Sulastomo, Koordinator Gerakan Jalan Lurus
SUMBER
: SUARA KARYA, 24 April 2012
Setelah melalui
pembahasan yang alot, RUU Pemilu 2014 akhirnya disahkan menjadi undang-undang.
Sebagaimana diduga, UU Pemilu tidak melahirkan hal-hal baru yang akan mengubah
konstelasi politik pasca-2014. Upaya mengakhiri transisi demokrasi belum akan
terwujud. Penguatan sistem presidensial juga masih akan tersandera.
Pasca-2014 masih diperlukan Setgab Koalisi lagi agar Presiden RI
dapat melaksanakan tugas sampai akhir 2019. Menjelang tahun 2019, kita akan
ribet lagi mempersiapkan UU Pemilu 2019.
Semua dapat dipahami karena semua partai tentu tetap berharap
eksis. Sementara Presiden juga berharap dapat menyelesaikan tugas sampai tahun
2014. Akomodasi berbagai kepentingan politik itu, meski berjangka pendek,
dampaknya masih akan panjang--paling tidak sampai tahun 2019.
Meskipun demikian, semua itu harus kita sadari sebagai keputusan
bersama. Demokrasi memang memerlukan kepiawaian untuk kompromi. Di tangan
partai-partai, kompromi itu wajar sarat dengan kepentingan partai, meskipun
partai itu merupakan representasi kita sebagai pemilih.
Karena itu, kalau berharap ada perubahan, hal itu hanya dapat terlaksana
melalui keputusan rakyat, sebagai hakim di era demokrasi, saat mereka mencoblos
menentukan pilihannya. Mungkinkah harapan seperti itu, meskipun dari aspek
formalitas perundangan kecil kemungkinannya?
Satu hal yang mungkin bisa mengubah konstelasi kepartaian setelah
2014 adalah adanya keyakinan bahwa rakyat makin cerdik. Rakyat mungkin sudah
lebih pandai sehingga mengubah pilihannya.
Berkat keterbukaan, rakyat mungkin sudah mampu membedakan mana
emas dan mana loyang, sehingga tidak tergoda oleh janji-janji yang selama ini
dipercayainya. Partai mana yang konsisten dengan cita-citanya? Tidak sekadar
pragmatis, yang dipercayai bisa mewujudkan harapan rakyat, mewujudkan
kesejahteraan yang berkeadilan sosial, mungkin akan menghasilkan pilihan yang
berbeda, meskipun di atas landasan formal dan perundangan yang sama. Hal ini
terlepas bahwa semua itu belum tentu terwujud, mengingat sifat tradisional yang
masih kuat melekat di antara kita.
Harapan adanya perubahan yang lain adalah bahwa tahun 2014 mungkin
akan muncul muka-muka baru yang memperebutkan jabatan presiden. Muka-muka baru
itulah yang mungkin bisa diharapkan membawa perubahan, tentunya ke arah yang
lebih baik. Kalau tidak, kondisi pasca-2014 akan makin memburuk. Tanggung jawab
kondisi itu sudah tentu berada di tangan pimpinan partai-partai yang mengajukan
calon presiden/wakil presiden.
Belajar dari pilpres waktu lalu, partai-partai harus mampu
mengajukan calon terbaik, yang memiliki akseptabilitas tinggi dan tidak
semata-mata kader partainya. Sebab, pilihan rakyat akan menentukan nasib
Indonesia untuk masa (setidaknya) lima tahun mendatang, sehingga aspek
kepercayaan pada capres/cawapres melampaui kepercayaan pada partainya sendiri.
Hal ini perlu disikapi oleh pimpinan partai politik untuk lebih menonjolkan
sikap kenegarawanannya, sehingga bersedia mencalonkan presiden/wapres yang
terbaik, apabila perlu, di luar kader partainya. Dengan berbagai skenario yang
mungkin saja terjadi, mudah-mudahan ada perubahan pada tahun 2014 ke arah yang
lebih baik, tidak sekadar status quo. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar