Mengapa
Tajul Menjadi Tersangka?
Muhammad Ja’far, Pengasuh
http://www.TIMUR-TENGAH.COM
SUMBER
: KORAN TEMPO, 24 April 2012
Ustad
Tajul Muluk, pemimpin sebuah pesantren Syiah di Sampang, Madura, ditetap kan
sebagai tersangka dan mulai menjalani persidangan. Tajul dituduh melanggar
Pasal 156a jo Pasal 3356 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penodaan
agama dan perbuatan tidak menyenangkan. Keputusan ini sangat membingungkan,
mengingat sebenarnya Tajul justru korban sebuah tindakan anarkistis. Saat itu,
29 Desember 2011, pesantren milik Tajul dibakar oleh sekelompok orang. Namun
proses hukum justru menghasilkan sebuah kesimpulan yang sebaliknya: menetapkan
Tajul sebagai tersangka.
Apa
yang dialami oleh Tajul secara personal ataupun Syiah sebagai salah satu elemen
Islam Indonesia melanjutkan preseden buruk harmoni kehidupan beragama di negeri
ini, termasuk di kalangan internal umat Islam sendiri. Jika fenomena serupa ini
dijadikan indikasi terjadinya krisis dalam kehidupan beragama di Indonesia,
berarti ini juga menjadi indikator pada tingkat kebangsaan dan kenegaraan
secara umum.
Sinkron
Idealnya,
negara dan agama seiring sejalan. Dalam pengertian bahwa, di satu sisi, negara
memberikan proteksi dan jaminan payung hukum kepada umat beragama untuk
menganut dan menjalankan praktek keyakinannya. Ini teraktualisasi dalam
undang-undang dan regulasi yang mengatur soal kehidupan beragama di Indonesia.
Di sisi lain, agama, termasuk Islam Indonesia, memikul tanggung jawab untuk
menyelaraskan seluruh konsepsi dan praktek keagamaannya, sehingga tidak
melanggar konstitusi serta regulasi yang ditetapkan negara. Apa yang disebut
dengan fatwa, mekanisme pelahiran sebuah hukum baru dalam Islam, berada dalam
kerangka ini.
Kondisi
inilah yang disebut dengan sinkronisasi hukum negara dan konsepsi ajaran serta
praktek keagamaan. Tapi fenomena yang terjadi pada Tajul dan Syiah tidak berada
dalam kerangka hubungan tersebut. Indikasinya terlihat dari beberapa fakta yang
penuh paradoks berikut ini.
Pertama,
massa yang merusak pesantren Tajul mendasarkan tindakannya pada tuduhan sesat
terhadap Syiah. Referensinya adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia Sampang.
Dalam perspektif hukum negara Indonesia, segala bentuk tindakan kekerasan seperti
itu tidak dibenarkan. Sebab, otoritas untuk menjatuhkan sanksi dan mengambil
tindakan hukum terkait dengan persoalan keagamaan ada di tangan negara, bukan
pada hukum dan otoritas keagamaan. Apalagi fatwa yang menjadi basis legitimasi
tindakan anarkistis masih penuh kontroversi dan sangat lemah validitasnya.
Kedua,
dilihat dalam perspektif konsepsi keislaman, fatwa sesat yang dikeluarkan MUI
Sampang tersebut tidak relevan. Dasar logika penyesatan Syiah sangat lemah.
Pada tingkat global, tidak ada satu pun elemen keislaman yang mengeluarkan
fatwa sesat terhadap Syiah, termasuk Organisasi Konferensi Islam. Demikian juga
pada tingkat nasional. Baik MUI pusat maupun elemen keislaman lainnya
(Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan sebagainya) mengakui Syiah sebagai bagian
dari Islam. Jika tuduhan “penodaan agama“terhadap Tajul bertopang pada fatwa
yang sangat lemah legitimasi keislamannya ini, tentu menjadi sangat ironis.
Hukum negara bukan hanya tidak lagi menjalankan fungsi proteksinya, tapi juga
terkooptasi oleh sebuah pandangan keislaman yang lemah legitimasinya.
Korban Jadi Tersangka
Dua
hal itulah yang melatari lahirnya ironi hukum pada Tajul. Korban yang dijatuhi
tuduhan sebagai tersangka. Baik dilihat dalam perspektif hukum negara maupun
Islam, keputusan tersebut lemah legitimasinya. Terjadi pengambilan keputusan
secara parsial, berdasarkan pertimbangan legal formal yang bersifat “lokal“. Akibatnya,
validitas keputusan tersebut paradoks dengan klausul legal formal yang secara
“struktural“ berada di atasnya.
Keputusan
hukum pada tingkat lokal Provinsi Jawa Timur bertentangan dengan spirit
konstitusi negara ini, yang secara eksplisit berdiri di atas prinsip jaminan
kebebasan dan toleransi beragama. Sementara itu, keputusan MUI Sampang sendiri,
dilihat dari perspektif konsepsi keislaman, secara nyata bertolak belakang
dengan fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas keislaman “di atasnya“. Jadi
keputusan hukum terhadap Tajul mengindikasikan terjadinya delegitimasi terhadap
spirit dan klausul hukum yang secara struktural berada “di atasnya“.
Status
hukum yang diputuskan bagi Tajul ataupun fatwa MUI Sampang terhadap Syiah
tersebut perlahan bisa menciptakan persepsi yang keliru dalam kesadaran
keislaman masyarakat Jawa Timur. Kognisi masyarakat tentang Islam Syiah secara
tidak langsung akan terdegradasi pada wilayah negatif dan peyoratif. Keputusan
hukum dan fatwa tersebut, oleh sebagian kelompok muslimin, akan “dicerna“dan
dijadikan parameter dalam mempersepsikan Syiah. Kondisi kognisi kemasyarakatan
yang tidak berada pada “jalur“yang tepat ini pada akhirnya rentan dimanfaatkan
oleh pihak tertentu untuk pencapaian tujuan tertentu yang bersifat sektarian.
Keputusan
ini ibarat bom waktu yang bisa meledak lagi kapan saja, di tempat yang sama
ataupun berbeda. Absennya spirit keadilan pada putusan hukum terhadap Tajul
tersebut menunjukkan tidak berjalannya fungsi negara sebagai pelindung
kehidupan beragama. Malah sebaliknya, perangkat hukum telah menjadi basis legal
formal, yang menempatkan seorang korban menjadi tersangka. Pada saat yang sama,
konsepsi keislaman (fatwa) tidak ditempatkan secara proporsional sebagai media
pemersatu umat dan pencipta perdamaian. Sebaliknya juga, fatwa menjadi medium
pemecah belah ukhuwah Islamiyah dan pemantik api curiga di antara sesama
muslimin.
Padahal,
secara historis, Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki iklim
kehidupan keislaman yang sangat harmonis di tengah keragaman pandangan dan
kelompok yang ada. Ini tak lepas dari spirit Islam kultural NU yang memiliki
akar kuat di wilayah tersebut. Ironi hukum yang menimpa Tajul bisa menjadi
preseden buruk sekaligus mengancam tatanan kultur harmoni keislaman yang telah
tertanam kuat di Jawa Timur.
Negara dan
agama idealnya berada dalam sebuah spirit yang sama: toleransi dalam keragaman.
Demikian juga dengan umat Islam Indonesia. Islam mengajarkan agar penganut
bertoleransi terhadap penganut agama yang berbeda. Apalagi sesama muslimin.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar