Mengukur
Pembangunan
Khudori
; Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat ,
Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
|
KORAN
SINDO, 20 Juni 2014
Badan
Pusat Statistik (BPS) membuat terobosan dengan meluncurkan indikator baru
untuk mengukur hasil pembangunan: indeks kebahagiaan. Menurut BPS, dari skala
0-100 (dari sangat tidak bahagia hingga sangat bahagia) masyarakat Indonesia
pada 2013 berada pada indeks 65,11 poin. Artinya cukup bahagia. Menurut BPS,
indeks kebahagiaan merupakan indikator subjektif yang mendampingi indikator
objektif tingkat kesejahteraan warga. Cakupan kebahagiaan tak terbatas pada
kondisi yang baik dan menyenangkan, tapi juga kehidupan yang bermakna.
BPS
menemukan, ada 10 domain penentu kebahagiaan warga, yakni pekerjaan,
pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pendidikan, kesehatan,
keharmonisan keluarga, hubungansosial, ketersediaan waktu luang, kondisi
lingkungan, dan kondisi keamanan. Selama bertahun-tahun, pemerintah
menggunakan pelbagai indikator makro seperti nilai tukar rupiah dan lifting
minyak dan gas, pertumbuhan ekonomi, inflasi, harga migas, dan tingkat suku
bunga surat utang tiga bulan untuk mengukur kinerja pemerintah dan hasil
pembangunan.
Saat
ekonomi dunia loyo, pertumbuhan
ekonomi Indonesia melesat tinggi. Tetapi pertumbuhan itu hanya didorong oleh
sektor modern atau non-tradable,
seperti sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, dan
perdagangan/hotel/restoran. Sektor non-tradable
bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan. Pelakunya segelintir.
Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga
kerja.
Karena
sifatnya itu, penyerapan tenaga kerja sektor non-tradable lebih kecil dari
sektor tradable. Ini tak hanya berimplikasi pada penyerapan total tenaga
kerja yang rendah, tapi juga menyentuh dimensi kesejahteraan: tumbuh tapi
tidak (semuanya) sejahtera. Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional
pada 2013 hanya 14%. Padahal, sektor ini menampung 41% dari total tenaga
kerja. Akibatnya, sektor pertanian kian involutif, yang ditandai masifnya
tingkat kemiskinan di perdesaan.
Ini
memunculkan disparitas pendapatan antarpenduduk. Kesenjangan kian melebar,
seperti syair lagu: yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Ini
terlihat dari naiknya Rasio Gini: dari 0,32 pada 2004 jadi 0,41 pada 2011
(makin tinggi berarti makin timpang). Sejak gemuruh pembangunan dilakukan
pada 1966, ini pertama kalinya Rasio Gini Indonesia masuk ketimpangan
menengah (di bawah 0,4 masuk ketimpangan rendah). Pembangunan hanya dinikmati
sekelompok kelas ekonomi.
Artinya,
bila kemiskinan absolut menurun maka kemiskinan relatif meningkat.
Kesenjangan yang melebar itu menandai defisit kesejahteraan. Ini kelemahan
mengukur pembangunan yang lebih banyak terpaku pada pertumbuhan ekonomi
(pertumbuhan pendapatan bruto kotor/PDB). Hidup bukan hanya soal uang, tetapi
juga soal kesehatan, pendidikan, keamanan, kenyamanan, lingkungan,
kontinuitas di masa depan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan banyak hal
lagi.
Ini
semua tidak bisa dicakup oleh PDB, perlu indikator lain. PDB adalah indeks
tentang output perekonomian keseluruhan suatu negara, hitungan hasil produksi
(barang dan jasa) pabrik, panen petani, penjualan ritel, dan belanja
konstruksi. Hitungan dilakukan dalam rentang tertentu. Angka ini berfungsi
memadatkan luasnya perekonomian nasional ke satu data tunggal dengan densitas
luar biasa.
Anggapan
umum, kian besar PDB kian makmur negeri dan warga. Padahal tidak demikian.
PDB mencatat produksi barang-jasa di suatu negara, tak peduli siapa yang
membuat. Misalnya, perusahaan asing berinvestasi di Indonesia mengeduk
minyak, emas dan batu bara, semua kekayaan mineral yang diangkat dari bumi
Indonesia adalah PDB Indonesia. Semua mineral itu milik investor asing.
Pemerintah
Indonesia kebagian pajak dan royalti yang kecil. Mereka juga mempekerjakan
para buruh Indonesia, tetapi gajinya rendah. Bagian terbesar dari hasil itu
milik investor asing. Statistik kita mencatatnya sebagai PDB Indonesia. Jika
barangnya diekspor, statistik kita mencatat ekspor Indonesia meningkat,
padahal milik asing.
Ada
banyak ketidakpuasan atas pengukuran tunggal itu. Pada 24 Mei 2011,
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang amat bergengsi itu
mendeklarasikan Indeks Kebahagiaan
(Your Better Life Index), indeks
pengganti PDB. Sejak didirikan 1961, OECD selalu memakai pertumbuhan ekonomi
sebagai ukuran utama keberhasilan perekonomian dan sosial.
Pertumbuhan
pendapatan nasional boleh tinggi, tapi apa gunanya jika lingkungan rusak,
orang tidak sehat, dan hidup tak nyaman? Itu salah satu alasan OECD kini
memakai 11 indikator untuk mengukur kemajuan perekonomian, yang mencakup
pendapatan, perumahan, pekerjaan, masyarakat, pendidikan, lingkungan,
pemerintahan, kesehatan, kepuasan hidup, keamanan, serta keseimbangan
pekerjaan dan hidup (Ananta, 2011).
Jauh
sebelum itu, Bhutan, sebuah negara kecil di Pegunungan Himalaya, sejak 1972
telah memperkenalkan indeks kebahagiaan nasional (gross national happiness), bukan indeks pendapatan nasional.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1990 juga telah menciptakan alternatif
pengukuran pembangunan: Indeks Pembangunan Manusia (human development index/HDI). Ini merupakan kombinasi dari
pendapatan, pendidikan, dan kesehatan.
Tiap
tahun PBB mengukur pembangunan di berbagai negara dengan indeks ini. Namun,
PBB tak dapat memaksakan semua negara melaksanakan konsep ini. Hampir semua
negara, termasuk Indonesia, memakai HDI dalam perencanaan dan evaluasi
pembangunan. Namun, HDI masih dilihat hanya dipakai sebagai catatan pelengkap
dalam melihat keberhasilan pembangunan. Kini juga kian banyak ekonom di dunia
yang kecewa pada pertumbuhan ekonomi sebagai pengukur utama pembangunan
ekonomi.
Para
ekonom dunia, seperti Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paui Fitoussi
pada 2009 menghasilkan laporan yang menyarankan alternatif pengukuran
pembangunan ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, PDB bukan
hanya gagal menggambarkan kesejahteraan nyata masyarakat, melainkan juga
melencengkan tujuan politik global ke arah pengejaran pertumbuhan ekonomi
semata.
PDB
tidak memadai untuk mengukur tingkat kesejahteraan dari waktu ke waktu,
terutama berkaitan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial. PDB adalah ukuran
produksi pasar, tapi kerap diperlakukan sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi
(Stiglitz, Sen, dan Fitoussi, 2009).
Indikator PDB yang hanya melihat sisi produksi. PDB merupakan pengukuran
jangka pendek. Mungkin suatu saat pendapatan tinggi, tetapi tidak
berkelanjutan (Ananta, 2012).
Karena
itu, perlu mengukur kekayaan suatu negara, bukan sekadar pendapatan.
Indonesia misalnya, ekonomi tumbuh tinggi. Ini diperoleh dari obral sumber
daya alam dengan cara ”keduk, keruk dan
tebang”. Investasi asing dan pertumbuhan meningkat luar biasa.
Sialnya,
suatu saat sumber daya alam habis, dan masyarakat di negara itu tidak dapat lagi
menikmati sumber daya alam yang berlimpah karena telah habis tandas. Inikah
namanya pembangunan! Langkah BPS perlu diapresiasi, meskipun indeks belum
diadopsi sebagai indikator APBN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar