Budaya
dan Politik Induksi-Deduksi
Mudji
Sutrisno ; Guru
Besar STF Driyarkara, Dosen Pasca Sarjana UI, Budayawan
|
KORAN
SINDO, 20 Juni 2014
Pendekatan
berdasarkan pengalaman merupakan pendekatan yang ingin menghayati kenyataan
apa adanya serta mengecap, merasai dalam penghayatan penuh peristiwa-
peristiwa yang dialami dan dijalani.
Istilah
ilmiahnya adalah ”induksi”, artinya, ducare
in: mengalami dari dalam, ”masuk menuntun diri ke ....”. misalnya, di
belantara alam di Ubud tepatnya ”swarga loka resor”, bangunan rumah
menyelaraskan diri dengan irama alam, mengikuti tumbuhan dan pepohonan secara
sadar dan membiarkan tumbuh alami hingga tidak satu pohon pun bila tak perlu
ditebang karena rumah-rumah alami Bali menyelaraskannya dengan alam.
Menarik
mengamati peristiwa sehari-hari yang terbentang dari tempat baca serambi
pondok melihat tupai-tupai berlompatan lincah, setiap kali merambati sulur-sulur
ranting panjang. Tupai-tupai itu melenting salto ke ranting pohon berikutnya
dengan loncatan silat alami sebelum ujung cabang yang terbebani tubuhnya
meliuk ke bawah, tupai itu sudah meloncat hinggap di sulur berikut tempat ia
menemukan makanan alami atau lebih tepat sarapan pagi di pukul delapan pagi
itu dengan senam loncat-meloncat saling menyapa sesama tupai diiringi cericit
kutilang sahut menyahut dan burung tuktuk yang memagut tuk tuk tuk batang
pohon dengan paruhnya hingga musik patuk mematuk itu ”induktif” dipakai orang
untuk menamainya sebagai burung tuk-tuk.
Sekejap
Anda akan kritis bertanya, mengapa kata yang sama yaitu tuk-tuk dipakai orang-orang
Kamboja dan Thailand untuk menamai kendaraan angkot semi bajaj? Jawabannya
ada pada penjelasan Ferdinand de Saussure, bahwa makna bahasa tergantung pada
komunitas pemakai bahasanya. Jadi secara induktif disepakati nama burung
tuk-tuk karena pemberi maknanya orang-orang alam flora tropis yang bersepakat
bersama.
Sedangkan
di tempat lain tergantung konsensus pemakai bahasa yang oleh De Saussure
diteorikan dalam proses memaknai (baca: the
signifying process) ada penanda atau pelaku pemberi makna (baca: the signifier) dan yang ditandai
(baca: the signified). Inilah salah
satu contoh pendekatan induktif yang mengambil dari pengalaman banyak beragam
lalu membahasakannya. Sementara itu, pendekatan yang mengabstraksi dari
pengalaman-pengalaman dan penghayatan beragam-ragam itu disebut ”deduksi”.
Contoh
langsungnya, ketika Bung Karno bertemu beragam orang-orang Nusantara, ada
orang Jawa, Minang, Flores, Batak, Sunda, Makasar, Bugis, Papua, maka dengan
pengalaman bertemu pula orang-orang beragam religi di sini: ada Islam, ada
orang Hindu, Buddha, orang Kristen, ada yang berkepercayaan keyakinan religi
bumi, maka saat Bung Karno menggali dasar bernegara yang menampung dan
menjadi rumah besar Indonesia, dia mengabstraksikannya secara ”deduktif”
(baca: de-ducare = harfiah berarti
menuntun rangkum dalam abstraksi) menjadi kemanusiaan.
Lalu
cita-cita bernilai yang harus diperjuangkan terus menerus agar tidak saling
menindas, maka harus mengajar keadaban dan perlakuan adil satu sama lain.
Jadilah deduksi kemanusiaan yang adil dan beradab. Bila antarsesama yang unik
berbeda saling berperang dan rebutan kuasa maka keadaan kembali ke naluri
purba kebiadabanlah yang terjadi.
Induksi
dan deduksi ini harus terus menerus diuji ke dinamika hidup yang terus
bergerak. Sekali rumusan deduktif tertulis, maka ia harus dibawa ke induksi
lagi dan setelah itu diabstraksi lagi menjadi deduksi, begitulah dinamika
metode logika serap dan hayati pengalaman as such as it is lalu di idealisasi
dengan perjuangan cita-cita yang mau dijadikan pandu ibu pertiwi.
Menarik
mencatat dalam sejarah kejelian genius pendiri bangsa kita Bung Karno tatkala
pada periode pembuangan di Ende, Flores 1934-1938, ketika induktif dari
penghayatan sehari-hari bertemu religusitas orang-orang lokal religi bumi,
bergaul dengan muslim-muslim toleran berbudaya serta dialog hidup dengan misionaris
pendidik- pendidik Kristiani yang muda-muda, yang memberi ruang pustaka di
Ende kala Bung Karno diasingkan dan psikologis merasa menjadi nobody.
Di
sanalah induksi dan deduksi terwujud dahsyat dalam galian rangkum bakal sila
pertama Pancasila. Bung Karno menulisnya setelah mengalami secara induktif
dan mendeduksikan abstraknya dengan kalimat: Ketuhanan yang berkebudayaan dan
berbudi pekerti. Inilah rumusan kultural sila pertama yang sampai beberapa
tahun yang lalu masih diusahakan dipraktekkan dengan mata ajaran budi
pekerti, justru karena beda-beda religi Nusantara paling bisa dijembatani
dengan toleransi antar religi dan interreligi kalau oasenya adalah budi
pekerti religius.
Namun
ketika perintah sejarah politis dalam wujud bendawi budayaatau tangible
berdebat keras mengenai pentingnya menegaskan tauhid atau keesaan Allah
secara politis, lalu digantilah rumusan bakal sila pertama itu menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah contoh nyata bahwa kita harus menjadi sadar
dan tercerahkan apa konsekuensi rumusan politik sebagai wilayah hukum formal
yang mereduksi rumusan kultural intangible
atau ranah nilai dan ruh budaya.
Itulah
sebabnya, jalan politis memecah atau devide
kita dalam kubu di sini kawan dan di sana lawan. Menyadari butir renung ini
semestinya membuat kita hati-hati terhadap kepentingankepentingan politis
(baca: political interest) apabila
tanpa budaya (baca: value atau
nilai mengenai yang baik, yang bermoral). Pendiri bangsa rekan dwitunggal
Bung Karno, yaitu Bung Hatta, menjadi contoh menarik sekali dalam posisi
sejarahnya untuk bangsa ini.
Bung
Hatta yang cendekiawan sekaligus merakyat tahu persis bahwa teori-teori
ekonomi yang mendasarkan diri pada kapital besar dengan akibat kekayaan bumi
dan mineral Nusantara ini bila tidak diatur dalam konstitusi dengan
pasal-pasal hukum positif untuk sebesarbesar kemakmuran bagi masyarakat,
pasti akan menghasilkan jurang kaya dan miskin serta negara oligopoli dan oligarki.
Karena
itu, Pasal 33 Konstitusi UUD 1945 dirumuskan tajam setelah induksi kenyataan
masyarakat yang miskin selama penjajahan dan yang tertindas karena tak punya
modal atau tanah. Maka deduksi hukum dirumuskan dengan fokus memakmurkan
rakyat yang selama ini menyembah-nyembah, menunduk-nunduk seraya bermental
perilaku ya tuanku alias daulat tuanku. Maka usaha bersama dalam koperasi
sebagai deduksi demokrasi ekonomi yang saling membantu dalam usaha bersama
untuk saling menyejahterakan menjadi panduannya.
Begitu
pula dengan mengalami, merangkum penghayatan bersama rakyat kecil yang tulus
memilih pemimpin-pemimpinnya dalam model desa, rumah gadang serta komunitas-komunitas
tradisional secara mufakat melalui metode induksi lalu dirangkum
abstraksikanlah secara deduktif rumusan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Diktum
rumus di atas sebelumnya secara kultural mengedepankan cara musyawarah
sebagai inti (esensi) demokrasi desa (menurut Hatta). Maka dari itu, ketika
kita semena-mena selalu secara pragmatis main solusi pemungutan pemenangan
voting suara terbanyak, di sana rumusan Hatta ”kita ciderai” karena voting
tega mengeliminasi yang kecil, yang minoritas demi mayoritas.
Namun
yang paling dahsyat untuk tulisan induksi dan deduksi sebagai metode
berpikir, merangkum dan merumuskan sebenarnya sudah dihayati oleh para bijak
nenek moyang, leluhur ahli kehidupan yang menghayati dengan merenungi
berjam-jam, berhari-hari bahkan berabadabad lalu menuliskan kalimat bermakna,
kalimat bijaksana: sepandai- pandai tupai melompat, .... Sekali gawal (gagal)
juga. Mengapa? Pertama, para bijak dan tadi di depan tulisan saya catat
induksi saya, para tupai ikut amat terampil dan ahli melompat.
Berarti
esensi ontologis (bahasa sulit yang sederhananya mau mengatakan ciri laku
tupai adalah kehebatannya meloncat dari ranting sulur pohon satu ke yang
lain), namun sekali gagal loncat juga. Kedua, pepatah nasihat hidup bijak
ini, sudah diuji dengan verifikasi berabad-abad secara induksi lalu
diabstraksi deduksi dalam satu kalimat padat berisi yang sampai hari ini
makna hikmahnya abadi.
Ketiga,
dalam pepatah sepandai- pandai tupai melompat, sekali gagal juga (dan
konsekuensinya tupai itu jatuh ke bawah) ingin dimuatkan nasihat agar kita
jangan sombong, membesarkan diri pongah dengan mengecilkan sesama. Sebab jika
ada yang terus berjaya seahli dan sepintar siapa pun, tidak ada yang tidak
pernah gagal.
Yang
penting adalah rendah hati mengolah kegagalan untuk bangkit lagi. Dalam aura
hikmah bijak hidup ini, rakyat banyak amat cerdas menangkap yang pada dia dan
mereka yang sederhana, tulus sebagai yang bisa diharapkan menjadi pandu
bangsa.
Fenomena
kecerdasan rakyat banyak ini baru saja dibuktikan dalam pemilu pileg
(legislatif) kemarin dulu. Meski bombardir televisi, tayangan-tayangan hebat,
baliho menyeruak menyesaki mata pandang, mata budi kita semua seolah tidak
ada celah untuk mata nurani, tetapi yangdipilihrakyat banyakbukan citra-citra
yang digeber media televisi, visual, kampanye hitam yang dimiliki
mereka-mereka yang punya semuanya yaitu media visual, dana, kekayaan secara
riuh-pikuk seakan membuat secara visual dan maya mereka gegap gempita menang!
Tetapi
pilihan nurani rakyat banyak bukan mereka, tetapi yang bersahaja, yang tulus
mau memperjuangkan kesejahteraan mereka. Bacaan cerdas rakyat banyak moga
terwujud di 9 Juli 2014 ini pula, karena di sana termuat religusitas Tuhan
tidak akan tidur, Gusti mboten sare,
karena doa-doa rintik dan alunan sembahyang mereka-mereka yang menjadi
korban-korban kejahatan kemanusiaan serta politik bumi hangus dan hancurkan
semua agar si pemenang seakan tampil mengaku diri penyelamat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar