Angkutan Umum
atau Mati?
Daniel Mohammad Rosyid ; Guru Besar ITS,
Ketua Persatuan
Insinyur Indonesia cabang Surabaya
|
JAWA
POS, 25 Agustus 2012
SESAT
pikir kebijakan transportasi nasional berpuncak pada saat mudik Lebaran. Itu
tidak hanya terjadi tahun ini, tetapi juga tahun-tahun sebelumnya. Sesat pikir
tahunan. Telah terjadi lebih dari 3.000 kasus kecelakaan lalu lintas. Pada H+5
masa mudik 2012 ini sudah lebih dari 700 jiwa melayang di jalan. Kebanyakan
adalah pesepeda motor. Ribuan lainnya mengalami cacat tetap. Kebanyakan korban
adalah warga muda produktif tulang punggung keluarga wong cilik. Begitu tulang
punggung keluarga itu cacat atau meninggal, keluarga tersebut langsung jatuh
miskin.
Sesat pikir itu dimulai saat angkutan umum ditelantarkan demi kejayaan angkutan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor. Pertumbuhan jumlah sepeda motor baru di kawasan Gerbang Kertosusila pada beberapa tahun terakhir sudah mencapai 1.200 unit per hari. Jumlah mobil sendiri mencapai seratus unit lebih per hari.
Iklan sepeda motor sangat gencar di berbagai media, kadang-kadang dibungkus dengan talk show tentang safety riding, bahkan defensive riding. Targetnya, anak-anak muda. Sudah saatnya industri sepeda motor dimintai tanggung jawab.
Tak Butuh BBM Murah
Khusus untuk wong cilik, sepeda motor dianggap sebagai penolong mobilitas mereka. Ironisnya, pada saat yang sama, angkutan umum justru semakin ditelantarkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Pengguna angkutan umum dari tahun ke tahun semakin turun dan kondisinya bak hidup segan mati tak mau. Ketergantungan masyarakat bawah pada sepeda motor sudah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan. Namun, wong cilik ini tidak punya pilihan banyak.
Jika tidak dilakukan langkah-langkah yang drastis untuk mengembangkan angkutan umum, bisa dipastikan jalan-jalan kita saat mudik 2013 akan menjadi ladang pembantaian. Lebih masal dan lebih brutal. Kemacetan akan semakin melumpuhkan banyak kawasan.
Untuk mudik tahun ini saja, perjalanan bermobil dari Surabaya ke Solo butuh waktu lebih dari 12 jam, padahal pada hari biasa cukup lima atau enam jam saja. Bisa dibayangkan pemborosan BBM saat mudik yang diwarnai kemacetan di jalur-jalur utama, termasuk Surabaya-Malang atau Semarang-Solo. Luar biasa.
Insentif atau keterpaksaan penggunaan sepeda motor untuk mudik harus dihilangkan dengan penyediaan angkutan umum jauh hari sebelum Lebaran. Penggunaan angkutan umum harus dibiasakan sebagai alat mobilitas sehari-hari. Pengembangan angkutan umum perkotaan memerlukan dukungan sarana transit (mobilitas metabolik dengan energi tubuh) yang memadai agar mobilitas dari rumah ke halte atau stasiun terdekat cukup nyaman, baik dengan berjalan kaki ataupun bersepeda. Dibutuhkan trotoar yang lebih lebar dan nyaman untuk pejalan kaki dan jalur sepeda serta sarana park-n-ride bagi para bikers ini.
Pengembangan trem listrik bisa menjadi opsi yang menarik ataupun modifikasinya berupa kereta kelinci yang sering kita lihat di beberapa sudut kota. Untuk antarkota, perlu pengembangan prasarana dan sarana bus maupun kereta api dengan jangkauan luas, termasuk komuter.
Biaya pengembangan prasarana dan sarana angkutan umum tersebut dapat diambil dari realokasi subsidi BBM. Masyarakat sejatinya tidak membutuhkan BBM murah, tetapi membutuhkan layanan mobilitas yang aman, nyaman, dan murah.
Tak Bisa Ditunda!
Kita bisa saja mengatakan bahwa mati itu urusan Tuhan, tetapi ini pernyataan yang ngawur dan tidak pantas dinyatakan oleh pembuat kebijakan. Atau mengatakan bahwa banyak pesepeda motor yang tidak disiplin dan memaksakan diri kurang memanfaatkan rest area sehingga kelelahan. Prakarsa masyarakat dengan memfasilitasi mudik bareng dengan bus atau menggunakan KRI untuk angkutan laut tentu patut diapresiasi, namun ini jelas jauh dari cukup.
Menurut saya, yang perlu dicatat adalah risiko mati yang dibawa oleh sepeda motor tidak hanya terjadi di jalan, tetapi juga disebabkan gaya hidup yang semakin pasif secara fisik. Orang, terutama anak muda, semakin malas berjalan kaki atau naik sepeda. Ditambah dengan merokok dan pola makan yang buruk, penyakit tak menular semacam hipertensi, diabetes, asam urat, gagal ginjal, atau kegemukan mulai melanda anak-anak muda. Biaya yang timbul untuk menangani penyakit ini sudah mencapai puluhan triliun rupiah. Itu belum termasuk kerugian dari produktivitas yang turun karena tak bisa bekerja.
Jadi, dari segi pilihan kebijakan, layanan angkutan umum yang aman, ajek, nyaman, berjangkauan luas, dan murah akan mengurangi penggunaan sepeda motor sekaligus mendorong transit yang lebih banyak. Ini berarti angkutan umum akan mendorong masyarakat untuk hidup lebih sehat dengan lebih banyak berjalan kaki atau bersepeda.
Jika kita menginginkan praktik bernegara yang Pancasilais, itu bisa dimulai dengan memprioritaskan angkutan umum masal bagi masyarakat. Penjajahan sepeda motor dan mobil (impor lagi!) dalam mobilitas kita harus segera diakhiri. Migrasi dari angkutan pribadi ke angkutan umum ini harus segera dilakukan, tidak bisa ditunda-tunda lagi dengan alasan apa pun. Jika tidak, kita harus berlatih untuk menjadi bebal agar ratusan jiwa yang mati di jalan-jalan itu hanya angka statistik belaka dan kita pun akan mati rasa. Astaghfirullah. ●
Sesat pikir itu dimulai saat angkutan umum ditelantarkan demi kejayaan angkutan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor. Pertumbuhan jumlah sepeda motor baru di kawasan Gerbang Kertosusila pada beberapa tahun terakhir sudah mencapai 1.200 unit per hari. Jumlah mobil sendiri mencapai seratus unit lebih per hari.
Iklan sepeda motor sangat gencar di berbagai media, kadang-kadang dibungkus dengan talk show tentang safety riding, bahkan defensive riding. Targetnya, anak-anak muda. Sudah saatnya industri sepeda motor dimintai tanggung jawab.
Tak Butuh BBM Murah
Khusus untuk wong cilik, sepeda motor dianggap sebagai penolong mobilitas mereka. Ironisnya, pada saat yang sama, angkutan umum justru semakin ditelantarkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Pengguna angkutan umum dari tahun ke tahun semakin turun dan kondisinya bak hidup segan mati tak mau. Ketergantungan masyarakat bawah pada sepeda motor sudah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan. Namun, wong cilik ini tidak punya pilihan banyak.
Jika tidak dilakukan langkah-langkah yang drastis untuk mengembangkan angkutan umum, bisa dipastikan jalan-jalan kita saat mudik 2013 akan menjadi ladang pembantaian. Lebih masal dan lebih brutal. Kemacetan akan semakin melumpuhkan banyak kawasan.
Untuk mudik tahun ini saja, perjalanan bermobil dari Surabaya ke Solo butuh waktu lebih dari 12 jam, padahal pada hari biasa cukup lima atau enam jam saja. Bisa dibayangkan pemborosan BBM saat mudik yang diwarnai kemacetan di jalur-jalur utama, termasuk Surabaya-Malang atau Semarang-Solo. Luar biasa.
Insentif atau keterpaksaan penggunaan sepeda motor untuk mudik harus dihilangkan dengan penyediaan angkutan umum jauh hari sebelum Lebaran. Penggunaan angkutan umum harus dibiasakan sebagai alat mobilitas sehari-hari. Pengembangan angkutan umum perkotaan memerlukan dukungan sarana transit (mobilitas metabolik dengan energi tubuh) yang memadai agar mobilitas dari rumah ke halte atau stasiun terdekat cukup nyaman, baik dengan berjalan kaki ataupun bersepeda. Dibutuhkan trotoar yang lebih lebar dan nyaman untuk pejalan kaki dan jalur sepeda serta sarana park-n-ride bagi para bikers ini.
Pengembangan trem listrik bisa menjadi opsi yang menarik ataupun modifikasinya berupa kereta kelinci yang sering kita lihat di beberapa sudut kota. Untuk antarkota, perlu pengembangan prasarana dan sarana bus maupun kereta api dengan jangkauan luas, termasuk komuter.
Biaya pengembangan prasarana dan sarana angkutan umum tersebut dapat diambil dari realokasi subsidi BBM. Masyarakat sejatinya tidak membutuhkan BBM murah, tetapi membutuhkan layanan mobilitas yang aman, nyaman, dan murah.
Tak Bisa Ditunda!
Kita bisa saja mengatakan bahwa mati itu urusan Tuhan, tetapi ini pernyataan yang ngawur dan tidak pantas dinyatakan oleh pembuat kebijakan. Atau mengatakan bahwa banyak pesepeda motor yang tidak disiplin dan memaksakan diri kurang memanfaatkan rest area sehingga kelelahan. Prakarsa masyarakat dengan memfasilitasi mudik bareng dengan bus atau menggunakan KRI untuk angkutan laut tentu patut diapresiasi, namun ini jelas jauh dari cukup.
Menurut saya, yang perlu dicatat adalah risiko mati yang dibawa oleh sepeda motor tidak hanya terjadi di jalan, tetapi juga disebabkan gaya hidup yang semakin pasif secara fisik. Orang, terutama anak muda, semakin malas berjalan kaki atau naik sepeda. Ditambah dengan merokok dan pola makan yang buruk, penyakit tak menular semacam hipertensi, diabetes, asam urat, gagal ginjal, atau kegemukan mulai melanda anak-anak muda. Biaya yang timbul untuk menangani penyakit ini sudah mencapai puluhan triliun rupiah. Itu belum termasuk kerugian dari produktivitas yang turun karena tak bisa bekerja.
Jadi, dari segi pilihan kebijakan, layanan angkutan umum yang aman, ajek, nyaman, berjangkauan luas, dan murah akan mengurangi penggunaan sepeda motor sekaligus mendorong transit yang lebih banyak. Ini berarti angkutan umum akan mendorong masyarakat untuk hidup lebih sehat dengan lebih banyak berjalan kaki atau bersepeda.
Jika kita menginginkan praktik bernegara yang Pancasilais, itu bisa dimulai dengan memprioritaskan angkutan umum masal bagi masyarakat. Penjajahan sepeda motor dan mobil (impor lagi!) dalam mobilitas kita harus segera diakhiri. Migrasi dari angkutan pribadi ke angkutan umum ini harus segera dilakukan, tidak bisa ditunda-tunda lagi dengan alasan apa pun. Jika tidak, kita harus berlatih untuk menjadi bebal agar ratusan jiwa yang mati di jalan-jalan itu hanya angka statistik belaka dan kita pun akan mati rasa. Astaghfirullah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar