Momentum
Ekonomi Syariah
Anif Punti Utomo ; Direktur
Indostrategic Economic Intteligence
|
HALUAN,
05 November 2014
Kabinet yang oleh Presiden Joko Widodo diberi nama Kabinet Kerja sudah
dilantik. Bahkan tak lama setelah dilantik, kabinet yang berjumlah 34 menteri
itu sudah langsung bekerja, melakukan rapat kabinet pertama dengan Presiden
dan Wakil Presiden.
Beragam penilaian dialamatkan
pada susunan kabinet. Ada yang pesimistis, ada yang optimistis, ada yang wait and
see, melihat perkembangan 100 hari pertama.
Yang menggelitik adalah istilah pengamat politik Burhanuddin Muhtadi, yakni “Baik, tapi tidak menimbulkan wow effeck”
alias tidak membuat orang berdecak kagum.
Pasar tampak tidak bergairah
menyambut kabinet baru. Pada hari saat pelantikan, Senin (27/10), kurs rupiah
hanya sedikit menguat 0,28 persen terhadap dolar AS menjadi Rp 12.035 per
dolar. Sebaliknya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia
yang menjadi representasi respons pasar di lantai bursa terjungkal 0,96
persen ke posisi 5.024.
Lepas dari berbagai pendapat
masyarakat, dari perspektif ekonomi syariah, ada satu sosok yang menarik,
yakni terpilihnya Bambang Brodjonegoro menjadi menteri keuangan. Bambang
menyisihkan kandidat kuat lain, salah satu yang pernah disebut sebagai
pesaing adalah seniornya, Sri Mulyani.
Mengapa menarik? Karena,
Bambang Brodjonegoro adalah ketua umum Ikatan Ahli Ekonomi Syariah Indonesia
(IAEI). Jika hanya melihat Bambang Brodjo sebagai menteri keuangan sekaligus
ketua umum IAEI, mungkin juga biasa saja. Namun, ketika dikaitkan dengan
kolega dia yang sama-sama menjadi komandan dalam otoritas keuangan sekaligus
menjadi ketua organisasi ekonomi syariah, di situ daya tariknya.
Ketua Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) Muliaman Hadad, dalam organisasi ekonomi syariah, dia menjadi ketua
umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Berikutnya, Halim Alamsyah, selain
sebagai deputi gubernur BI, dia juga sebagai ketua umum Pusat Komunikasi
Ekonomi Syariah (PKES).
Integritas Bambang Brodjo,
Muliaman, dan Halim Alamsyah tentunya tidak diragukan terhadap perkembangan
ekonomi syariah. Tinggal bagaimana menyinergikan keotoritasan trio tersebut
untuk mendukung perkembangan ekonomi syariah agar Indonesia segera menjadi
salah satu pusat ekonomi syariah global.
Jika kita menengok ke belakang,
tonggak sejarah ekonomi syariah dimulai dengan lahirnya Bank Muamalat
Indonesia (BMI) pada 1 November 1991. Berdirinya bank tersebut merupakah
inisiatif masyarakat Islam di Indonesia untuk mengembangkan ekonomi syariah.
Sejak itu industri keuangan dan bisnis syariah berkembang fantastis.
Dari sisi kinerja, dalam lima
tahun terakhir bank syariah tumbuh 35-40 persen, tetapi jika dilihat dari
pangsa pasar masih sangat rendah, posisinya di sekitar 4,6 persen. Begitu
pula industri keuangan lain, seperti asuransi, pembiayaan, juga transaksi di
bursa saham masih belum tembus lima persen.
Pencapaian pangsa pasar itu
jauh di bawah perbankan syariah di Malaysia yang sudah 23 persen. Betul bahwa
Malaysia sudah mengembangkan bank syariah satu dekade sebelum kita. Namun,
mereka tidak perlu 20 tahun untuk mencapai pangsa pasar itu, sementara
Indonesia sudah hampir seperempat abad masih di bawah lima persen.
Untuk mencapai pangsa pasar
itu, Malaysia tidak hanya mengandalkan pertumbuhan organik. Pemerintah sangat
concern pada perkembangan bank syariah sehingga banyak kebijakan keuangan
yang menguntungkan sekaligus mendorong bank syariah.
Perlu langkah-langkah radikal
untuk mengembangkan ekonomi syariah yang idealnya dimulai dari perbankan.
Jika bank syariah tumbuh pesat, industri keuangan lainnya akan mengikuti,
berikutnya gerbong sektor riil syariah juga akan terangkut.
Masalahnya, dari mana
memulainya? Berdirinya BMI merupakan langkah revolusioner yang diinisiatori
oleh masyarakat atau lebih dikenal dengan istilah society driven. Kini untuk
menjadikan perbankan syariah memiliki pangsa pasar 20 persen, dibutuhkan
langkah revolusioner kedua. Dan, revolusi babak kedua harus dilakukan
pemerintah (government driven).
Ada dua strategi pendekatan
pengembangan anorganik yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, memiliki
bank negara yang beraset besar sampai ratusan triliun rupiah. Bank ini
nantinya akan menjadi simbol bagi ekonomi syariah di Indonesia. Negeri dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia sudah seharusnya memiliki bank syariah
raksasa.
Alternatif yang bisa dipilih
adalah memergerkan bank syariah yang dimiliki oleh bank negara, yakni Bank
Syariah Mandiri, BNI Syariah, BRI Syariah, dan BTN Syariah. Jika keempat bank
itu dimergerkan, akan memiliki aset sekitar Rp 115 triliun. Tidak cukup
besar untuk menjadi bank syariah yang besar. Cara ini juga tidak akan meningkatkan
pangsa pasar.
Alternatif lain adalah
mendirikan bank syariah baru yang tentu harus bermodal besar, minimal Rp 20
triliun sehingga bisa beraset di atas Rp 200 triliun. Langkah ini tidak
seribet memergerkan bank, tetapi membutuhkan dana tunai dari pemerintah. Jika
dilakukan, akan menaikkan pangsa pasar bank syariah.
Alternatif berikutnya yang
ekstrem adalah mengonversi bank BUMN menjadi bank syariah. Beberapa tahun
lalu sempat ada wacana Bank BTN mau dikonversi, tetapi urung dilaksanakan.
Wacana itu perlu dibangkitkan lagi. Bahkan bukan BTN yang dikonversi, melainkan
BRI yang asetnya per September 2014 mencapai Rp 486 triliun.
Menurut kajian Anna Marina dkk
(2013), ada kesamaan antara BRI dan bank syariah, misalnya, customer base
yang mirip, yaitu ritel, UKM, pertanian, dan perekonomian rural. BRI juga
menggarap pasar bidang infrastruktur, produksi, dan perdagangan produk halal,
seperti makanan, minuman, dan obat-obatan.
Jika BRI dikonversi, apalagi
dilanjutkan dengan mengakuisi bank syariah yang dimiliki bank BUMN, dengan
perhitungan neraca Juni, aset bank syariah itu mencapai Rp 591 triliun.
Pangsa pasar pun masih sekitar 13 persen. Namun, setidaknya sudah mengalahkan
aset Bank Islam Malaysia yang Rp 195 triliun dan menjadi salah satu bank
syariah terbesar dunia.
Langkah kedua untuk
mengembangkan bank syariah sekaligus menunjukkan komitmen, pemerintah
membuat kebijakan menempatkan sebagian dana APBN atau dana yang berhubungan
dengan pemerintah dan BUMN di bank syariah. Langkah ini yang dilakukan
Malaysia sehingga pangsa pasar bank syariah signifikan.
Ketika Anggito Abimanyu menjadi
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, dia mewajibkan setoran dana dari
calon haji lewat bank syariah. Dari sini perbankan syariah memperoleh
tambahan dana Rp 16 triliun. Terobosan seperti ini seharusnya menginspirasi
otoritas keuangan untuk lebih berperan.
Barangkali kelak tidak akan
terulang lagi tiga tokoh ketua umum organisasi ekonomi syariah sekaligus
menduduki posisi di puncak otoritas moneter berbeda. Karena itu, sekaranglah
saatnya posisi mereka dioptimalkan untuk kebaikan umat. Jadikan kesempatan
ini menjadi momentum kebangkitan kedua ekonomi syariah.
Selama ini society driven sudah melakukan langkah revolusioner. Kini,
giliran pemerintah dengan government
driven melakukan langkah revolusioner untuk menggenjot pangsa pasar bank
syariah sebesar negara jiran. Kita tunggu kiprah ketiga tokoh itu untuk
menyinergikan kekuatan masyarakat dan pemerintah agar Indonesia menjadi pusat
ekonomi syariah dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar