Kamis, 20 November 2014

BBM Naik Sakitnya Tuh di Sini!

                               BBM Naik Sakitnya Tuh di Sini!

Ronny P Sasmita  ;   Alumni FISIP Universitas Padjadjaran Bandung
HALUAN, 19 November 2014

                                                                                                                       


Akhirnya pe­me­rin­tah mengu­mum­kan kenaikan harga BBM bersubsidi, ma­sing-masing Rp 2.000 untuk jenis premium (31%) dan solar (36%). Di mata pemerintah, secara ekonomi, pencabutan subsidi ini akan memberikan keleluasaan fiskal untuk membiayai sektor infrastruktur, kebijakan-kebijakan sosial kesejahteraan, dan kebijakan-kebijakan yang akan menyokong visi kemari­timan Jokowi.
Di sisi lain, secara politik, pencabutan subsidi ini akan menjauhkan pemerintah dari batas atas defisit anggaran yang diizinkan, yakni sebesar 3%. Bahkan bisa berada di bawah asumsi defisit anggaran yang telah direncanakan dalam APBN 2015, yakni  sebesar 2,2%. Artinya apa? Artinya secara politik, pemerintah bisa menjauh dari lobang jarum  impeachment (pemakzulan) sebagaimana  diatur dalam perundang-undangan jika  ternyata sampai melewati batas atas defisit 3% tersebut.
Secara matematis, penca­butan subsidi BBM sebesar Rp2.000 bisa menghasilkan anggaran tambahan sebesar lebih kurang Rp100 triliun. Angka kasar ini didapat dari kalkulasi sederhana, yakni Rp 2000 dikali 46 juta kilo liter asumsi konsumsi nasional. Maka hasilnya bisa me­ngura­ngi asumsi defisit dalam APBN 2015 yang direncanakan sebesar Rp245,9 T atau 2,2% dari PDB. Defisit ini disebabkan oleh target ‘penerimaan negara’ yang  berada di bawah angka ‘belanja negara’ yang diren­canakan. Target penerimaan negara adalah  Rp 1.793,6 Triliun, sementara itu asumsi belanja negara yang direncanakan adalah sebesar Rp 2.039,5 Triliun.
Selain itu, pemerintah merasionalisasi pencabutan subsidi BBM ini dengan fakta statistik tentang subsidi yang salah sasaran. Data dari Kementerian ESDM menun­jukan,  pemilik mobil pribadi menikmati premium bersubsidi sebanyak 12 juta kilo liter atau setara dengan 53% dari konsum­si BBM. Dominasi konsumsi tersebut ada di Pulau Jawa dan Bali. Data ini tentu tak jauh berbeda dengan hasil kajian Bank Dunia beberapa waktu lalu yang intinya adalah bahwa subsidi BBM ternyata diterima oleh pihak-pihak yang tidak tepat.
Tak dapat dipungkiri, persoalan subsidi BBM ini memang sangat dilematis, ‘njelimet’, bahkan menyakitkan, baik untuk pemerintah ataupun untuk rakyat. Beban yang ditanggung negara tiap tahun terus naik, selain tata kelola dan tata niaga BBM yang sampai detik ini belum juga dibeberkan secara komprehensif yang menyebabkan ‘cost reco­very’ terus berlipat, fluktuasi harga minyak duniapun bebe­rapa tahun belakangan cen­drung tak bersahabat.
Bahkan empat tahun bela­kangan, sejak 2011, peneri­maan dan pajak penghasilan minyak dan gas bumi selalu lebih kecil dari subsidi yang dikeluarkan. Artinya, subsidi tidak lagi dibiayai oleh sektor penghasil migas itu sendiri, tapi sudah menyedot pene­rimaan pajak dari sektor-sektor lain. Data dari Pusat Studi Internasional untuk Ekonomi Terapan (Inter-Cafe) IPB menun­jukan, tahun 2011 penerimaan pajak dari sektor migas sebesar Rp 220 Triliun, sementara subsidi BBM ada diangka Rp. 255 triliun. Pada tahun 2012, 2013, dan 2014 pun tak berbeda, penerimaan pajak dari sektor migas bertu­rut-turut sebesar Rp230 triliun, Rp210 Triliun, dan Rp220 Triliun. Sementara beban subsidi berturut adalah Rp 255 Triliun, Rp 360 Triliun, dan Rp 282 Triliun.
Fakta-fakta ini jelas sema­kin mencekik pemerintah. Janji-janji indah akan tinggal kenangan jika tidak ada keleluasaan fiskal untuk membiayainya. Semetara itu, pemerintah yang baru terlihat begitu ambisius untuk segera bekerja dan menelurkan kebi­jakan-kebijakan yang dianggap perlu dan mungkin. Maka, jalan pintas tercepat, seba­gaimana rezim-rezim terdahulu, adalah pencabutan subsidi BBM. Inilah opsi yang paling cepat, selaras dengan karakter kepemimpinan Jokowi yang ingin serba cepat.
Namun tunggu dulu, apa­kah ini adalah opsi terakhir dan opsi yang paling mungkin? Apakah tidak ada solusi lain? Bagaimana dengan kalkulasi Kwik Kian Gie? Pernahkan pemerintah menjelaskan itu? Lain pemerintah lain pula Mantan Kepala Bappenas era Megawati itu. Dalam kalkulasi polos Kwik, subsidi BBM itu adalah pembohongan publik, pembodohan yang keterlaluan. Pasalnya, di mata beliau, dengan harga premium Rp6.500 perliter itu saja, pemerintah sudah dapat untung, jadi tidak ada istilah subsidi-subsidian.
Mengapa bisa begitu? Kare­na menurut beliau, biaya untuk mengangkat minyak dari perut bumi (lifting) plus biaya pengilangan (refining) dan biaya transportasi sampai ke pom bensin-pom bensin rata-rata adalah 10 USD per barel. Jadi biayanya perliter cuma Rp755. Semestinya pemerintah sudah untung Rp5.745 perliter dengan harga jual Rp 6.500 tersebut (6.500-755 = 5745). Mengapa Rp 755? Kalkulasinya begini, 1 Barel eqiuvalen dengan 159 liter, asumsi per 1 dollar adalah Rp 12.000. Maka hasilnya, 10 : 159 x 12000 = 754,7, dibu­latkan menjadi 755.
Inilah dasar pemikiran Kwik Kian Gie mengapa beliau berani berkoar-koar menentang setiap rencana pencabutan subsidi BBM. Rasanya susah menolak kalkulasi matematis nan polos ini, kecuali dengan agak pasrah memakai logika harga pasar bahwa harga tidak hanya ditentukan oleh biaya produksi per se, tapi juga oleh kekuatan permintaan, pena­waran, kelangkaan, dan kebi­jakan-kebijakan dari  korporasi minyak raksasa tingkat dunia beserta organisasi yang me­mayunginya. Namun demikian, tidak sedikit negara-negara dunia yang mendasarkan harga BBM domestiknya dari logika beliau ini sehingga melahirkan harga yang jauh di bawah harga acuan dunia, yaitu New York Mercantile Exchange (NYMEX). Sebut saja misalnya Venezuela (Rp585/ liter), Turmekistan (Rp936), Nigeria (Rp1.170), Iran (Rp1.287), Arab Saudi (Rp1.404), Libya ( Rp1.636), Bahrain (Rp3.159), dan Kuwait (Rp 2.457), dll.
Ide ciamik dari Rizal Ramli yang sudah didengungkan sejak lama ternyata tak sedikitpun mendapat tempat. Padahal ide ini sangat masuk akal dan sangat kreatif. Menurut Rizal, pemerintah bisa menyiasati dilema BBM ini dengan mem­bagi dua jenis BBM ber­dasarkan kadar oktannya, yakni BBM Rakyat (Oktan 80 %, kadar sebelumnya 83 %) dengan harga tetap Rp6.500 dan BBM Super (Oktan 92 %) dengan harga Rp12.000. Diver­sifikasi ini menurut Rizal bisa menyelamatkan anggaran sampai Rp 40 Triliun. Dengan perbedaan kadar oktan tersebut, maka pemilik kendaraan yang seharusnya mengonsumsi BBM super tapi malah memakai BBM Rakyat akan berfikir panjang karena akan berpe­ngaruh terhadap performa mesin kendaraannya.
Selain itu, Rizal juga menyayangkan fakta lifting minyak yang terus anjlok, sementara cost recovery terus berlipat sampai 200%. Jika saja pemerintah berani menekan angka cost recovery sampai 30% saja, maka anggaran negara akan terselamatkan sebesar Rp 54 Triliun. Seba­gaimana yang disepakati DPR, cost recovery dalam APBN 2014 pun sudah mencapai 16 miliar Dollar, naik dari tahun sebelumnya 15 miliar Dolar.
Tidak bisa dipungkiri, ide dan kritik Rizal terasa sangat realistis. Bahkan baru-baru ini SKK Migas mengumumkan lifting minyak yang terus turun, yakni 798.000 Barel Per Hari (BPH), sedikit di bawah target APBN 2014 sebesar 818.000 BPH. Ini artinya, pemerintah tidak melulu harus berbicara APBN jebol dan ruang fiskal yang tercekik, tapi juga tentang penurunan pro­duksi, pembengkakan cost recovery, dan pembasmian mafia-mafia yang bersarang di sektor migas kita.
Apakah pembentukan Ko­mite Reformasi Tata Kelola Migas yang digawangi Faisal Basri adalah jawaban peme­rintah? Nampaknya tidak sepenuhnya, pembentukan tim ini sehari lebih awal dari pengumuman kenaikan BBM. Kesannya sungguh sangat reaktif. Artinya apa? Artinya BBM tetap saja naik, pem­benahan tata kelola hulu sampai hilir urusan bela­kangan setelah kenaikan. Selain itu, menteri ESDM sudah dengan sangat jelas meralat “raison de’tre” komite ini, yakni bukan untuk memberantas mafia migas. Kapasitasnya cuma sebatas pemberi saran setelah mela­kukan pengkajian, apalagi secara politik dan perundang-undangan, komite ini jelas-jelas sifatnya ad hoc dan sangat kecil untuk meng­hadapi raks­asa-raksasa mafia yang menjadi kutu busuk dalam sektor migas kita. Jadi pendeknya, komite inipun adalah “pres­ented by design” alias hadir sesuai skenario penguasa, bagian dari aksi keberpihakan yang dicitrakan.
Bagaimana imbasnya? Se­perti dikatakan Menkeu, Inflasi tambahan 2 persen, persis seperti skenario inflasi versi Bank Indonesia. Tapi ini baru dari satu variable BBM, belum lagi masuk variable kurs rupiah yang terus keok  menghadapi mata uang asing. Artinya, inflasi bisa saja lebih dari itu karena rata-rata bahan pokok kita sudah bisa dibilang net import. Jadi akhirnya akan ada perlambatan pertumbuhan. Ini akan diikuti oleh kenaikan suku bunga  karena peme­rintah ingin menghindari “capital outflow”, akibatnya adalah perlambatan kinerja ekonomi nasional, lalu penge­cilan lapangan kerja baru, penam­bahan pengangguran dan kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar