Berdamai
dengan Paradoks
J Sumardianta ; Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta
|
KORAN
TEMPO, 20 November 2014
Seorang
dosen berkali-kali dicalonkan sebagai dekan di sebuah perguruan tinggi swasta
terkemuka di Yogyakarta. Dia bersaing dengan banyak kandidat lain. Namun dia
tidak pernah terpilih sekali pun. Yang ditetapkan sebagai dekan malah para
kompetitor yang memiliki defisit dalam banyak hal. Pada awalnya, sebagaimana
diakuinya sendiri, dia terjebak dalam situasi yang sangat tidak nyaman. Siapa
sih yang tidak kecewa bila sesuatu yang diidamkannya tidak bisa diraih?
Meski
demikian, si dosen tetap bekerja secara profesional. Perasaan kecewa berat
merupakan fakta manusiawi. Namun fakta lainnya membuktikan bahwa ia tetap
memiliki integritas dan sangat dicintai mahasiswanya. Berbeda dengan para
dekan terpilih, kehidupan keluarga dosen yang satu ini bisa dijadikan
teladan.
Dia
berfokus pada keluarga. Dosen hebat ini teguh memegang prinsip: jika Anda
bahagia bersama keluarga di rumah, pekerjaan Anda akan sangat terbantu. Biduk
keluarganya tidak oleng karena dia setia kepada cahaya mercusuar yang
menyinari kehidupan personal serta profesionalnya. Pintu perspektif baru
telah terbuka baginya.
Kedamaian
hidupnya ditemukan dalam situasi yang amat kontradiktif: diperbudak
kekecewaan atau terus berpengharapan. Kebahagiaan hidupnya ditemukan dalam
kondisi paradoksal: menerima fakta tragis tapi indah, bahwa tidak semua
kompetisi bisa dimenangi.
Sebuah
percobaan ilmiah terhadap binatang yang dilakukan Martin Seligman (2005),
pelopor psikologi positif, menguak bukti mencengangkan. Hewan-hewan seperti
anjing, tikus, dan kecoa menjadi pasif dan menyerah jika sebelumnya mengalami
kejadian berbahaya yang membuat mereka merasa tidak berdaya. Para hewan itu,
sesudah mengalami kejadian berbahaya yang membuat tidak berdaya, bersedia
menerima kejutan listrik yang menyiksa dan menunggu kejutan listrik datang
lagi tanpa ada usaha melarikan diri.
Ketidakberdayaan
ataupun optimisme jelas merupakan hasil dari proses belajar. Orang-orang
tersisih secara potensial mengalami ketidakberdayaan yang bisa dipelajari.
Bila berhasil melawan pentunadayaan itu—seperti halnya dosen yang tidak
pernah terpilih menjadi dekan di atas—mereka bisa mengembangkan optimisme
yang terkondisikan.
Optimisme
memberikan perlindungan. Pesimisme membuat orang semakin lemah. Optimisme
bersifat abadi. Pesimisme bersifat sementara dan temporal. Itulah rumus
kebahagiaan yang terpenting. Si dosen menerapkan model belajar ABC. Keyakinan
(belief/B) akan sebuah kemalangan (adversity/A) menimbulkan konsekuensi
(consequence/C). Dosen itu memperlambat proses ABC melalui cara berpikir yang
lebih akurat dan fleksibel. Dia belajar soal kegigihan, ketekunan, dan daya
juang dalam mengatasi tantangan dan kesengsaraan secara langsung.
Inilah hikmah berharga bagi para pemangku kepentingan sebelum
memutuskan bahwa seseorang harus diangkat sebagai pemimpin: pilihlah pemimpin
yang tidak terbelah jiwanya karena tertekan oleh beban kerja. Pilihlah
pemimpin yang bisa membereskan persoalan keluarga, bukan pemimpin yang
menjadikan jabatan sebagai arena penegakan harga diri karena keluarganya
semrawut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar