Krisis
Keuangan dan Hukum
Indriyanto Seno Adji, Guru
Besar Hukum Pidana;
Pengajar Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum
FHUI
SUMBER
: KOMPAS, 24 April 2012
Panitia seleksi pemilihan komisioner Otoritas
Jasa Keuangan telah menyerahkan calon komisioner kepada Presiden untuk
diteruskan kepada DPR. Komisioner terpilih akan menjalankan institusi OJK
selama masa jabatan lima tahun sesuai amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)—sebagaimana
ditegaskan ekonom dari UGM, Anggito Abimanyu—adalah lembaga otoritas yang
dibentuk dari integrasi dua lembaga besar: Bank Indonesia (dalam hal ini
Direktorat Pengatur dan Pengawas Perbankan) serta Kementerian Keuangan (dalam
hal ini Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan). Tujuannya mengatur dan
mengawasi lembaga keuangan sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan
efektivitas koordinasi semua sektor jasa keuangan.
Namun, diakui, tujuan integrasi lembaga jasa
keuangan ini menimbulkan kendala diferensial dilihat dari sisi formulasinya.
Perbankan dan lembaga keuangan menekankan pada pendekatan prudensial
(kehati-hatian), sedangkan keterbukaan (disclosure) lebih pada sektor pasar
modal. OJK akan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap jasa keuangan
di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain, yang semula berada di lingkup
kewenangan BI dan Kementerian Keuangan.
Salah satu tugas pengaturan dari OJK pada
Pasal 8 huruf (e) adalah menetapkan ”kebijakan” mengenai pelaksanaan tugas OJK.
Pada penjelasan atas pasal ini disebutkan ”cukup jelas”. Berdasarkan pengalaman
implementasi yuridis, suatu pasal yang disebut ”cukup jelas” justru menimbulkan
multi-interpretasi yang semakin tak jelas tentang makna ”kebijakan” itu.
Kebijakan dan Krisis Keuangan
Tugas dari OJK pada Pasal 8 huruf (e) adalah
pengaturan suatu ”kebijakan” yang tentunya dalam kaitan suatu kondisi yang
tidak normal, termasuk krisis keuangan. Sayang sekali definisi ”krisis
keuangan” tidak ditemukan pada Pasal 1 ketentuan umum dari UU OJK ini, walaupun
pada Pasal 45 Ayat (2) diinterpretasikan bahwa adanya potensi atau telah
terjadi krisis pada sistem keuangan adalah masuk dalam kategori ”kondisi tidak
normal” untuk pencegahan dan penanganan krisis .
Tentunya makna ”kebijakan” ataupun ”krisis
keuangan” akan jadi perdebatan tersendiri dilihat dari sisi pendekatan disiplin
ilmu ekonomi dan pengetahuan hukum. Hal ini sudah terbukti saat krisis keuangan
global yang terjadi pada 1997 dan 2008 sehingga bermuara ke pengadilan tindak
pidana korupsi sebagai perbuatan korupsi.
Ada beberapa catatan implementasi yang akan
menjadi tantangan OJK sebagai masalah hukum nantinya dalam kaitan krisis
keuangan. Pertama, pemaknaan ”kebijakan” dalam pemahaman hukum administrasi
negara terdiri atas suatu kebijakan terikat dalam bentuk regulasi tugas dan
kewenangan aparatur negara. Namun, di negara mana pun tidak ada tugas dan
kewenangan aparatur negara akan berhenti manakala ada suatu perbuatan yang
tidak ada pengaturannya.
Dalam hal ini aparatur negara memiliki apa
yang dinamakan ”kebijaksanaan”, suatu discretionary atau beleid yang bebas
dalam menjalankan tugas dan kewenangan tersebut. Diskresioner ini, baik dalam
bentuk lisan maupun tertulis, dikeluarkan dalam kondisi darurat, urgen, bahkan
instan, yang umumnya secara substansial tak sesuai dengan peraturan tertulis.
Karena itu, diskresioner yang abnormal sama sekali tak dapat dinilai atau
diukur dengan produk regulasi dalam keadaan normal.
Karena tidak ada pemahaman makna ”kebijakan”
yang jadi fungsi pengaturan OJK, dikhawatirkan nantinya kebijakan OJK yang
diterbitkan sebagai fungsi pengatur akan menjadi obyek pemeriksaan penegak
hukum sebagai kebijakan yang bernuansa pidana. Kebijakan yang menjadi
kompetensi hukum administrasi negara prinsipnya tidak dapat dijadikan obyek
kriminalisasi. Kendati demikian, apabila kebijakan itu bertentangan dengan asas
umum pemerintahan yang baik berupa asas kecermatan substantif, juga adanya
pelanggaran asas norma tersamar dan asas doelgrichte
(tujuan akhir dikeluarkan diskresi), penyimpangan diskresi itu akan menjadi
kompetensi hukum pidana. Suatu saat, kebijakan akan selalu diputuskan apabila
terjadi krisis keuangan.
Kedua, makna ”krisis keuangan” memang tak
dapat ditemukan secara definitif karena krisis keuangan memiliki pemahaman yang
komprehensif. Pandangan tentang tidak mungkin ditemukannya definisi baku krisis
keuangan dikemukakan pengamat pasar uang, Maria Sutopo, kandidat doktor
Universitas Pelita Harapan. Tentang pasar uang dan krisis keuangan, ia
mengatakan bahwa setiap negara memiliki sistem politik, ekonomi, sosial yang
berbeda sehingga wajar apabila tak ada keseragaman terhadap makna ”krisis
keuangan”. Meski demikian, keseragaman yang ada dan diterima adalah ”krisis
sistemik perbankan” yang justru akan memengaruhi sistem keuangan negara secara
menyeluruh.
Pengaruh dari krisis sistemik perbankan ini
tentunya meliputi dan meluas pada sektor pasar modal, perasuransian, dana
pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain. Jadi, sumber utama
dari krisis keuangan berpulang kembali pada krisis sistemik perbankan.
Pada saat kondisi tak normal, untuk mencegah
dan menangani krisis keuangan sebagai akibat krisis sistemik perbankan, OJK
dapat mengeluarkan kebijakan (diskresioner) untuk memutuskan langkah pencegahan
dan penanganan. Kebijakan aktif atau diskresi ini bersifat darurat, urgen, dan
instan, tak dapat diukur dengan kondisi normal karena diskresi justru
diterbitkan dalam kondisi tak normal.
Sebelum adanya OJK, BI memiliki kebijakan
yang dikenal sebagai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang akhirnya
menimbulkan dualisme pandangan peradilan sebagai kriminal korupsi. Terkait
kebijakan dana talangan senilai Rp 6,7 triliun untuk Bank Century, hingga kini
KPK juga belum memastikan ini kriminal korupsi atau kebijakan administrasi.
Hindari Inefisiensi Birokratis
Ketiga, potensi terjadinya diskresi
bermasalah dalam penanganan krisis keuangan sebagai akibat krisis sistemik
perbankan. Semula, kewenangan berada di satu lembaga BI. Dengan adanya OJK,
penanganan sifatnya menjadi multi-kelembagaan. Bayangkan, dalam kondisi tak
normal di tengah terjadinya kepanikan masyarakat (public rush)—sebagai wujud riil krisis sistemik perbankan—ternyata
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) dapat mengusulkan segera
dilangsungkannya rapat untuk memutuskan langkah pencegahan dan penanganan. Ini
sesuai Pasal 45 dan Pasal 46 UU OJK. Kebijakan FKSSK terkait keuangan negara
ini bahkan wajib mendapat persetujuan DPR (dalam 1 x 24 jam).
Dari pengalaman BI sebagai lembaga tunggal
dalam penanganan krisis keuangan, langkah yang ditempuh ternyata bisa dianggap
bermasalah sebagai kebijakan koruptif, baik ada maupun tidak regulasi yang
menyebutkan ia tak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau
kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sesuai Pasal 45 UU No
3/2004 tentang Perubahan atas UU No 23/1999 tentang BI. Apalagi, dengan
multi-kelembagaan. Dalam kondisi tak normal untuk mengatasi krisis keuangan
sebagai akibat dari krisis sistemik perbankan, seharusnya dihindari rentang
inefisiensi birokrasi kelembagaan yang justru dikhawatirkan berpotensi
menghasilkan diskresi bermasalah yang koruptif! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar