BBM
Naik Sakitnya Tuh di Sini!
Ronny P Sasmita ; Alumni FISIP Universitas Padjadjaran Bandung
|
HALUAN,
19 November 2014
Akhirnya pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi, masing-masing
Rp 2.000 untuk jenis premium (31%) dan solar (36%). Di mata pemerintah,
secara ekonomi, pencabutan subsidi ini akan memberikan keleluasaan fiskal
untuk membiayai sektor infrastruktur, kebijakan-kebijakan sosial
kesejahteraan, dan kebijakan-kebijakan yang akan menyokong visi kemaritiman
Jokowi.
Di sisi lain, secara politik,
pencabutan subsidi ini akan menjauhkan pemerintah dari batas atas defisit
anggaran yang diizinkan, yakni sebesar 3%. Bahkan bisa berada di bawah asumsi
defisit anggaran yang telah direncanakan dalam APBN 2015, yakni sebesar
2,2%. Artinya apa? Artinya secara politik, pemerintah bisa menjauh dari
lobang jarum impeachment (pemakzulan) sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan jika ternyata sampai melewati batas atas defisit 3%
tersebut.
Secara matematis, pencabutan
subsidi BBM sebesar Rp2.000 bisa menghasilkan anggaran tambahan sebesar lebih
kurang Rp100 triliun. Angka kasar ini didapat dari kalkulasi sederhana, yakni
Rp 2000 dikali 46 juta kilo liter asumsi konsumsi nasional. Maka hasilnya
bisa mengurangi asumsi defisit dalam APBN 2015 yang direncanakan sebesar
Rp245,9 T atau 2,2% dari PDB. Defisit ini disebabkan oleh target ‘penerimaan
negara’ yang berada di bawah angka ‘belanja negara’ yang direncanakan.
Target penerimaan negara adalah Rp 1.793,6 Triliun, sementara itu
asumsi belanja negara yang direncanakan adalah sebesar Rp 2.039,5 Triliun.
Selain itu, pemerintah
merasionalisasi pencabutan subsidi BBM ini dengan fakta statistik tentang
subsidi yang salah sasaran. Data dari Kementerian ESDM menunjukan,
pemilik mobil pribadi menikmati premium bersubsidi sebanyak 12 juta kilo
liter atau setara dengan 53% dari konsumsi BBM. Dominasi konsumsi tersebut
ada di Pulau Jawa dan Bali. Data ini tentu tak jauh berbeda dengan hasil
kajian Bank Dunia beberapa waktu lalu yang intinya adalah bahwa subsidi BBM
ternyata diterima oleh pihak-pihak yang tidak tepat.
Tak dapat dipungkiri, persoalan
subsidi BBM ini memang sangat dilematis, ‘njelimet’, bahkan menyakitkan, baik
untuk pemerintah ataupun untuk rakyat. Beban yang ditanggung negara tiap
tahun terus naik, selain tata kelola dan tata niaga BBM yang sampai detik ini
belum juga dibeberkan secara komprehensif yang menyebabkan ‘cost recovery’ terus berlipat,
fluktuasi harga minyak duniapun beberapa tahun belakangan cendrung tak
bersahabat.
Bahkan empat tahun belakangan,
sejak 2011, penerimaan dan pajak penghasilan minyak dan gas bumi selalu
lebih kecil dari subsidi yang dikeluarkan. Artinya, subsidi tidak lagi dibiayai
oleh sektor penghasil migas itu sendiri, tapi sudah menyedot penerimaan
pajak dari sektor-sektor lain. Data dari Pusat Studi Internasional untuk
Ekonomi Terapan (Inter-Cafe) IPB
menunjukan, tahun 2011 penerimaan pajak dari sektor migas sebesar Rp 220
Triliun, sementara subsidi BBM ada diangka Rp. 255 triliun. Pada tahun 2012,
2013, dan 2014 pun tak berbeda, penerimaan pajak dari sektor migas berturut-turut
sebesar Rp230 triliun, Rp210 Triliun, dan Rp220 Triliun. Sementara beban
subsidi berturut adalah Rp 255 Triliun, Rp 360 Triliun, dan Rp 282 Triliun.
Fakta-fakta ini jelas semakin
mencekik pemerintah. Janji-janji indah akan tinggal kenangan jika tidak ada
keleluasaan fiskal untuk membiayainya. Semetara itu, pemerintah yang baru
terlihat begitu ambisius untuk segera bekerja dan menelurkan kebijakan-kebijakan
yang dianggap perlu dan mungkin. Maka, jalan pintas tercepat, sebagaimana
rezim-rezim terdahulu, adalah pencabutan subsidi BBM. Inilah opsi yang paling
cepat, selaras dengan karakter kepemimpinan Jokowi yang ingin serba cepat.
Namun tunggu dulu, apakah ini
adalah opsi terakhir dan opsi yang paling mungkin? Apakah tidak ada solusi
lain? Bagaimana dengan kalkulasi Kwik Kian Gie? Pernahkan pemerintah
menjelaskan itu? Lain pemerintah lain pula Mantan Kepala Bappenas era
Megawati itu. Dalam kalkulasi polos Kwik, subsidi BBM itu adalah pembohongan
publik, pembodohan yang keterlaluan. Pasalnya, di mata beliau, dengan harga
premium Rp6.500 perliter itu saja, pemerintah sudah dapat untung, jadi tidak
ada istilah subsidi-subsidian.
Mengapa bisa begitu? Karena
menurut beliau, biaya untuk mengangkat minyak dari perut bumi (lifting) plus biaya pengilangan (refining) dan biaya transportasi
sampai ke pom bensin-pom bensin rata-rata adalah 10 USD per barel. Jadi
biayanya perliter cuma Rp755. Semestinya pemerintah sudah untung Rp5.745
perliter dengan harga jual Rp 6.500 tersebut (6.500-755 = 5745). Mengapa Rp
755? Kalkulasinya begini, 1 Barel eqiuvalen dengan 159 liter, asumsi per 1
dollar adalah Rp 12.000. Maka hasilnya, 10 : 159 x 12000 = 754,7, dibulatkan
menjadi 755.
Inilah dasar pemikiran Kwik
Kian Gie mengapa beliau berani berkoar-koar menentang setiap rencana
pencabutan subsidi BBM. Rasanya susah menolak kalkulasi matematis nan polos
ini, kecuali dengan agak pasrah memakai logika harga pasar bahwa harga tidak
hanya ditentukan oleh biaya produksi per
se, tapi juga oleh kekuatan permintaan, penawaran, kelangkaan, dan kebijakan-kebijakan
dari korporasi minyak raksasa tingkat dunia beserta organisasi yang memayunginya.
Namun demikian, tidak sedikit negara-negara dunia yang mendasarkan harga BBM
domestiknya dari logika beliau ini sehingga melahirkan harga yang jauh di
bawah harga acuan dunia, yaitu New York Mercantile Exchange (NYMEX). Sebut
saja misalnya Venezuela (Rp585/ liter), Turmekistan (Rp936), Nigeria
(Rp1.170), Iran (Rp1.287), Arab Saudi (Rp1.404), Libya ( Rp1.636), Bahrain
(Rp3.159), dan Kuwait (Rp 2.457), dll.
Ide ciamik dari Rizal Ramli
yang sudah didengungkan sejak lama ternyata tak sedikitpun mendapat tempat.
Padahal ide ini sangat masuk akal dan sangat kreatif. Menurut Rizal,
pemerintah bisa menyiasati dilema BBM ini dengan membagi dua jenis BBM berdasarkan
kadar oktannya, yakni BBM Rakyat (Oktan 80 %, kadar sebelumnya 83 %) dengan
harga tetap Rp6.500 dan BBM Super (Oktan 92 %) dengan harga Rp12.000. Diversifikasi
ini menurut Rizal bisa menyelamatkan anggaran sampai Rp 40 Triliun. Dengan
perbedaan kadar oktan tersebut, maka pemilik kendaraan yang seharusnya
mengonsumsi BBM super tapi malah memakai BBM Rakyat akan berfikir panjang
karena akan berpengaruh terhadap performa mesin kendaraannya.
Selain itu, Rizal juga
menyayangkan fakta lifting minyak yang terus anjlok, sementara cost recovery terus berlipat sampai
200%. Jika saja pemerintah berani menekan angka cost recovery sampai 30% saja, maka anggaran negara akan
terselamatkan sebesar Rp 54 Triliun. Sebagaimana yang disepakati DPR, cost recovery dalam APBN 2014 pun
sudah mencapai 16 miliar Dollar, naik dari tahun sebelumnya 15 miliar Dolar.
Tidak bisa dipungkiri, ide dan
kritik Rizal terasa sangat realistis. Bahkan baru-baru ini SKK Migas
mengumumkan lifting minyak yang terus turun, yakni 798.000 Barel Per Hari
(BPH), sedikit di bawah target APBN 2014 sebesar 818.000 BPH. Ini artinya,
pemerintah tidak melulu harus berbicara APBN jebol dan ruang fiskal yang
tercekik, tapi juga tentang penurunan produksi, pembengkakan cost recovery, dan pembasmian
mafia-mafia yang bersarang di sektor migas kita.
Apakah pembentukan Komite
Reformasi Tata Kelola Migas yang digawangi Faisal Basri adalah jawaban pemerintah?
Nampaknya tidak sepenuhnya, pembentukan tim ini sehari lebih awal dari
pengumuman kenaikan BBM. Kesannya sungguh sangat reaktif. Artinya apa?
Artinya BBM tetap saja naik, pembenahan tata kelola hulu sampai hilir urusan
belakangan setelah kenaikan. Selain itu, menteri ESDM sudah dengan sangat
jelas meralat “raison de’tre”
komite ini, yakni bukan untuk memberantas mafia migas. Kapasitasnya cuma
sebatas pemberi saran setelah melakukan pengkajian, apalagi secara politik
dan perundang-undangan, komite ini jelas-jelas sifatnya ad hoc dan sangat kecil untuk menghadapi raksasa-raksasa mafia yang
menjadi kutu busuk dalam sektor migas kita. Jadi pendeknya, komite inipun
adalah “presented by design” alias hadir sesuai skenario penguasa, bagian dari aksi
keberpihakan yang dicitrakan.
Bagaimana imbasnya? Seperti
dikatakan Menkeu, Inflasi tambahan 2 persen, persis seperti skenario inflasi
versi Bank Indonesia. Tapi ini baru dari satu variable BBM, belum lagi masuk
variable kurs rupiah yang terus keok menghadapi mata uang
asing. Artinya, inflasi bisa saja lebih dari itu karena rata-rata bahan pokok
kita sudah bisa dibilang net import. Jadi akhirnya akan ada
perlambatan pertumbuhan. Ini akan diikuti oleh kenaikan suku bunga
karena pemerintah ingin menghindari “capital
outflow”, akibatnya adalah perlambatan kinerja ekonomi nasional, lalu
pengecilan lapangan kerja baru, penambahan pengangguran dan kemiskinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar