Democrazy
di Parlemen
Idil Akbar ; Staf Pengajar FISIP Unpad dan Peneliti di Nusantara
Institute
|
KORAN
SINDO, 03 November 2014
Masalah negeri ini sudah sedemikian kompleks dan beragam.
Pemerintahan sekarang memiliki beban dan tanggung jawab besar untuk bisa
menyelesaikan kompleksitas tersebut.
Bijaknya, siapa pun tentu harus berusaha agar tidak lagi
membebani pemerintahan dengan beban masalah yang semakin melengkapi
keruwetan. Maka itu, kedewasaan berpolitik menjadi syarat mutlak agar tak
lagi menambah daftar panjang masalah- masalah yang harus dituntaskan.
Contohnya dalam beberapa hari ini, tensi politik di parlemen kembali memanas.
Ketidakpuasan atas hasil penentuan alat kelengkapan dewan (AKD) dan pimpinan
komisi menjadi pemicunya.
KMP menyapu bersih seluruh AKD dan komisi dan tak menyisakan
sedikit pun ruang bagi KIH. Reaksinya, KIH membentuk pimpinan DPR tandingan.
KIH yang dimotori PDIP berdalih pembentukan pimpinan DPR ini dilakukan karena
KMP menutup ruang komunikasi dan menciptakan otoritarianisme di Parlemen.
Namun, pertanyaan pentingnya adalah apakah membuat tandingan ini dibenarkan
Apa dasar hukumnya Ataukah ini hanya reaksi situasional semata agar ada
bargaining position di parlemen
Sulit menampik bahwa faktanya semua proses politik, baik dari
dominasi KMP maupun reaksi membentuk pimpinan DPR tandingan oleh KIH
merupakan manifestasi dari syahwat politik berkuasa. Namun dalam konteks ini,
dinamika politik yang berlangsung sudah tak lagi menggubris kaidah-kaidah
yang ditetapkan dalam konstitusi. Sudah tak ada lagi dinamika politik yang
mengedepankan prinsip-prinsip penting dalam demokrasi Pancasila, yakni
musyawarah mufakat. Demokrasi yang seharusnya hadir di sana sudah tak ada
lagi dan digantikan dengan democrazy.
Tidak Dibenarkan
Membuat tandingan meski sifatnya sementara tentulah tidak
dibenarkan. Tidak ada dalam konstitusi kita yang membenarkan terbentuknya
dualisme kepemimpinan di DPR. Bahkan kritik kerasnya, jika terus dipaksakan
dan terus dilangsungkan justru akan merusak tatanan kenegaraan Indonesia.
Reaksi ketidakpuasan semestinya tetap disalurkan secara
konstitusional, bukan dengan cara yang tidak memiliki dasar hukum. Jika sudah
demikian, kerugian terbesar pastinya akan ditanggung rakyat karena para
wakilnya terlalu sibuk berdinamika dan membuat kegaduhan terus di parlemen.
Secara politik, dualisme kepemimpinan ini juga hanya akan
menciptakan ketidakpastian terutama terkait masa depan legislasi, arah dan
target pencapaian Program Legislasi Nasional (Prolegnas), politik anggaran
dan pengawasan. Bagaimana seluruh fungsi ini bisa dijalankan jika setiap
pengajuan dan pembahasan selalu berujung konflik internal di parlemen.
Bagaimana rakyat juga akan menaruh kepercayaan jika dewan terus menciptakan
kegaduhan karena tarik menarik kepentingan.
Lebih jauh, dualisme kepemimpinan di DPR ini akan menarik
Presiden Jokowi dalam pusaran konflik dan menciptakan dilema sikap. Mengapa
Karena hubungan yang terjalin tidak lagi bersifat official antara eksekutif
dan legislatif, tetapi jatuh dalam magnet konflik kepentingan. Di satu sisi,
Presiden harus tetap berhubungan baik dengan parlemen yang dalam seluruh
unsur pimpinan di DPR didominasi oleh KMP.
Tetapi di sisi lain, Presiden pun juga tak mungkin meninggalkan
KIH yang membentuk pimpinan DPR tandingan karena mereka merupakan koalisi
partai pendukungnya. Bahkan jika mau menelaah lebih dalam, pembentukan
pimpinan DPR tandingan justru membahayakan posisi Jokowi sebagai Presiden.
Mengapa bisa begitu Sebab kondisi chaos ini akan menciptakan kondisi genting
atau keadaan mendesak sehingga menjadi alasan bagi Presiden untuk
mengeluarkan Perppu.
Jika sudah demikian, hal ini akan dapat menimbulkan konflik
berkelanjutan antara Presiden, KIH dan KMP dan tak menutup kemungkinan
berakhir dengan pemakzulan. Karena itu, sikap Presiden pada nantinya juga
akan menentukan bagaimana konstelasi politik ini berlangsung. Apakah berada
di tengahtengah agar tidak terseret pada konflik kubu-kubuan di parlemen atau
akan memihak ke salah satu
Harus Diselesaikan
Secara hukum, sebetulnya tidak ada dualisme pimpinan DPR
tersebut. Pasalnya, seluruh ketentuan dalam pemilihan hingga dilantik sebagai
unsur pimpinan DPR sudah sesuai dengan UU. Bisa dikatakan, dibentuknya
pimpinan DPR tandingan hanyalah reaksi situasional yang disebabkan
ketidakpuasan terhadap mekanisme politik yang dijalankan di DPR.
Akan tetapi, jika ini terus berlanjut tidak menutup kemungkinan
akan berakibat fatal bagi tatanan hukum kenegaraan dan juga politik. Itulah
mengapa persoalan dualisme ini harus segera diselesaikan. Penyelesaian yang
paling bisa dilakukan adalah dengan melakukan islah politik, membangun
kembali komunikasi yang mengedepankan kepentingan rakyat, dan membangun
kesejajaran dalam relasi.
Ini penting agar setiap anggota di masing-masing kubu tidak lagi
terjebak dalam pemikiran sentrisme politik, atau istilah lainnya adalah hanya
ingin sekedar menang-menangan. Sesuai dengan filosofi dasar dari politik,
yakni upaya untuk mencapai kebaikan bersama, maka setiap elemen haruslah
mulai menyadari pentingnya kebersamaan untuk kepentingan yang lebih besar.
Satu pemikiran penting lainnya adalah bagaimana kekuasaan memang
menjadi tujuan bagi semua elemen dan aktor- aktor politik, sehingga usaha
politik yang dilakukan akan selalu diorientasikan hanyalah untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan. Tetapi dalam konteks lembaga perwakilan yang
berlandaskan pada demokrasi Pancasila, maka setiap bagian dari kekuasaan
haruslah terdistribusi secara adil dan merata.
Jika tidak, hanya akan menciptakan hegemoni kekuasaan yang
cenderung korup dan sewenang-wenang. Semoga ada kesadaran dari para elite dan
pemimpin negeri ini untuk menyelesaikan masalah ini demi kemajuan dan
kebaikan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar