Saldi
dan Pedang Keadilan
Refly Harun ; Praktisi dan Pengajar Hukum Tata Negara,
Mengajar di Program Pascasarjana
UGM
|
KOMPAS, 11 April 2017
Mentari belum lagi terbangun dari balutan malam ketika
sosok yang saya kenal itu tiba-tiba muncul. Sosok dengan potongan rambut sama
dalam belasan tahun itu langsung duduk di samping saya. ”Selasa saya
dilantik, Ref,” kata Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas
Andalas, Padang. Saat itu, Sabtu, 8 April, kami berada di lounge Garuda
menjelang terbang. Saya ke Semarang, Saldi ke kampung halamannya di Padang.
Cuma sebentar kami bercakap. Panggilan memasuki pesawat telah menyapa saya
terlebih dulu.
”Ente tidak boleh lagi panggil saya ’jahanam’. Panggil
nama saja boleh,” protes Saldi di sela obrolan singkat kami. Selama ini,
”jahanam” menjadi panggilan akrab di antara kami bertiga. Selain saya dan
Saldi, juga Zainal Arifin Mochtar, dosen Fakultas Hukum UGM. Banyak orang
kaget ketika kami saling menyapa dengan panggilan itu. Maklum, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, jahanam memiliki makna sangat negatif: terkutuk,
jahat sekali, celaka, binasa, bahkan berarti laut api tempat menyiksa di
akhirat.
Kalau tak ada aral melintang, sahabat saya sejak 16 tahun
terakhir itu dilantik menjadi hakim konstitusi pagi ini di Istana Negara,
menggantikan Patrialis Akbar, yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK,
25 Januari lalu. Patrialis, yang diusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
tanpa proses seleksi, diduga menerima suap dari pihak beperkara. Kasusnya
masih ditangani KPK hingga saat ini.
Sebelum Patrialis, masih belum lekang dari ingatan, Ketua
MK M Akil Mochtar juga terkena OTT pada 2013. Dua kejadian besar itu sangat
mencoreng wibawa MK. Masyarakat seperti sudah kedap terhadap OTT pejabat publik.
Sebelum Patrialis, Ketua DPD Irman Gusman juga terjaring OTT. Dalam latar dan
nuansa inilah Saldi dilantik atau diambil sumpahnya sebagai hakim konstitusi.
MK yang begitu sangat membanggakan pada periode awal
sempat dua kali terpuruk karena tertangkap tangannya dua hakim MK. Kebetulan
dua-duanya berasal dari partai politik. Akil mantan anggota Partai Golkar dan
Patrialis pernah berkiprah di Partai Amanat Nasional (PAN).
Jalan sepi
Tidak mudah meyakinkan Saldi agar mau mendaftar sebagai
hakim konstitusi dari saku presiden. Berkali-kali saya dan mungkin sahabat
dia yang lain harus meyakinkan bahwa inilah saat terbaik untuk mendaftar.
Saya tahu, satu-satunya jabatan publik yang dipikirkan Saldi selama ini
adalah menjadi hakim konstitusi. Namun, ia takut ”kesepian”. Selama ini Saldi
hidup dalam ”kebisingan” tata negara. Sesuai dengan disiplin ilmunya, hukum
tata negara, hampir tidak ada fenomena ketatanegaraan yang lolos dari
tajamnya lisan dan tulisan Saldi, setidaknya dalam 16 tahun terakhir sejak saya
mengenalnya.
Lisan Saldi sangat meyakinkan, pun tulisannya, yang
umumnya lugas dan jelas dalam mengambil posisi. Sudah berderet pejabat publik
di negeri ini yang disemprit lisan dan tulisan Saldi. Tak kurang dari
Presiden Jokowi, antara lain saat Saldi menulis ”Hukum yang Terabaikan”
ketika menyaksikan fenomena bagaimana hukum seperti terpinggirkan dalam era
Presiden Jokowi.
Dengan menjadi hakim konstitusi, Saldi harus menepi dari
hiruk pikuk ketatanegaraan. Meski lidahnya gatal berbicara atau tangannya
rindu menyemburkan energi kritis, Saldi harus diam. Hakim berbicara melalui
putusan, bukan lisan dan tulisan. Posisi Saldi bukan untuk mengkritik,
melainkan mendengarkan, bahkan menerima kritik.
Belum apa-apa saja, di tengah lautan ucapan selamat dan pujian
atas keterpilihannya, anggota Komisi III DPR, Benny K Harman, sudah
mengingatkan Saldi agar bekerja secara independen dan menjaga netralitas.
Benny menuduh Saldi anggota tim sukses Jokowi.
Benny salah. Saya tahu persis Saldi tidak pernah menjadi
tim sukses calon presiden mana pun. Sebagai pakar hukum tata negara, Saldi
memang sering dimintai pendapatnya, termasuk oleh Jokowi, tetapi dia tetap
netral, tidak memihak siapa pun dalam kontestasi Pilpres 2014. Kecenderungan,
kalau boleh dikatakan demikian, mungkin saja ada, tetapi bukan tim sukses.
Dalam mengingatkan Saldi, Benny juga mengkritik perilaku
MK saat ini yang dianggap sudah melenceng dari fungsinya sebagai negatif
legislator. Selama ini MK kerap membuat norma baru dalam menguji
undang-undang, padahal seharusnya hanya menyatakan sebuah UU bertentangan
dengan UUD 1945 atau tidak.
Dalam konteks ini saya lagi-lagi tidak sepakat dengan
Benny. Pengadilan, termasuk MK, sering dihadapkan pada pilihan untuk
menerapkan judicial restraint atau judicial activism. Yang pertama merujuk
pada pengadilan yang sangat membatasi diri. Adapun judicial activism tidak
lain adalah peran aktif pengadilan untuk mencari terobosan-terobosan hukum.
Di negara-negara baru yang proses pembentukan UU-nya
sering diwarnai praktik kongkalikong antaranggota legislatif, atau antara
legislatif dan eksekutif, MK-nya sering harus lebih aktif untuk memotong
pasal-pasal hasil konspirasi tersebut. Tentu saja sepanjang hakim mampu
membebaskan diri dari belitan kepentingan.
Dalam sebuah kesempatan, mantan Ketua MK Mahfud MD
menyatakan, sebagai seorang hakim, dia selalu memiliki stok alasan untuk
membuat suatu kasus harus dimenangkan atau dikalahkan. Sebuah UU yang dibuat
dalam nuansa konspirasi, secara moralitas hukum tak memiliki tempat untuk
terus dipertahankan. MK harus mampu meluruskan hukum yang seperti itu. Dalam
kondisi yang seperti ini, tak haram hakim atau MK lebih condong ke judicial activism.
Kutub kiri-kanan
Sebagai padanan dari debat tak berkesudahan antara judicial restraint dan judicial activism, misalnya mengenai
penafsiran konstitusi, yang tidak lain tugas MK juga. Apakah konstitusi harus
ditafsirkan menurut kehendak pembentuknya atau boleh beyond dari itu.
Yang pertama sering disebut originalism, sedangkan
berikutnya non-originalism. Originalism sering didekat-dekatkan dengan sikap
konservatif, sedangkan non-originalism sering didekatkan dengan sikap liberal
atau ide mengenai konstitusi yang hidup (living
constitution).
Seorang rekan saya pernah dengan bangga menyatakan bahwa
ia termasuk sarjana hukum yang tidak mau dikungkung dengan kerangkeng
konstitusi dalam menafsirkan UUD 1945. Secara tidak sadar sebenarnya ia telah
memilih menjadi penafsir yang non-orisinalis. Tidak heran jika banyak sarjana
hukum memilih menjadi non-orisinalis karena akan ”memudahkan” mereka dalam
menafsirkan konstitusi.
Mereka tidak perlu berkutat untuk mencari makna
sesungguhnya dari ketentuan konstitusi dengan menggali kehendak pembentuknya
(original intent) yang kerap tidak mudah direkonstruksi. Mereka bisa langsung
lompat kepada fenomena kemasyarakatan ketika suatu ketentuan diperdebatkan.
Hingga titik ini, seorang non-orisinalis bisa cepat menjadi populer karena
lebih fleksibel dalam mengakomodasi kehendak masyarakat.
Kendati demikian, beberapa hakim agung AS justru menolak
menjadi populer, seperti Justice (Hugo) Black dan Justice (Antonin) Scalia,
termasuk mantan Chief Justice (William H) Rehnquist yang meninggal dunia pada
2006. Seperti dikatakan Justice Black, banyak yang menginginkan Mahkamah
Agung Amerika menjaga konstitusi agar selalu sesuai dengan semangat zaman
dengan cara mengubah konstitusi (melalui penafsiran). ”For myself, I must
with all deference reject that philosophy. The constitution makers knew the
need for change and frovided for it,” katanya.
Bagi Justice Black, bukan tugas pengadilan untuk meng-up
date ketentuan konstitusi, melainkan tugas wakil-wakil rakyat yang dipilih.
Wakil rakyat itulah yang harus memenuhi aspirasi masyarakat, bukan para
hakim. Untuk itu, konstitusi telah menyediakan jalan untuk mengamandemen
konstitusi. Jalan itulah yang seharusnya digunakan.
Bagi penganut orisinalis, jika konstitusi ditafsirkan
sangat liberal sesuai dengan kehendak zaman (living constitution), tidak akan
ada lagi yang perlu dijaga karena konstitusi akan berubah dengan sendirinya.
Pada titik ini, hakim telah menggantikan tugas legislatif sebagai otoritas
pengubah konstitusi.
Ke mana pedang keadilan Saldi hendak dilabuhkan dari
pilihan-pilihan tersebut? Memilih untuk membatasi diri dan menjadi orisinalis
sehingga pasti akan menjadi konservatif, atau terus melakukan kreasi,
melampaui teks (nonorisinalis) sehingga akan dicap progresif? Apa pun yang
dipilih, konsistensi menjadi hal yang penting. Saldi hanya boleh melayani
keyakinannya, bukan keyakinan orang lain.
Saya berharap banyak kepada Saldi. Mudah-mudahan dia
dimudahkan dalam melaksanakan tugasnya. Dijauhkan dari keterjerembaban hakim
yang digantikannya. Mulai hari ini saya tidak boleh lagi bilang ”jahanam”
karena dia sudah menjadi hakim konstitusi. Selamat pagi, Yang Mulia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar