Optimalisasi
Informasi Geospasial
Atasi Konflik
Tata Ruang
Sukendra Martha ; Tenaga Ahli Pengajar Bidang Geografi
Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhannas) RI
|
SINAR
HARAPAN, 25 Agustus 2012
Kekisruhan tata ruang dan sengketa lahan yang
marak belakangan ini ternyata sebagian besar terjadi akibat pendataan geografi
yang tidak tertib.
Padahal, sistem informasi geografis dapat
berperan sebagai alat ampuh untuk mengelola berbagai data geospasial guna
mendukung pendataan yang baik. Ketiadaan informasi geospasial dan kurangnya
pemanfaatannya merupakan bagian ketidaktertiban tersebut.
Andai saja informasi geospasial itu lengkap,
akurat, dan dimanfaatkan dengan benar, niscaya konflik dan kekisruhan tata
ruang dapat ditekan sekecil mungkin.
Saat ini teknologi pemetaan atau geografi
berkembang begitu pesat. Geografi adalah ilmu yang mempelajari dan mengkaji
ruang (space), dan untuk itu acapkali
mengaplikasikan teknologi citra satelit (satellite
imagery), dan GPS (global
posistioning systems) untuk mendapatkan fakta keruang-bumian.
Informasi geospasial tersebut akan membantu
tugas para pengambil kebijakan sekaligus sebagai dasar pembangunan wilayah.
Tanpa informasi geospasial, dapat dipastikan hasil rencana pembangunan
(wilayah) tak akan sesuai harapan.
Kita semua tahu bahwa sumber kekayaan alam
yang tersedia mulai dari bentang permukaan bumi, lautan, dan yang ada di bawah
bumi serta udara di atasnya, perlu dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia.
Geografi, sumber kekayaan alam/SKA dan
Demografi (Trigatra) disebut sebagai gatra statis, karena untuk mengelolanya
masih diperlukan campur tangan manusia. Informasi geospasial diperlukan sebagai
alat bantu pengelolaan sumber kekayaan alam tadi.
Sesungguhnya, informasi geospasial begitu
diperlukan untuk melengkapi informasi yang sifatnya nongeospasial seperti data
statistik, misalnya hasil sensus penduduk 10 tahunan. Perpaduan keduanya akan
membuat proses perencanaan lebih terukur dan kemajuan pembangunan dapat
dipantau.
Tanpa data dan informasi geospasial,
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan akan mendapatkan kesulitan. Untuk itu,
sumber data harus jelas, dipercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.
Dengan informasi geospasial dapat diputuskan
(decision making process), misalnya,
berbagai lokasi pembangunan. Maknanya, segala aktivitas yang terkait dengan
kewilayahan memerlukan data dan informasi geospasial ini. Perpaduan data
geospasial dan data statistik menjadi saling mengisi dan mendukung perencanaan
pembangunan wilayah.
Sempurnakan RBI
Setidaknya ada empat hal yang perlu
diperhatikan dalam pemanfaatan informasi geospasial untuk pembangunan secara
nasional.
Pertama, kesiapan dan ketersediaan informasi
geospasial dasar secara lengkap dan
mutakhir diperlukan. Peta Rupabumi Indonesia (RBI) berskala 1:25.000 sebagai peta dasar
baru tersedia secara lengkap untuk Jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara.
Belum lengkapnya informasi dasar yang
mencakup seluruh wilayah Nusantara harus segera dipenuhi dengan menyediakan
anggaran pengadaannya. Perencanaan pembangunan dapat dilakukan kapan saja
ketika informasi geospasial dasar ini telah siap dimanfaatkan.
Undang-Undang No 4/2011 tentang Informasi
Geospasial belum secara eksplisit menugaskan pemerintah, dalam hal ini Badan
Informasi Geospasial (dulu Bakosurtanal), dalam menyediakan informasi
geospasial secara lengkap yang mencakup seluruh wilayah NKRI.
Oleh karena itu, masih diperlukan adanya
aturan yang lebih spesifik (dalam bentuk PP, perpres,dan lainnya) yang
menugaskan untuk itu. Ketidaklengkapan informasi geospasial mengakibatkan
rendahnya kualitas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Kedua, jaminan kualitas informasi geospasial
menjadi penting. Para pengguna data geospasial (tanpa mengetahui kualitasnya),
sering kali berharap mendapatkan lebih dari yang disajikan data tersebut. Pada
kenyataannya, mereka harus siap menerima konsekuensi kesalahan.
Kesalahan baca peta berskala 1:100.000
misalnya, 1 cm saja berarti sama dengan 1 km di lapangan. Dengan demikian,
tidak adanya jaminan kualitas Informasi Geospasial dapat merugikan penggunanya
(BIG, 2012).
Ketiga, penggunaan data geospasial dalam
format digital perlu terus didorong. Terlebih teknologi informasi dan
komunikasi saat ini sudah sedemikian maju dan merasuki sendi-sendi kehidupan
praktis masyarakat.
Melalui penggunaan telepon genggam integrasi
berbagai informasi, termasuk informasi geospasial, berbagai konten geografi dan
penggunaan GPS disertakan. Dengan GPS via handphone
mampu mengomunikasikan lokasi kita berada, petunjuk arah dalam berkendara, atau
manfaat lainnya.
Keempat, pengintegrasian informasi geospasial
tematik harus tersajikan dalam satu format yang sama. Penyatuan data
pertanahan, kehutanan, pertanian, mineral, tata ruang, kelautan, perikanan, dan
lain-lain, berpotensi tumpang tindih karena dibuat berdasarkan acuan berbeda.
Kerancuan informasi akan menimbulkan
ketidakpastian banyak hal. Ketidakpastian investasi, konflik antarsektor,
marahnya masyarakat adat, hingga pelanggaran hukum sejatinya bermula dari peta
atau informasi geospasial yang tidak sinergis.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas,
pemanfaatan informasi geospasial menjadi penting. Integrasi informasi
geospasial perlu dioptimasikan agar kerancuan penggunaan peta dapat dihindari.
Perencanaan tanpa didukung informasi geospasial mengakibatkan kurang optimalnya
hasil pembangunan wilayah.
Perencanaan dan evaluasi yang kurang tepat
dan kurang berkualitas mengakibatkan hilangnya konteks keruangan suatu rencana pembangunan.
Berbagai studi tentang pemanfaatan informasi geospasial telah membuktikan
adanya efisiensi anggaran pembangunan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar