BBS sebagai
‘Kampus Alternatif’
Andri Andrianto, Pegiat di Mozaik Institute Yogyakarta,
Menulis di Berbagai Media
Menulis di Berbagai Media
SUMBER
: SUARA KARYA, 24 April 2012
Maraknya Biro Bimbingan Skripsi (BBS) di beberapa kota merupakan
tantangan serius bagi eksistensi kampus atau perguruan-perguruan tinggi yang
ada. Pasalnya, BBS telah menjadi "kampus alternatif" bagi mahasiswa
akhir yang ingin menuntaskan skripsi. Tak pelak, BBS secara tak langsung
mengganti peran perguruan tinggi (PT) lewat jasa pembuatan skripsi yang
ditawarkan.
Keberadaan BBS di tengah dinamika pendidikan di Tanah Air tak
dapat dipandang sebagai fenomena biasa. Apalagi, kita tahu jasa pembuatan
skripsi begitu mudah ditemukan melalui jaringan teman, iklan promosi yang
dipasang di jalan-jalan, atau lewat jasa iklan media massa. Itu artinya,
fenomena BBS tidak dapat diabaikan pihak perguruan tinggi. Terlebih, ketika
buku Academics Underground (2011) dengan gamblang membeberkan data sedemikian
banyaknya mahasiswa menggunakan BBS dalam proses pembuatan skripsi.
Dalam pada itu, dengan membanjirnya BBS, hal ini menjadi momentum
penting untuk melihat dan merefleksikan secara kritis bagaimana sejatinya pola
pembuatan skripsi yang ada di kampus. Apakah ada yang keliru dari sistem
birokrasi yang diterapkan PT dalam membimbing skripsi mahasiswa selama ini? Di
samping itu, mungkinkah pula timbulnya BBS karena arogansi dosen pembimbing?
Atau, boleh jadi, BBS marak akibat kemalasan mahasiswa?
Perhatian Serius
Ada banyak faktor internal kampus yang perlu dibenahi terkait
dengan pembuatan skripsi mahasiswa.
Pertama, masalah birokrasi kampus. Ada idiom yang berkembang di
kalangan mahasiswa, membuat skripsi itu mudah, sedangkan yang membuat rumit
adalah birokrasinya.
Ketika proses pembuatan skripsi mahasiswa dihadapkan pada masalah
birokrasi kampus yang njelimet. Sebagai contoh, soal style dosen pembimbing
yang menetapkan standar bimbingan selama 6-8 bulan, waktu yang cukup lama bagi
mahasiswa. Belum lagi, jika ada dosen pembimbing yang susah untuk ditemui
karena alasan sibuk. Ini, kita belum berbicara mengenai dosen pembimbing yang
tak humanis dengan peserta didik.
Hal-hal macam itu tak pernah ditemukan mahasiswa ketika mengikuti
bimbingan di BBS. Pendekatan yang dibangun para penyedia jasa skripsi terhadap
kliennya begitu humanis. Nuansa kekeluargaan dikonstruksi sedemikian rupa dari
pihak BBS kepada mahasiswa. Mulai dari jadual pertemuan yang mudah, hingga
pembuatan skripsi yang tak rumit dengan waktu yang relatif jauh lebih cepat
dibandingkan dengan waktu yang diterapkan para dosen pembimbing di kampus.
Untuk membuat sebuah skripsi di BBS, tidak dibutuhkan waktu hingga
berbulan-bulan yang sangat menyita waktu, tenaga dan pikiran mahasiswa.
Begitulah pola yang dikembangkan di lembaga-lembaga BBS.
Pertanyaannya, dapatkah kampus mengembangkan pola yang sama meski tak serupa
seperti yang dilakukan BBS dalam membimbing skripsi mahasiswa? Sebut saja,
terkait mulai dari pendekatan yang baik antara dosen pembimbing dengan
mahasiswa hingga waktu yang tak begitu lama dalam proses pembuatan skripsi.
Dalam hal ini, bukan berarti kita menafikan proses yang dijalankan
di kampus. Namun, kita dapat mengambil manfaat positif dari BBS yang kini
diminati mahasiswa ini. Khususnya, tentang cara-cara membimbing mahasiswa
dengan pendekatan kekeluargaan yang sudah barang tentu akan lebih diminati
mahasiswa. Tidak ada salahnya, pendekatan harmanis macam ini perlu diciptakan
oleh dosen pembimbing dengan mahasiswa. Selain itu, standar normatif waktu pun
dapat dikompromikan di BBS.
Kedua, rendahnya tradisi menulis di kalangan civitas akademika
adalah masalah signifikan dalam proses belajar-mengajar di perguruan tinggi.
Hal ini juga memberikan efek domino mengapa BBS kian digemari mahasiswa.
Belum lagi, manakala mahasiswa dituntut untuk dapat membuat
skripsi yang bermutu dan berkualitas dari sisi analisisnya, sementara mereka
belum dibekali dengan skill menulis yang baik dari dosen. Salah satu kelemahan
belajar di perguruan tinggi, sarana maupun prasarana penunjang belajar menulis
tak disedikan oleh pihak kampus.
Dalam kondisi seperti itu, mahasiswa tentu kesulitan membuat
skripsi berdasarkan standarisasi dosen pembimbing yang biasanya cukup tinggi.
Bagaimana mungkin, dengan skill menulis yang pas-pasan, mahasiswa dituntut
untuk menghasilkan karya skripsi dengan teknik penulisan yang baik?
Maka, diusulkan selayaknya PT yang memberlakukan skripsi sebagai
tes akhir mahasiswa dengan menyedikan laboratorium penulisan bagi mahasiswa. Di
tempat ini, mahasiswa dibekali dengan pembelajaran tulis-menulis, termasuk
menulis skripsi. Dengan demikian, mahasiswa tidak canggung lagi manakala
ditugasi untuk menulis skripsi pada semester akhir.
Selain itu, berkembangnya BBS akibat problem cara berpikir dan
semangat juang mahasiswa yang tampaknya kini semakin menurun. Di ranah
berpikir, mahasiswa terjebak pada pola pikir instan. Alhasil, ia pun
mengabaikan proses yang berjalan di kampus. Mahasiswa ingin cepat lulus, namun
tak mau bekerja keras dan bersusah payah membuat skripsi telah mnjadi fenomena
tersendiri. Akhirnya, jalan pintas ditempuh. BBS menjadi alternatif meski nilai
kejujuran intelektual digadaikan.
Itulah, beberapa tantangan yang perlu diperhatikan secara serius
oleh perguruan-perguruan tinggi kita menyusul maraknya BBS. Ini penting,
mengingat BBS telah menjadi virus yang bisa menjerumuskan kaum intelektual
kita. Keberadaan BBS mengakibatkan kejujuran ilmu pengetahuan runtuh di
kalangan civitas akademika yang menjadi tumpuan harapan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar