Merdeka dari
Korupsi
Putera Manuaba ; Dosen pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Airlangga
|
SUARA
KARYA, 23 Agustus 2012
Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-67
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) baru saja kita lewati. Kita
memang telah merdeka dari kungkungan penjajah. Namun, sekarang ini kita belum
merdeka dari korupsi. Kita masih ada dalam belenggu korupsi yang menyengsarakan
bangsa kita. Kapan kita dapat merdeka dari korupsi?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita memang
harus memiliki kemerdekaan diri, kemerdekaan spiritual. Maksudnya, kemerdekaan
sebagai pribadi-pribadi mandiri dalam kesadaran inklusif, sehingga senantiasa
mampu berikhtiar dan membedakan secara tegas mana yang baik dan buruk serta
mana yang benar dan salah. Dalam kemerdekaan ini juga, orientasi kita adalah
mengedepankan sikap-sikap positif yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara,
dan umat manusia, serta alam lingkungan. Sikap dengan penuh dedikatif, patriotisme,
altruisme, kompetitif, optimisme, dan seterusnya menjadi sikap-sikap yang kita
utamakan.
Tiadanya kemerdekaan spiritual ini makin
menonjol ada dalam masa pasca-Reformasi. Setelah jatuhnya Orde Baru, dan kita
masuk pada masa Reformasi, tanpa tersadari, kita justru terjebak dalam belenggu
besar korupsi dan suap yang sangat parah. Korupsi dan suap kini sudah merasuk
ke segala lini, merusak sistem yang ada, dan seperti merusak moralitas bangsa
kita.
Kegilaan akan materi seperti telah menjadi
aparatus dan telah sedemikian jauh mengoyak nilai kearifan yang seharusnya
menafasi gerak aktivitas dan kreativitas kita. Materi, yang secara ontologis
seharusnya kita posisikan sebagai instrumen hidup, justru menjadi belenggu yang
mahahebat yang mengontaminasi jiwa dan seperti menggantikan kekejaman
berlipat-lipat si penjajah. Kasus spektakuler dan mutakhir, misalnya, kasus
dugaan korupsi pengadaan Al-Quran di Kementerian Agama, korupsi simulasi surat
izin mengemudi (SIM) di kepolisian, dan suap pengusaha Tuti Murdaya.
Membudaya
Korupsi dan suap di negeri kita ini seolah
dianggap sebagai tren dan model saja. Dan, anehnya, orang yang melakukan
korupsi itu seperti tak berdosa saja. Sudah berapa orang terhormat di negeri
ini melakukan korupsi. Jumlahnya tak terhitung lagi, karena hampir setiap hari
di media massa pasti ada pemberitaan terkait tindakan korupsi yang dilakukan
orang-orang yang seharusnya justru memberikan contoh yang baik bagi rakyatnya.
Korupsi malah seperti dijadikan paduan suara. Semakin bertambah banyak saja
orang pintar yang menggunakan kepintarannya untuk kejahatan korupsi. Bukannya
kepintaran mereka digunakan untuk kebaikan.
Kondisi seperti itu tentu menjadi kendala untuk
mengisi kemerdekaan yang lebih hakiki. Apa yang didambakan Bung Karno,
benar-benar berjalan mundur, sebab yang tumbuh justru adalah pengkhianatan atas
apa yang menjadi amanat para pendahulu bangsa.
Peter L Berger, sosiolog kontemporer,
menyatakan betapa pentingnya kemajuan itu diraih dengan melakukan pembiasaan
atas nilai-nilai yang diharapkan dapat mendukungnya. Pembiasaan itu sangat
penting artinya untuk pembudayaan. Jika orang telah terbiasa mempraktikkan
nilai-nilai kebaikan dalam kesehariannya, niscaya budaya yang akan terbina
adalah budaya yang baik. Dan, sebaliknya, jika yang terbiasakan adalah nilai
yang buruk, maka budaya yang tercipta adalah budaya yang buruk.
Dalam hal ini, tindakan korupsi yang dilakukan
secara terus-menerus dan secara sistemik serta dalam jangka waktu yang sangat
lama, tentu saja menjadi penyebab lahirkan budaya buruk, yakni budaya koruptif.
Dan, jika korupsi telah menjadi budaya, maka budaya itu akan amat sulit untuk
disembuhkan. Korupsi yang terlalu lama dilakukan dalam masa pasca-kemerdekaan
ini, secara tak langsung dan tak disengaja, juga merupakan proses pembudayaan.
Untuk itu, agar korupsi tak menjadi budaya, begitu ada kasus korupsi seharusnya
segera ditumpas dengan tegas. Jangan ada pembiaran, apalagi dalam waktu lama.
Perang atas sikap korup dan penyuap ini
sebenarnya dapat diatasi dengan melepaskan diri dari belenggu materi. Dan,
belenggu ini terjadi justru karena belum adanya kemerdekaan spiritual, sehingga
tak ada kekuatan spiritualitas dari dalam diri untuk menangkal apa yang buruk
dan salah. Akibatnya, korupsi itu justru oleh sebagian orang dianggap bukan
dosa.
Spiritualitas dalam kedirian kita memang sangat penting untuk kita
bangun dengan penuh kesadaran. Hanya orang-orang yang mampu menyatukan
spiritualitas dengan wacana dan perbuatan itulah yang akan dapat melakukan tindakan
terpuji. Ia bisa memosisikan materi dengan yang seharusnya. Ia tak terbelenggu
materi. Hanya orang-orang yang demikian yang dapat disebut 'merdeka dari korupsi'. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar