Mitos-Mitos
Seputar Kenaikan Harga BBM
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah
Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 20 November 2014
Bangsa
kita sangat suka dengan mitos, dongeng, dan sejenisnya. Dalam hal-hal
tertentu, kita juga suka memakainya sebagian untuk tujuan positif. Misalnya,
kakek-nenek kita dulu suka bercerita tentang pohon angker di atas bukit.
Akibatnya
kita tak berani main-main ke puncak bukit. Apalagi menebang pohonnya.
Di
daerah Kuningan, Jawa Barat, juga ada sejenis ikan yang bentuknya unik. Dulu
di sebuah kolam di Desa Cokrotulung, Klaten, juga ada ikan. Tapi mitosnya
sama: ikan-ikan itu adalah peliharaan para dewa, jadi tak boleh dipancing,
apalagi dimakan. Kita pun menurutinya.
Cerita-cerita
semacam itu tentu merupakan mitos yang positif. Pohon-pohon yang berada di
atas bukit jadi tetap aman, tidak ditebangi. Ini membuat bukit-bukit jadi
tempat yang bagus untuk penampungan air. Kemudian air ini dialirkan ke bawah
melalui sungai-sungai, dipakai untuk mengairi sawah dan ladang. Sebagian air
juga ditampung dalam kolam, dipakai untuk memelihara ikan.
Ikan-ikan
yang dijaga mitos itu terus bertambah, makin banyak, dan panjang usianya.
Begitulah kalau mitos positif bekerja.
Celakanya,
banyak juga mitos negatif yang berkembang di masyarakat kita. Salah satunya
mitos tentang subsidi bahan bakar minyak (BBM). Maka, tak heran, siapa pun
yang melakukannya muncul reaksi-reaksi penolakan. Apa saja mitos-mitos
tersebut? Mari kita simak sebagian di antaranya.
BBM Harus Murah
Jangan
salah ini mitos pertama masih banyak masyarakat kita yang beranggapan
Indonesia adalah negara yang kaya minyak dan gas. Anggapan seperti ini bukan
hanya berkembang di kalangan masyarakat kecil, tetapi di lapisan elite kita.
Maka pola pikirnya, BBM murah adalah hak. Anggapan semacam ini jelas keliru.
Kita bukan negara yang masih kaya dengan minyak dan gas.
Cadangan
minyak kita yang sudah terbukti (kerap diistilahkan dengan proved reserves) hanya 3,7 miliar
barel atau 0,25% dari total cadangan dunia. Dengan cadangan terbukti sebanyak
itu, jika tak ada temuan baru, semuanya akan terkuras habis dalam tempo 11
tahun ke depan. Negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia saat ini
adalah Venezuela.
Sampai
2012, volume cadangan minyak terbukti di negara itu mencapai 297,3 miliar
barel, atau 17,8% dari total cadangan dunia. Disusul Arab Saudi (dengan 265,9
miliar barel atau 15,9%) dan Iran (157 miliar barel atau 9,5%). Volume
cadangan minyak terbukti kita bahkan kalah ketimbang Vietnam dan Malaysia. Cadangan
Vietnam mencapai 4,4 miliar barel, sementara Malaysia 3,7 miliar barel
(dengan digit angka di belakangnya lebih besar ketimbang kita).
Lalu,
sejak 2004 kita sudah tidak lagi menjadi eksportir minyak. Sebaliknya malah
menjadi importir. Pada tahun itu impor BBM kita mencapai sekitar 400.000
barel per hari (bph). Anda tahu berapa volume impor BBM kita sekarang? Sudah
1,6 juta bph atau empat kali lipat. Kalau sudah jadi net importer, maka tak
relevan lagi mengocehkan soal ini: berapa ongkos produksinya.
Saya
bingung membaca logika penanya konyol seperti itu. Namanya barang impor, mau
berapa pun biaya produksinya di sini, harganya ya cuma mengikuti harga pasar
dunia. Dan itu mudah mencarinya. Lagipula, kita sudah lama meninggalkan rezim
cost plus fee dalam menetapkan
harga BBM yang berakibat perusahaan nasional kita tak efisien. Bahkan
sekarang kita menjadi negara importir BBM terbesar di dunia silakan
kalau Anda mau berbangga.
Setiap
hari kita impor BBM senilai Rp1,7 triliun per hari. Dengan belanja BBM
sebesar itu, tak mengherankan bila setiap kali nilai rupiah melemah terhadap
dolar AS pengaruhnya jadi lumayan serius. Bahkan kalau terus melemah, kita
harus membayar pangan (yang impornya juga makin aduhai) dengan rupiah yang
makin banyak membuat harga pangan di dalam negeri semakin mahal. Ini
sepertinya tak dipahami para pendukung subsidi, eh, maksud saya pendukung
impor BBM gede-gedean, yang mengabaikan bahaya besar dalam jangka panjang.
Mitos Rakyat Makin Miskin
Mitos
kedua, dan ini juga kuat gaungnya, adalah mengalihkan subsidi BBM akan
membuat rakyat kita yang miskin semakin miskin, dan yang sudah susah semakin
susah. Mitos inilah yang mendorong mahasiswa
melakukan aksi demo. Bagi saya, aksi mahasiswa ini jelas aneh.
Sebagai kelompok masyarakat yang terdidik, apakah mereka tidak bisa
berhitung dan menganalisis siapa sesungguhnya yang mereka bela? Apakah mereka
tidak tahu bahwa selama ini 70% dari subsidi BBM dinikmati oleh masyarakat
yang mampu, yakni para pemilik kendaraan bermotor? Apakah mereka tidak sadar
bahwa aksi memblokade jalan dan membakar ban malah membuat masyarakat menjadi
semakin susah karena mereka jadi terjebak kemacetan?
Banyak
kalangan kelas menengah yang tiba-tiba merasa bagian dari rakyat miskin
ketika subsidi BBM buat mereka ditarik dan dipindahkan pada mereka yang
berhak. Mereka juga berteriak, kalau harga BBM naik maka harga pangan akan
ikut naik. Padahal, sebaliknya juga terjadi seperti yang saya jelaskan di
atas kalau kurs rupiah kita terus melemah gara-gara kecanduan BBM impor.
Opportunity Cost
Mitos
ketiga adalah kuatnya anggapan, persoalan subsidi BBM adalah persoalan APBN
semata. Kita baru ribut membahas kenaikan harga BBM ketika harga minyak
mentah dunia meningkat. Sebab, kenaikan itu bakal membuat APBN jebol.
Sebaliknya, ketika harga minyak dunia menurun, kita tenangtenang saja, bahkan
minta diturunkan juga harganya.
Padahal,
persoalan subsidi BBM lebih serius dari sekadar persoalan APBN. Kita tak
pernah menghitung berapa opportunity
cost yang hilang seandainya dana subsidi BBM dialokasikan untuk
kegiatan-kegiatan yang produktif. Contohnya, biaya untuk membangun monorel
dari Bekasi dan Cibubur ke Jakarta hanya membutuhkan dana Rp8,45 triliun.
Seandainya
sebagian dana dari subsidi BBM dialokasikan untuk menuntaskan pembangunan
monorel ini, saya yakin, kita akan memetik banyak manfaat. Menurut
perhitungan Infrastructure Partnership
and Knowledge Centre (IPKC), biaya akibat kemacetan di Jakarta dan
sekitarnya mencapai Rp68 triliun per tahun atau Rp186 miliar per hari! Inilah
opportunity cost yang menguap
begitu saja akibat subsidi BBM tidak dialihkan ke kegiatan yang produktif.
Padahal, seandainya kemacetan tersebut berhasil kita kurangi, biaya yang
berhasil kita hemat tentu lumayan. Mungkin bisa dipakai untuk membiayai
pembangunan monorel atau infrastruktur lain.
Mitos
keempat berkembang sejak tumbangnya Soeharto. Pada Mei 1998, Soeharto
mengumumkan kenaikan harga BBM hingga mencapai lebih dari 70%. Pengumuman
dilakukan pada siang hari, sehingga menyebabkan SPBU-SPBU diserbu konsumen.
Antrean terjadi di mana-mana. Kemacetan meluas. Pengumuman tersebut memicu
aksi penolakan yang meluas di masyarakat. Demonstrasi terjadi di mana-mana,
kemudian bergulir menjadi kerusuhan massal. Sebagian Anda tentu masih ingat
dengan aksi penjarahan yang terjadi di mana-mana. Aksi demo dan kerusuhan
itulah yang kemudian memaksa Soeharto lengser dari jabatannya sebagai
presiden RI.
Dengan
mitos-mitos yang kuat berkembang di masyarakat, saya harus mengapresiasi
langkah berani Jokowi-JK dalam menaikkan harga BBM, kendati usia
pemerintahannya belum sampai sebulan. Keputusan itu memang memaksa kita untuk
keluar dari zona nyaman. Kita sudah terlalu lama kecanduan BBM bersubsidi.
Perilaku kita sangat boros energi. Hari Minggu lalu, sambil menunggu jalan
dari Puncak dibuka satu arah ke Jakarta, saya duduk di tepi kebun teh.
Selama
satu jam menunggu kepala saya pusing menghirup karbon yang keluar dari
knalpot ribuan mobil yang mesinnya tidak dimatikan karena penumpangnya lebih
senang duduk di dalam mobil menikmati AC mobil. Bayangkan, menunggu satu jam
tanpa mematikan mesin sama sekali. Entahlah berapa banyak subsidi yang
dibakar sia-sia oleh mereka yang kadang-kadang mengaku miskin karena
subsidinya dialihkan.
Kini,
Kepala Negara mengajak kita untuk berubah. Kita harus berani mengoreksi
kekeliruan selama ini subsidi yang salah sasaran, dengan berani keluar dari
zona nyaman. Selamat menjalani Revolusi
Mental. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar