Berpacu
di Antara Kekecewaan
Agus Sudibyo ; Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 05 November 2014
Yang harus diantisipasi Presiden Jokowi dan wakilnya saat ini
dan selanjutnya adalah kekecewaan. Kekecewaan itu datang dari berbagai
penjuru. Pertama, tentu saja para tokoh yang sudah telanjur disebut-sebut
sebagai calon menteri, sudah sempat dipanggil ke Istana Presiden, lalu
kemudian namanya tidak ada dalam daftar Kabinet Kerja. Dapat dibayangkan
betapa kecewanya mereka. Terlebih-lebih jika merasa diri sudah menjadi tokoh
besar, dekat dengan Jokowi atau Mbak Mega, ikut bantu-bantu dalam pemenangan
pilpres.
Lebih menjengkelkan lagi, media ramai-ramai memberitakan batu uji
utama kelayakan calon menteri adalah verifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi
terhadap akuntabilitas dan integritas seseorang. Ibaratnya, sudah jatuh
tertimpa tangga. Gagal menjadi menteri, digosipkan tidak bersih diri dan
tersangkut korupsi lagi. Inilah risiko proses pemilihan kabinet ala Jokowi
yang semi-tertutup-semi-terbuka. Dengan menimbang data KPK tentang indikasi
atau dugaan korupsi, seseorang semestinya dijaga kerahasiaannya demi
penegakan hukum yang mengedepankan asas praduga tak bersalah.
Semestinya proses seleksi menteri dilakukan dengan sangat
hati-hati dan meminimalkan publisitas. Namun, pada sisi lain, tampak sekali
bahwa proses seleksi kabinet kesulitan untuk menghindari intensitas
pemberitaan media dengan semua konsekuensinya.
Kekecewaan kedua datang dari para pengamat dan intelektual.
Banyak yang menganggap Kabinet Kerja tidak mencerminkan beratnya masalah
sosial-ekonomi-politik yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Banyak
juga yang khawatir, para menteri itu akan menjadi bulan-bulanan Koalisi
Pendukung Prabowo (KPP) di DPR yang hampir semua orang tahu seperti apa
perangai dan sikap politiknya.
Bagaimana mengelola kekecewaan ini agar tidak menimbulkan dampak
negatif bagi perjalanan pemerintah Jokowi-JK? Inilah pertanyaan besar yang
harus dijawab segera. "Barisan sakit hati" sudah pasti terbentuk.
Tapi perlu diantisipasi agar barisan sakit hati tidak bertransformasi menjadi
gerakan balas dendam, atau agar sakit hati itu tidak dimanfaatkan oleh
kelompok politik yang ingin merecoki kepemimpinan Jokowi-JK terus-menerus.
Cara untuk menghalau kekecewaan itu adalah seperti dikatakan
Presiden Jokowi: kerja, kerja, dan kerja. Ibaratnya, anjing menggonggong
kafilah berlalu. Pesimisme banyak pihak dijawab dengan kemampuan
menyelesaikan masalah-masalah publik.
Namun pemerintah Jokowi sepertinya tidak cukup beruntung dalam
hal ini. Belum-belum mereka sudah dihadang permasalahan yang begitu pelik,
sehingga Presiden SBY pun memilih untuk menghindarinya: menaikkan harga BBM.
Menurut para ekonom, menaikkan harga BBM adalah suatu keniscayaan dalam dua
bulan ke depan. Presiden Jokowi hampir tidak mungkin menghindarinya. Padahal,
jelas sekali, menaikkan harga BBM bukan kebijakan yang populis, dan bisa
dipastikan menimbulkan kekecewaan masyarakat.
Singkat kata, Presiden Jokowi harus siap untuk tidak populer,
siap untuk mengecewakan pihak-pihak. Pemerintahan baru bekerja di antara
begitu banyak hambatan dan rintangan. Maka yang dibutuhkan adalah bersikap
realistis. Bangsa ini sedang menghadapi masalah-masalah besar yang hampir
semuanya tidak mungkin diselesaikan dalam waktu sekejap. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar