Histeria
Geng Motor
Rihadini Pudjo, Psikiater Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD)
Amino Gondohutomo Semarang
SUMBER
: SUARA MERDEKA, 24 April 2012
ULAH anggota geng motor kembali membawa
korban. Polisi belum bisa mengungkap tuntas kasus di Jakarta itu, termasuk
latar belakang kejiwaan pelakunya, kini aksi serupa terjadi di Semarang (SM,
23/04/12).
Kekerasan di jalanan dalam beragam bentuknya
bisa kita saksikan tiap hari di kota-kota metropolitan, dengan kondisi
transportasi yang padat dan kemacetan lalu lintas yang membuat gerah. Termasuk
suasana kehidupan urban yang kompetitif, bersaing untuk mempertahankan harga
diri antarindividu, bahkan persaingan status antarkelompok, semacam geng motor,
terlepas dari motifnya.
Suatu konflik yang tak kunjung selesai,
menjalar ke kota-kota besar, dan menelan korban jiwa atau material, serta
meninggalkan trauma psikologis. Kita bisa berkaca pada kasus AMN (13), yang
tega menusuk Syaiful Munif, temannya murid SD Negeri 1 Cinere Depok Jabar, pada
16 Februari 2012. Pelaku merasa terancam ketika Syaiful mengatakan akan melapor
ke polisi bila AMN tidak mengembalikan ponsel yang dicurinya.
Esoknya, pelaku menjemput Syaiful berangkat
sekolah, dalam perjalanan ia menusuknya dan membiarkan korban terkapar di got
hingga ada satpam melihatnya. Korban yang mendapat delapan tusukan segera
dibawa ke Rumah Sakit Prima Husada yang kemudian merujuknya ke Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta Selatan.
Terungkap, perbuatan pelaku dilatarbelakangi
trauma perlakuan tidak wajar dari keluarganya, dan dipicu ancaman korban.
Pelaku yang merasa terancam menyalurkan bentuk yang menyakitkan itu pada
sesuatu yang benar-benar mengancamnya. Penyidikan mengungkap kehidupan pelaku
setelah orangnya bercerai dan ia tinggal bersama kakak lelakinya yang sudah berkeluarga.
Pelaku kerap diminta menjaga anak kakaknya,
dan bila ada yang salah dalam menjaga keponakannya itu maka ipar perempuannya
mengadu ke suami, yang juga kakak pelaku. Sang kakak ternyata sering
menyalahkan, menendang, dan memukuli, dan pola asuh otoriter itu menimbulkan
trauma psikologis dalam jiwa rentan si pelaku.
Respons
Emosional
Trauma itu menimbulkan disekuilibrium
psikologis yang bisa memicu berbagai respons emosional berat, seperti pada traumatic stress disorder. Respons
secara normal biasanya gejala distress, ditandai pusing, rasa nyeri, sakit
kepala, kelelahan, sakit perut disertai amarah, takut, atau depresi. Ada
pendapat tahapan ini adalah reaksi normal, tetapi dapat bertransformasi menjadi
gangguan psikiatrik.
Transformasi ini tergantung pada dua variabel
utama, yaitu faktor individual dan dukungan sosial. Tiap individu mempunyai
kualitas dan ciri atas nilai-nilai yang dapat berperan sebagai kekuatan
menghadapi persoalan dan trauma. Namun bila tidak mampu menghadapi tekanan, hal
itu bisa menjadi gangguan jiwa. Salah satu bentuknya serta paling banyak
dan angkanya terus meningkat adalah skizofrenia.
Gambaran mengenai pengalaman traumatik pasien
skizofrenia menunjukkan adanya lima tema yang muncul, yaitu cita-cita dan
keinginan tidak tercapai; kegagalan; kehilangan orang yang dicintai; kehilangan
pekerjaan; orang tua galak atau pola asuh yang otoriter; serta mendapat tindak
kekerasan termasuk kebrutalan di/ dari lingkungan sekitar.
Terungkapnya pengalaman itu, memberi
informasi bagi tim medis, psikolog, dan dokter psikiatri (psikiater) untuk
mencegah dan mengatasi meningkatnya jumlah pasien skizofrenia, khususnya akibat
pengalaman traumatik yang bisa menjadi pencetus terjadinya kekerasan,
sebagaimana dimanifestasikan dalam aksi geng motor.
Peran psikiater sangat berarti dalam proses
penyembuhan sehingga angka skizofrenia dapat ditekan seminimal mungkin. Namun
yang lebih penting adalah dukungan sosial, artinya butuh peran keluarga dan
lingkungan guna memulihkan kejiwaannya. Tanpa dukungan sosial, kondisi stres
sebelumnya bisa berkembang menjadi patologis, yang efeknya mengganggu
lingkungan dan masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar