Iriana,
Ijazah Menteri, dan Meja DPR
Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
KORAN
TEMPO, 03 November 2014
Hari itu, 25 Oktober 2014, saya melihat ibu negara Republik
Indonesia yang baru, Iriana, di Bandara Adisoemarmo, Surakarta, yang empat
hari sebelumnya memasuki Istana Merdeka bersama suaminya, Presiden RI Joko
Widodo.
Saya saksikan banyak orang meminta ber-selfie-ria dengannya, dan
semua dilayani dengan senyum cemerlang yang sama seperti yang juga telah
disaksikan ratusan juta orang empat hari sebelumnya, dalam balutan kebaya
kutubaru oranye cemerlang yang "tidak usah baru", yang menjadi
penanda kesederhanaan baru, setelah republik ini sebelumnya telah digemparkan
oleh kejutan demi kejutan, hanya karena kesederhanaan diperkenalkan kembali.
Betapa telah menjadi asing kesederhanaan itu!
Terbiasa dengan protokoler dan kemewahan (semu), berturut-turut
rakyat Indonesia dikejutkan oleh gaya blusukan, baju putih lengan panjang
yang digulung, presiden terpilih hanya mengendarai van, dan bagaimana baju
batik dengan efisien dan bangga menguak hegemoni jas dan dasi. Hari pertama
Iriana sebagai ibu negara di Istana Merdeka, fotonya dimuat besar di berbagai
koran hanya mengenakan pantalon. Sungguh kejutan yang menyenangkan!
Maka, setelah dicegat berkali-kali untuk ber-selfie, Iriana pun
lewat tanpa banyak merepotkan. Bersama anak perempuannya, tampak satu saja
perempuan pengawal berbusana batik, dan dua pria pengawal juga dengan batik.
Ini sungguh berbeda dengan pengawalan segala macam pejabat, dalam berbagai
kepresidenan sebelumnya. Jika pengawalan sebelum ini terungkap sebagai
penanda betapa pemerintah mungkin saja banyak musuhnya, sehingga pengawalan
semestinyalah ketat; pengawalan Iriana menunjukkan betapa rakyat sungguh tak
perlu ditakuti.
Tentu Iriana mesti masuk lebih dulu, dan barulah para rakyat
penumpang Garuda. Namanya ibu negara, tidak aneh dan tidak keliru jika duduk
di kelas bisnis. Tapi ternyata tidak! Iriana, first lady kita, duduk di kelas
ekonomi sahaja! Masih saja tersenyum manis melayani para peminat selfie yang
bagai tiada habisnya.
Dengan kata lain, revolusi mental sudah menggelinding dan inspiring, sebagai gerakan top-down alias dimulai dari atas.
Istana Merdeka sudah banyak menghapus unsur-unsur protokolernya. Busana, yang
semula secara simbolis dan tidak praktis merujuk ke kehormatan, diberi makna
cukup fungsional saja tanpa mengabaikan etiket, sehingga tetap sopan tapi
dengan segera memberi pelajaran: jabatan adalah melulu urusan pekerjaan. Di
negeri tempat gelar akademik diburu untuk mengganti gelar darah biru,
pendekatan ini merupakan revolusi mental.
Protokoler pengumuman dan pelantikan menteri akhirnya meneguhkan
berlangsungnya awal revolusi karena, lebih dari urusan busana, presiden telah
memilih seorang menteri dalam bidang kelautan, yang sangat diandalkan sebagai
prestasi kepresidenannya, yang ijazah tertingginya adalah ijazah SMP! Sudah jelas
menteri yang satu ini dipilih karena dibutuhkan profesionalismenya, yang
sudah terbukti dalam bidang bersangkutan. Dalam hal ini, cara presiden
memandang gelar akademik jelas bebas dari bias kanker sosial yang akut dalam
perihal gelar.
Revolusi mental semacam ini, dalam konteks Indonesia, saya pikir
merupakan lompatan kuantum. Ya, dalam pikiran saya saja ternyata! Karena
terdapat lompatan kuantum lain, yang tidak maju, melainkan telah memundurkan
kembali kemajuan ini.
Saya kira peristiwa dijungkirkannya meja Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), sebagai ganti protes, membenarkan pernyataan saya, bahkan ditegaskan
dengan terdapatnya dua versi pimpinan DPR yang "sama-sama sahih",
yang jelas memperlihatkan kesempitan pandangan dalam menafsirkan gagasan
demokrasi.
Inilah gambaran Plato (427-347 Sebelum Masehi) dalam republik
atas demokrasi ala DPR semacam itu (Oksala, 2013: 8-9):
"Pada sebuah kapal,
kapten dapat menguasai segenap penumpang karena tubuhnya besar dan kuat, tapi
dia sendiri rabun dan tuli, dan pengetahuannya tentang berlayar sangat
terbatas. Para awak kapal bertengkar satu sama lain karena masing-masing
merasa layak jadi kapten, kecuali bahwa mereka tak pernah belajar bagaimana
caranya. Dalam masalah apa pun, mereka menyadarinya sebagai sesuatu yang tak
bisa diajarkan, dan siap menggorok siapa pun yang mengatakannya.”
"Mereka selalu berada
di sekitar kapten, memohon-mohon kepadanya, dan tak pernah bisa membuatnya
percaya untuk menyerahkan kemudi. Kadang-kadang jika permohonannya ditolak,
tetapi yang lain dikabulkan, mereka membunuhnya dan membuangnya dari kapal. Mereka
lunakkan sang kapten dengan cara membuatnya mabuk, mengambil alih kapal,
membongkar muatan, dan melakukan pelayaran yang bisa diharap akan memabukkan,
tanpa peraturan apa pun." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar