Hukuman Sosial
bagi Koruptor
Kacung Marijan ; Profesor Emeritus Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
|
KOMPAS,
24 Agustus 2012
KPK telah lama dibentuk. Para koruptor juga
sudah banyak yang dijebloskan ke penjara. Namun, korupsi masih terus merajalela
dan terkesan semakin menjadi-jadi. Bahkan ada koruptor yang bangga telah
menjadi koruptor. Para pegiat antikorupsi, termasuk penegak hukum yang serius
melakukan pemberantasan korupsi, terus berusaha mencari jalan bagaimana
mengatasi masalah ini.
Meskipun demikian, terdapat pertanyaan
mengemuka yang selalu diperdebatkan jawabannya. Pertanyaan besarnya adalah
bagaimana membangun desain kelembagaan berupa hukuman yang memiliki efek jera
terhadap para koruptor dan orang-orang yang berniat melakukan praktik korupsi?
Terdapat dua kelompok aliran di dalam
menjawab pertanyaan ini. Pertama adalah kelompok yang menekankan pentingnya
hukuman penjara maksimalis. Kelompok ini berpendapat, agar para koruptor jera
dan mereka yang akan melakukan korupsi mengurungkan niatnya, para koruptor
harus dihukum seberat-beratnya. Bahkan, kalau perlu, tempat hukuman mereka
adalah tempat yang terisolasi. Malah ada yang mengusulkan hukuman mati
sekalian.
Kedua adalah kelompok yang menekankan
pentingnya hukuman sosial. Para koruptor, menurut pendapat kelompok ini, tidak
harus menjalani hukuman penjara secara fisik di dalam penjara. Mereka cukup
”dipenjara” secara sosial, tetapi konsekuensinya tidak kalah dahsyat kalau
dibandingkan dengan hukuman penjara secara fisik.
Contohnya, kalau ada kepala daerah yang
terbukti bersalah melakukan praktik korupsi, mereka bisa dihukum untuk menjadi
tukang bersih-bersih kantor di tempat mereka menjadi kepala daerah dalam kurun
tahun tertentu.
Setengah-Setengah
Di Indonesia, sanksi bagi koruptor lebih
diarahkan untuk hukuman fisik. Itu pun tidak termasuk kategori hukuman penjara
maksimalis.
Memang, koruptor dari kelompok tertentu dan
pelaku kejahatan korupsi tertentu bisa dikenai hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Akan tetapi, amat jarang koruptor dijatuhi hukum secara maksimal ini. Malah
tidak sedikit koruptor yang dihukum kurang dari tiga tahun. Bahkan, ketika
kasus-kasus korupsi itu ditangani lembaga yang bukan Komisi Pemberantasan
Korupsi, tidak sedikit pula yang diputus bebas oleh pengadilan.
Hukuman terhadap koruptor yang masih
setengah-setengah itulah, antara lain, yang dipandang sebagai salah satu
pangkal mengapa kasus-kasus korupsi masih bermunculan. Hukuman
setengah-setengah itu dipandang tidak memiliki efek jera bagi pelaku dan
orang-orang yang akan melakukannya.
Adanya hukuman yang lebih berat merupakan
salah satu upaya untuk menghasilkan efek jera yang lebih besar. Akan tetapi,
satu hal yang perlu kita pikirkan adalah terkait adanya realitas bahwa tidak
sedikit para koruptor yang berperilaku biasa-biasa saja. Bahkan ada yang merasa
tidak pernah bersalah setelah sekian lama mendekam di penjara. Dengan kata
lain, tidak tebersit rasa malu pada mereka meskipun pernah menyandang label
koruptor dan pernah dipenjarakan.
Penjara Sosial
Dalam kondisi seperti itu, adanya hukuman
sosial bagi para koruptor bisa menjadi salah satu alternatif yang tidak bisa
dianggap enteng. Di dalam konsep penjara sosial, narapidana tidak serta-merta
harus menghabiskan hari-harinya di dalam penjara. Mereka bisa dihukum sebagai
pekerja sosial untuk membantu masyarakat.
Namun, dalam hal kasus korupsi, hukuman
sosial yang harus diterima jelas harus dibedakan dengan hukuman untuk
kasus-kasus lain yang tergolong sebagai kejahatan biasa. Hukuman sosial yang
setimpal untuk koruptor adalah menjalankan pekerjaan-pekerjaan ”kasar” di dalam
kantor tempat mereka memegang jabatan. Misalnya, mereka harus bekerja melayani
orang-orang yang sebelumnya menjadi bawahannya.
Hukuman sosial semacam itu sekaligus
berfungsi mempermalukan koruptor di dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa
membayangkan adanya bupati yang koruptor memakai baju koruptor. Sehari-hari ia
harus membersihkan toilet dan menyapu lantai kantor kabupaten yang pernah dia
pimpin.
Hukuman sosial semacam itu tidak serta-merta
menghilangkan hukuman secara fisik di penjara sama sekali. Hukuman sosial
diberlakukan pada pagi hingga sore hari. Sementara itu, malam hari para
koruptor tetap diwajibkan tinggal di penjara.
Meskipun demikian, keberhasilan dalam
melakukan pemberantasan korupsi jelas tidak semata-mata bisa dinilai oleh
seberapa banyak koruptor yang memperoleh hukuman, baik secara sosial maupun
secara fisik. Keberhasilan itu juga sangat ditentukan oleh kemampuan melakukan
pencegahan, termasuk menjadikan budaya antikorupsi sebagai bagian dari
kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks seperti itu, institusi
pendidikan, keluarga, dan komunitas memiliki peranan yang sangat penting.
Budaya antikorupsi jelas tidak akan bisa lahir begitu saja. Budaya antikorupsi
merupakan produk dari pembudayaan nilai-nilai tertentu, seperti nilai-nilai
kejujuran dan integritas, di dalam kehidupan sehari-hari.
Institusi pendidikan belakangan
sudah mulai bergerak melalui pendidikan antikorupsi kepada para peserta didik. Akan
tetapi, gerakan demikian menjadi kurang bermakna ketika institusi lain, seperti
keluarga dan komunitas, masih menyebarkan toleransi terhadap nilai-nilai dan
praktik korupsi. Pembentukan
antikorupsi pada dasarnya merupakan gerakan bersama yang harus dilakukan semua
pihak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar