yang biasa berpikir secara filosofis.
Tetapi bagaimanapun, hal itu harus dimulai. Percayalah banyak hal yang bisa
dikerjakan sebagai pimpinan MPR. Semoga!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar