Cerita
India
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “Kredensial”
di Kompas Minggu
|
KOMPAS,
09 November 2014
Empat belas tahun lalu, cerita ini bermula, saat mengunjungi
India atas undangan Kementerian Luar Negeri India. Kami mengunjungi Goa
Gajah, yang dalam bahasa Hindi disebut Gharapuri, artinya lebih kurang
benteng batu. Gharapuri yang merupakan salah satu tujuan wisata di Mumbai,
India, ini terletak di pulau kecil—dihuni 1.000 orang yang tinggal di tiga
desa—yang hanya bisa didatangi dengan perahu. Pulau ini berjarak sekitar 10
kilometer dari Mumbai.
Goa Gajah itu merupakan kuil pemujaan untuk Dewa Syiwa. Siapa
pun yang masuk Goa Gajah segera diajak untuk merenungkan hidup dan kehidupan.
Ada tiga tingkat pemahaman yang dapat digunakan. Pertama, tingkat
simbol-simbol yang terlihat secara fisik. Kedua, tingkat simbol-simbol yang
tidak dapat dilihat secara fisik. Ketiga adalah tingkat lambang-lambang
spiritual dan mitologi yang tak dapat dilihat.
Simbol-simbol yang terlihat mata berwujud sejumlah relief
(pahatan timbul) dan patung. Salah satu panel relief mengisahkan tentang
Syiwa yang menginjak mulut Gunung Kailash (Kailasa) yang sudah ditutup dengan
batu dan tanah. Mulut Gunung Kailash ditutup karena di dalam perut gunung itu
ada Ravana atau Rahwana yang dihukum setelah menculik Dewi Sinta di hutan
Dandaka. Kisah Rahwana itu ada dalam epik Ramayana yang tidak asing bagi
kita.
Rahwana, menurut epik Ramayana, adalah raja Alengkadiraja. Ia
begitu digdaya (digambarkan memiliki 10 wajah, maka disebut Dasamuka).
Kekuasaan dan kedigdayaannya digunakan untuk ambisi pribadinya; untuk
memuaskan hawa nafsunya; nafsu kekuasaan, nafsu kenikmatan raganya.
Di tangan Rahwana, kedigdayaan dan kekuasaan menjadi sesuatu
yang membahayakan pihak lain. Karena ia biasa menggunakan segala macam cara,
dengan menggunakan kedigdayaannya—kalau perlu dengan senjata, intrik, dan
teror—guna memenuhi ambisi kekuasaannya.
Pada saat itulah nilai-nilai kemanusiaan dihilangkan, dianggap
tidak ada; bela rasa, belas kasih, menghormati dan menghargai yang kecil,
minoritas, tidak berdaya, semuanya tidak ada. Yang diutamakan adalah ambisi
pribadi, kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, dan kepentingan
golongannya.
Syahwat Dasamuka ini telah mengubah demokrasi, yang sebenarnya
didasari pada penghargaan keunikan setiap orang dan komunitas, menjadi
sekadar fungsi legalisasi semangat menang sendiri dengan cara-cara tidak
sehat. Naluri Machiavellian, yakni mengizinkan tujuan luhur dicapai lewat
pembenaran cara-cara yang tidak etis, dihidup-hidupi.
Tentu, kita tidak perlu melihat atau bahkan mengartikan Gedung
DPR sebagai Gunung Kailasa, tempat ”dasamuka-dasamuka” kecil berada. Meskipun
kita semua menyaksikan bagaimana syahwat dasamuka menggelora di sana, yang
mereka sebut sebagai ”dinamika politik”.
Di dalam gedung demokrasi itu, demokrasi hanya diartikan sebagai
kebebasan berbicara. Titik! Padahal, sesungguhnya demokrasi itu adalah
parlare con parresia e ascoltare con umilta—berbicara dengan bebas dan
mendengarkan dengan rendah hati (Paus Fransiskus).
Kegagalan meredam syahwat Rahwana (Dasamuka), menurut Abdul
Munir Mulkhan dalam Sufi Pinggiran (2007), adalah penanda datangnya kiamat
kecil ketika kekuatan jahat berkuasa. Kalau itu terjadi, boleh jadi bangsa
ini belum siap hidup sebagai bangsa dengan kesatuan kolektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar