Dilema
Widjajono: Antara Akademik dan Birokrasi
Anggito Abimanyu, Dosen
Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Yogyakarta
SUMBER
: REPUBLIKA, 23 April 2012
Indonesia
telah kehilangan seorang ilmuwan energi yang berkelas, akademisi yang bersahaja
dan jujur, Wakil Menteri (Wamen) ESDM, yakni Prof Dr Widjajono Partowidagdo.
Sebelum menjabat sebagai wamen, lelaki kelahiran Magelang ini aktif mengajar di
almamaternya di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Di
institut itu, Widjajono meraih gelar sarjana teknik dari Program Studi Teknik
Perminyakan ITB pada 1975. Kemudian, ia memperoleh gelar Master of Science (MSc) dalam bidang Petroleum Engineering (1980), dilanjutkan MSc di bidang Operation Research (1982), dan MA dalam
bidang Economics (1986) dengan judul
tesis An Energy Economy Model for
Indonesia dari University of Southern California (USC).
Gelar
PhD ia dapatkan dari universitas yang sama pada 1987 setelah merampungkan
disertasi berjudul An Oil and Gas Supply
and Economic Model for Indonesia. Setelah menjabat karier akademik di ITB,
terakhir beliau menjadi anggota Dewan Energi Nasional (DEN).
Perkenalan
saya dengan beliau secara akrab terjadi di berbagai acara talkshow BBM di TV. Pertama kali kami bertemu di Metro TV di sebuah
acara “Kebijakan Ekonomi“ dengan menampilkan mantan wakil presiden Jusuf Kalla,
November tahun lalu. Saya panggil beliau Pak Wid. Pak Wid dan saya bersama yang
lain menjadi pembahas bagi pak JK.
Dalam
acara itu, layaknya seorang akademisi, Pak Wid menyampaikan gagasan kedaulatan
energi. Indonesia dikatakan menghadapi situasi energi yang berubah, dari
produsen menjadi konsumen energi. Yang paling sulit, mengubah mindset
masyarakat dari penghasil jadi importir minyak. Seperti layaknya pengamat, Pak
Wid sepertinya ingin mengoreksi kebijakan pemerintah yang keliru.
Pertemuan
kedua kami terjadi pada acara talkshow
di TVOne. Wamen, saya, dan politikus PDIP Effendi Simbolon membahas rencana
pemerintah membatasi BBM awal 2012. Di acara itu, Pak Wid sepertinya tak
berdaya dibombardir pertanyaan soal pembatasan BBM yang kurang terencana,
khususnya oleh Effendi Simbolon. Anggota DPR itu menyerang rencana pembatasan
konsumsi BBM tanpa persetujuan DPR.
Saya
berusaha menetralisasi situasi dengan mengatakan, klausul pembatasan BBM sudah
ada dalam APBN 2012. Pak Wid dengan berani membela kebijakan pembatasan
meskipun itu kebijakan warisan menteri sebelumnya. Entah karena jujur,
argumentasi Pak Wid mudah dipatahkan.
Pertemuan
saya dan beliau berikutnya dalam talkshow di TVOne bersama mantan menko
perekonomian Kwik Kian Gie sekitar Februari 2012. Pak Wid menjelaskan
karut-marutnya situasi energi kita, ketergantungan minyak, lemahnya investasi
non-BBM, dan ketidakjelasan kebijakan harga BBM.
Kala
itu, Widjajono memastikan, rencana kenaikan harga BBM bakal terealisasi dalam
waktu dekat. Meski masih harus menunggu persetujuan DPR, pemerintah sudah resmi
mengumumkan rencana kenaikan harga BBM ini ke publik.
Menurut
dia, kenaikan harga akan berkisar Rp 500 hingga Rp 2.000 per liter. Memang
mengagetkan ketika menyebut angka itu karena Pak Wid begitu percaya kenaikan
harga sebaiknya adalah Rp 2.000, bukan Rp 1.500 seperti rencana pemerintah
dalam RAPBNP 2012. Beliau punya analisis yang masuk akal, namun sayangnya itu
bukan rencana pemerintah.
Saya
juga sangat setuju dengan itu dan mengingatkan pemerintah agar segera menaikkan
harga BBM jika tidak ingin mengulang kondisi krisis pada 2008. Subsidi itu
salah sasaran serta tak mendorong pemakaian energi alternatif.
Penguasaan BBM
Sebagai
seorang dengan latar belakang energi, Pak Wid paham seluk-beluk teknis energi.
Namun, nilai plusnya, beliau juga berlatar belakang ekonomi, bahkan
disertasinya soal ekonomi energi. Pak Wid selalu menyampaikan alasan kenaikan
harga BBM dengan tujuan ganda. Kenaikan itu baik dari sisi energi dan baik dari
sisi penghematan anggaran.
Pemerintah
akhirnya mengajukan permohonan menaikkan harga BBM sekitar 30 persen dari harga
semula. Bila disetu jui DPR, harga Premium dan Solar akan naik dari Rp 4.500
per liter menjadi Rp 6.000.
Menurut
Pak Wid, kenaikan harga BBM tak bisa lagi dielakkan. Langkah ini untuk
menyelamatkan APBN yang terus defisit. “APBN kita tidak akan kuat untuk terus
menyubsidi. Apalagi, subsidi yang diberikan salah sasaran,“ kata Widjajono.
Pak
Wid juga mendorong kenaikan pada April sebagai waktu yang tepat. Pendapatnya,
saya amini. Pada April, harga barang relatif stabil bahkan cenderung deflasi.
Bila kenaikan BBM tertunda hingga Juni atau Juli, dampaknya sangat besar buat
perekonomian. Pada Juni dan Juli biasanya tingkat inflasi meninggi lantaran
libur dan tahun ajaran baru sekolah.
Sayangnya,
kebijakan itu kandas di sidang paripurna DPR. Namun, Pak Wid tidak berhenti.
Proses edukasi BBM harus terus dijalankan lewat kampus. Beliau mengajak saya
memulai diskusi BBM di kampus dengan menggandeng Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia (ISEI) dan Persatuan Insinyur Indonesia (PII). Gagasan pengendalian
terus disuarakan, apakah itu kebijakan pemerintah atau baru sekadar wacana.
Selama
menjabat sebagai Wamen, Pak Wid dikenal sebagai tokoh yang cukup kontroversial.
Direktur Eksekutif Institute for
Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai almarhum sebagai
seorang yang sering melemparkan wacana ke publik dan ini dinilai baik olehnya.
Banyak
orang berpendapat, wamen ESDM ini sebagai orang yang suka mendobrak tradisi
birokrasi. Itu tentu hal positif. Di sisi lain, dobrakan itu juga bisa
menimbulkan ketidakpastian karena masih digodok internal.
Wacana
terakhir yang dilemparkan almarhum ke publik adalah mengoplos BBM jenis
Pertamax dengan Premium menjadi Premix. Lagi-lagi gagasan ini kandas di
kalangan pemerintah sendiri.
Wacana
yang dilontarkan Widjajono ke publik relatif belum teruji. Langkahnya merupakan
hal bagus. Almarhum berani mengekspresikan suatu wacana menjadi perdebatan
publik. Langkah ini pas karena dengan begitu bisa didapatkan kebijakan publik
yang teruji. “Gagasan publik memang harus
dimulai dengan suatu perdebatan,“ terang Pak Wid.
Dalam
talkshow di Indonesian Lawyers Club, Pak Wid berbisik ke saya. “Mas Anggito, tugas saya menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi dengan situasi energi kita meskipun sangat pahit. Saya ingin
supaya situasi energi dijadikan debat publik dan dicari solusi karena terlalu
berat bagi pemerintah sendiri untuk berpikir.“
Kejujuran
dan keberanian mengungkapkan yang sebenarnya sudah lazim disampaikan di dunia
akademik dalam berbagai seminar. Namun, tidak lazim dilontarkan oleh birokrat,
apalagi setingkat pimpinan menteri dan wakil menteri. Ada anggapan, kebijakan
pemerintah dikeluarkan setelah digodok matang secara internal. DPR juga sering
merasa memiliki hak pertama untuk mengetahui berbagai kebijakan publik.
Pak
Wid sudah memulai tradisi baru mengawinkan pemikiran akademik yang objektif dan
kebijakan yang transparan. Meskipun kontroversial, saya mengapresiasi berbagai
gagasan beliau. Saatnya mendobrak tradisi birokrasi yang kaku, monoton, dan
tidak kreatif. Selamat jalan Pak Widjajono, semoga segala dedikasi, pengabdian,
amal, dan perbuatannya diterima di sisi-Nya. Amin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar