Sabtu, 24 Agustus 2013

Ikhwanul Muslimin dan Militer

Ikhwanul Muslimin dan Militer
Zuhairi Misrawi ;    Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah The Middle East Institute
KOMPAS, 24 Agustus 2013


Bulan madu Ikhwanul Muslimin dan militer pasca-revolusi, 25 Januari 2011, telah berakhir. Kudeta militer pada 3 Juli lalu menjadi mimpi buruk bagi IM. Muhammad Mursi dilengserkan, ribuan aktivis IM dipenjara atas tuduhan provokasi kekerasan dan ratusan demonstran pro-Mursi tewas.
Dinamika politik pasca-revolusi berubah begitu cepat dan kompleks. Mulanya, revolusi yang menumbangkan rezim Hosni Mubarak melahirkan fakta baru di panggung politik Mesir, yaitu hubungan mesra antara IM dan militer. Kubu nasionalis yang sejak awal mendesak militer agar mengamandemen konstitusi terlebih dahulu daripada menggelar pemilu tidak digubris. Militer lebih memilih berkolaborasi dengan IM daripada mendengarkan aspirasi kubu nasionalis. IM mendulang keuntungan politik dari hubungan mesra tersebut.
Bagaimanapun, keberhasilan IM menjadi penguasa pasca-revolusi tidak bisa dilepas dari dukungan militer. Hubungan mesra dengan militer telah memuluskan IM meraih mimpi mereka jadi kekuatan utama politik di Mesir. Menurut Zoltan Barany dalam The Role of the Military, militer adalah institusi yang paling kuat di dalam negara dan tak ada revolusi yang sukses tanpa mendapat dukungan atau setidaknya pasifnya militer. Jatuhnya Mubarak karena militer mendukung revolusi (Journal of Democracy, 4 Oktober 2011).
Penjelasan tersebut kian mengukuhkan militer punya peran sentral dalam jatuh bangun rezim politik. Tanpa dukungan militer, IM tidak mungkin menjadi kekuatan penting dalam politik Mesir pasca-revolusi. Di sinilah posisi strategis militer di dalam panggung politik Mesir.
Hal sebaliknya, kejatuhan Mursi dari kursi kekuasaan tak lain dapat dipahami karena IM tidak mampu menjaga hubungan mesra dengan militer. Ketidakmampuan Mursi mengendalikan dan mengelola hubungan baik dengan militer berdampak buruk bagi kekuasaannya, yang hanya bertahan seumur jagung itu.
Rezim militer
Sejak 1952, rezim politik di Mesir adalah rezim militer. Gamal Abd Nasser meraih kekuasaan melalui kudeta militer. Hubungan antara Nasser dan IM sudah retak sejak awal. Hal tersebut disebabkan dua arus ideologi yang berseberangan di antara keduanya. Nasser adalah simbol nasionalisme Arab yang beraliran sosialis, sedangkan IM merupakan benteng islamisme yang meyakini pembentukan negara Islam. Untuk memapankan kekuasaannya, Nasser melarang eksistensi IM pada tahun 1954.
Pada masa pemerintahan Nasser, islamisme ala IM tidak punya ruang gerak akibat tertutupnya kanal politik praktis. Ide-ide nasionalisme dan sosialisme lebih diidolakan rakyat Mesir, bahkan dunia Arab lainnya. Namun, petaka politik terjadi saat Nasser kalah dalam perang melawan Israel pada 1967, yang disertai krisis ekonomi dan melemahnya kekuatan militer akibat terbatasnya belanja di bidang militer. Akhirnya, IM berkesempatan menggoyang posisi militer, yang berakhir dengan terbunuhnya Nasser, konon di tangan aktivis IM.
Anwar Sadat yang memerintah sejak 1970 mulai menggandeng IM. Ia menyadari betapa penting peran IM dan kelompok islamis lainnya. Salah satu hubungan mesra Sadat, yang juga dari kalangan militer itu, adalah perubahan klausul di dalam konstitusi yang berbunyi, ”Syariat Islam sebagai sumber utama dalam hukum”. Langkah ini diambil Sadat sebagai jalan kompromi dengan IM dan kekuatan islamis lainnya. Klausul inilah yang kemudian jadi sumber perdebatan di dalam lanskap politik, antara Syariat Islam sebagai salah satu sumber atau satu-satunya sumber hukum. Di samping itu, ada yang mengusulkan agar tujuan-tujuan pokok Syariat Islam sebagai sumber hukum.
Namun, setelah deklarasi perdamaian antara Mesir dan Israel di Camp David pada 1979, Sadat berhadapan kembali dengan IM dan kelompok islamis lainnya. Perdamaian dengan Israel akhirnya berujung dengan tewasnya Sadat di tangan kaum islamis.
Hosni Mubarak yang juga berasal dari militer menggantikan Sadat sejak 1981. Mubarak semakin mengukuhkan nasionalisme dan melakukan modernisasi dalam segala bidang. Ia juga terus melanjutkan perjanjian damai dengan Israel yang telah dirintis Sadat. Secara ideologis, Mubarak bertentangan dengan IM.
Kata kunci dalam rezim Mubarak adalah stabilitas politik. Karena itu, ia mengeluarkan kebijakan ”darurat militer”. Hubungannya dengan IM bersifat pragmatis: sejauh tak mengganggu stabilitas politik, ia mempersilakan IM melakukan aktivitas, bahkan ikut pemilu. Namun, karena kekuatan politik IM mulai membesar, ia membatasi peran IM dalam politik.
Meskipun demikian, IM relatif punya kebebasan dalam melakukan kegiatan kemanusiaan. Bahkan, merekaleading di beberapa asosiasi profesional, seperti pengacara, dokter, dan teknik sipil. Mubarak berpandangan, sejauh IM tidak mengganggu posisinya dalam politik praktis, hal tersebut tak menjadi soal serius baginya. Pada masa Mubarak inilah, IM relatif lebih leluasa memainkan peran politik dan ekonomi meskipun beberapa aktivisnya dipenjara sebagai tahanan politik.
Demokrasi
Latar historis relasi IM dan militer dapat menggambarkan betapa keduanya kerap terlibat dalam konflik, gesekan, bahkan pertarungan. Secara ideologis, IM dan militer hampir tak punya titik temu. Militer mengukuhkan ideologi nasionalisme, sementara IM berpijak di atas islamisme.
Di samping itu, IM dan kaum islamis lain punya pengalaman buruk yang susah dihapus dalam sejarah politik Mesir, yaitu pembunuhan terhadap elite politik dan tokoh militer, seperti Nuqrasyi Phasa, Khazandar, Nasser, dan Sadat. Juga sebaliknya, sikap represif yang kerap dilakukan militer terhadap aktivis IM.

Jatuhnya Mursi merupakan repetisi sejarah pada masa lalu. Ketakmampuan IM dalam mempertahankan hubungan mesra dengan militer yang didukung mayoritas kekuatan politik kian melemahkan posisi IM. Belajar dari pengalaman, jika IM ingin terlibat dalam politik praktis, tak ada pilihan, kecuali merajut kembali hubungan baik dengan militer. Jika tidak, IM menghadapi tantangan yang cukup serius, sebagaimana dialami saat ini. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar