Minggu, 22 Juni 2014

Mengukur Pembangunan

Mengukur Pembangunan

Khudori  ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat ,
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
KORAN SINDO,  20 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Badan Pusat Statistik (BPS) membuat terobosan dengan meluncurkan indikator baru untuk mengukur hasil pembangunan: indeks kebahagiaan. Menurut BPS, dari skala 0-100 (dari sangat tidak bahagia hingga sangat bahagia) masyarakat Indonesia pada 2013 berada pada indeks 65,11 poin. Artinya cukup bahagia. Menurut BPS, indeks kebahagiaan merupakan indikator subjektif yang mendampingi indikator objektif tingkat kesejahteraan warga. Cakupan kebahagiaan tak terbatas pada kondisi yang baik dan menyenangkan, tapi juga kehidupan yang bermakna.

BPS menemukan, ada 10 domain penentu kebahagiaan warga, yakni pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungansosial, ketersediaan waktu luang, kondisi lingkungan, dan kondisi keamanan. Selama bertahun-tahun, pemerintah menggunakan pelbagai indikator makro seperti nilai tukar rupiah dan lifting minyak dan gas, pertumbuhan ekonomi, inflasi, harga migas, dan tingkat suku bunga surat utang tiga bulan untuk mengukur kinerja pemerintah dan hasil pembangunan.

Saat ekonomi dunia loyo, pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat tinggi. Tetapi pertumbuhan itu hanya didorong oleh sektor modern atau non-tradable, seperti sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, dan perdagangan/hotel/restoran. Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan. Pelakunya segelintir. Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga kerja.

Karena sifatnya itu, penyerapan tenaga kerja sektor non-tradable lebih kecil dari sektor tradable. Ini tak hanya berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah, tapi juga menyentuh dimensi kesejahteraan: tumbuh tapi tidak (semuanya) sejahtera. Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional pada 2013 hanya 14%. Padahal, sektor ini menampung 41% dari total tenaga kerja. Akibatnya, sektor pertanian kian involutif, yang ditandai masifnya tingkat kemiskinan di perdesaan.

Ini memunculkan disparitas pendapatan antarpenduduk. Kesenjangan kian melebar, seperti syair lagu: yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Ini terlihat dari naiknya Rasio Gini: dari 0,32 pada 2004 jadi 0,41 pada 2011 (makin tinggi berarti makin timpang). Sejak gemuruh pembangunan dilakukan pada 1966, ini pertama kalinya Rasio Gini Indonesia masuk ketimpangan menengah (di bawah 0,4 masuk ketimpangan rendah). Pembangunan hanya dinikmati sekelompok kelas ekonomi.

Artinya, bila kemiskinan absolut menurun maka kemiskinan relatif meningkat. Kesenjangan yang melebar itu menandai defisit kesejahteraan. Ini kelemahan mengukur pembangunan yang lebih banyak terpaku pada pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan pendapatan bruto kotor/PDB). Hidup bukan hanya soal uang, tetapi juga soal kesehatan, pendidikan, keamanan, kenyamanan, lingkungan, kontinuitas di masa depan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan banyak hal lagi.

Ini semua tidak bisa dicakup oleh PDB, perlu indikator lain. PDB adalah indeks tentang output perekonomian keseluruhan suatu negara, hitungan hasil produksi (barang dan jasa) pabrik, panen petani, penjualan ritel, dan belanja konstruksi. Hitungan dilakukan dalam rentang tertentu. Angka ini berfungsi memadatkan luasnya perekonomian nasional ke satu data tunggal dengan densitas luar biasa.

Anggapan umum, kian besar PDB kian makmur negeri dan warga. Padahal tidak demikian. PDB mencatat produksi barang-jasa di suatu negara, tak peduli siapa yang membuat. Misalnya, perusahaan asing berinvestasi di Indonesia mengeduk minyak, emas dan batu bara, semua kekayaan mineral yang diangkat dari bumi Indonesia adalah PDB Indonesia. Semua mineral itu milik investor asing.

Pemerintah Indonesia kebagian pajak dan royalti yang kecil. Mereka juga mempekerjakan para buruh Indonesia, tetapi gajinya rendah. Bagian terbesar dari hasil itu milik investor asing. Statistik kita mencatatnya sebagai PDB Indonesia. Jika barangnya diekspor, statistik kita mencatat ekspor Indonesia meningkat, padahal milik asing.  

Ada banyak ketidakpuasan atas pengukuran tunggal itu. Pada 24 Mei 2011, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang amat bergengsi itu mendeklarasikan Indeks Kebahagiaan (Your Better Life Index), indeks pengganti PDB. Sejak didirikan 1961, OECD selalu memakai pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran utama keberhasilan perekonomian dan sosial.

Pertumbuhan pendapatan nasional boleh tinggi, tapi apa gunanya jika lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan hidup tak nyaman? Itu salah satu alasan OECD kini memakai 11 indikator untuk mengukur kemajuan perekonomian, yang mencakup pendapatan, perumahan, pekerjaan, masyarakat, pendidikan, lingkungan, pemerintahan, kesehatan, kepuasan hidup, keamanan, serta keseimbangan pekerjaan dan hidup (Ananta, 2011).

Jauh sebelum itu, Bhutan, sebuah negara kecil di Pegunungan Himalaya, sejak 1972 telah memperkenalkan indeks kebahagiaan nasional (gross national happiness), bukan indeks pendapatan nasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1990 juga telah menciptakan alternatif pengukuran pembangunan: Indeks Pembangunan Manusia (human development index/HDI). Ini merupakan kombinasi dari pendapatan, pendidikan, dan kesehatan.

Tiap tahun PBB mengukur pembangunan di berbagai negara dengan indeks ini. Namun, PBB tak dapat memaksakan semua negara melaksanakan konsep ini. Hampir semua negara, termasuk Indonesia, memakai HDI dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan. Namun, HDI masih dilihat hanya dipakai sebagai catatan pelengkap dalam melihat keberhasilan pembangunan. Kini juga kian banyak ekonom di dunia yang kecewa pada pertumbuhan ekonomi sebagai pengukur utama pembangunan ekonomi.

Para ekonom dunia, seperti Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paui Fitoussi pada 2009 menghasilkan laporan yang menyarankan alternatif pengukuran pembangunan ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, PDB bukan hanya gagal menggambarkan kesejahteraan nyata masyarakat, melainkan juga melencengkan tujuan politik global ke arah pengejaran pertumbuhan ekonomi semata.

PDB tidak memadai untuk mengukur tingkat kesejahteraan dari waktu ke waktu, terutama berkaitan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial. PDB adalah ukuran produksi pasar, tapi kerap diperlakukan sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi (Stiglitz, Sen, dan Fitoussi, 2009). Indikator PDB yang hanya melihat sisi produksi. PDB merupakan pengukuran jangka pendek. Mungkin suatu saat pendapatan tinggi, tetapi tidak berkelanjutan (Ananta, 2012).

Karena itu, perlu mengukur kekayaan suatu negara, bukan sekadar pendapatan. Indonesia misalnya, ekonomi tumbuh tinggi. Ini diperoleh dari obral sumber daya alam dengan cara ”keduk, keruk dan tebang”. Investasi asing dan pertumbuhan meningkat luar biasa.

Sialnya, suatu saat sumber daya alam habis, dan masyarakat di negara itu tidak dapat lagi menikmati sumber daya alam yang berlimpah karena telah habis tandas. Inikah namanya pembangunan! Langkah BPS perlu diapresiasi, meskipun indeks belum diadopsi sebagai indikator APBN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar