Siapa
yang akan Menang di DKI Jakarta?
Ikrar Nusa Bhakti ;
Profesor
Riset LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Februari 2017
PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) di DKI Jakarta yang merupakan
bagian dari pilkada serentak di 101 daerah di Indonesia baru saja usai. Dari
hasil hitung cepat berbagai penyelenggaraan survei di Jakarta, hasilnya
hampir sama, yaitu berkisar antara 17% untuk pasangan Agus Harimurti
Yudhoyono-Sylviana Murni, 43% untuk pasangan Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat, dan 40% untuk pasangan Anies Baswedan-Sandiaga
Uno. Ini berarti pilkada di DKI Jakarta akan masuk ke putaran kedua yang akan
diselenggarakan pada 19 April 2017.
Pilkada putaran kedua di DKI Jakarta tentunya akan seru karena
tidak saja head-to-head yang menghadapkan antara Ahok-Djarot dan Anies-Sandi,
tetapi juga memiliki konsekuensi sosial-budaya, politik, ekonomi, dan
keamanan bagi Jakarta dalam lima tahun ke depan. Pertanyaannya kemudian
ialah, pertama, bagaimana dinamika politik di putaran kedua pilkada Jakarta?
Kedua, akankah terjadi pengalihan dukungan dari konstituen koalisi partai,
khususnya pendukung pasangan nomor 1 yang kalah kepada dua paslon yang masuk
putaran kedua? Ke mana suara pendukung Partai Demokrat, PPP, PKB, dan PAN
akan disalurkan? Ketiga, akankah pendekatan primordial dan SARA akan terus
dimainkan di putaran kedua ini? Terakhir, tapi penting, keempat, siapa yang
akan muncul sebagai pemenang pada Pilkada DKI 2017 ini?
Hasil putaran pertama yang menarik
Hasil pilkada di Jakarta putaran pertama sungguh menarik untuk
dibahas. Paslon nomor 1, yang mengawali debutnya dengan cukup baik pada hasil
survei pilkada Jakarta, ternyata mengalami perununan tajam sejak debat publik
pertama sampai ketiga. Paslon petahana nomor 2, yang awalnya tertatih-tatih
merangkak pada perhitungan survei, akhirnya menjadi pemenang pertama yang
memperoleh suara tertinggi, yakni sekitar 43%. Paslon nomor 3, yang awalnya
dipandang sebagai underdog, ternyata bisa menguras suara dukungan dari paslon
1 dan menjadi pemenang kedua pada putaran pertama dengan angka yang cukup
meyakinkan, 40%.
Menurunnya perolehan suara paslon 1 sebenarnya disebabkan oleh
banyak hal. Pertama, hiruk pikuk politik yang disebabkan berbagai cuitan
politik Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono yang juga ayah dari Agus
Harimurti Yudhoyono, merupakan salah satu penyebab menurunnya tingkat
keterpilihan paslon 1. Cuitan-cuitan tersebut menimbulkan kesan politik
negatif, seakan AHY ialah seorang anak yang harus dilindungi dan disokong
terus-menerus oleh ayahnya yang kebetulan pernah menjadi presiden RI selama
10 tahun.
Kedua, tidak seperti paslon nomor 3 yang jelas-jelas mengambil
pangsa pasar kelompok muslim, paslon nomor 1 agak malu-malu dan baru di
masa-masa akhir kampanye menggunakan jargon keislaman seperti pergi umrah dan
tagline#Coblos Jilbabnya. Ketiga, dalam tiga kali debat publik, tampak jelas
betapa AHY lebih menonjolkan hafalan ketimbang lepas bicara dengan
kreativitas politiknya. Keempat, paslon nomor 1 juga kurang didukung data akurat
sehingga Sylviana Murni membuat kesalahan dalam mengkritik pasangan petahana
yang kebetulan kepala daerah/wakil kepala daerah dengan Sylvi menjadi salah
seorang deputinya.
Pasangan petahana amat terpuruk di awal survei akibat politisasi
agama yang dilakukan lawan-lawan politik Ahok akibat apa yang diungkapkannya
di Kepulauan Seribu yang menyebabkannya berhadapan dengan pengadilan. Namun,
hal yang menarik, paslon nomor 2 ini ternyata menang di pilkada putaran 1 di
daerah basis Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan, di TPS yang basis Forum
Betawi Rempuk (FBR) dan di Kepulauan Seribu. Kekuatan paslon nomor 2 bukan
saja karena didukung partai nasionalis besar PDI-P dan Golkar serta NasDem
dan Hanura, melainkan juga oleh kalangan menengah atas dan bawah yang
mengutamakan kebhinneka-tunggalikaan. Paslon nomor 3 bukan saja didukung oleh
PKS dan Gerindra yang solid, tetapi juga oleh kepiawaian Anies Baswedan dalam
memainkan isu agama dan pendekatannya secara fisik dengan FPI yang dulu
dikecamnya, dan kalangan masjid tempat anak-anak muda muslim berkumpul.
Dinamika politik yang menarik
Dinamika politik hari ini sampai 19 April akan sangat menarik.
Apakah akan terjadi lagi salah ucap Ahok yang bisa ‘digoreng’ seakan Ahok
anti-Islam. Pendekatan Islam dan non-Islam merupakan isu utama dan terutama
pada pilkada DKI Jakarta sehingga membelah masyarakat Jakarta antara mereka
yang mendukung kebinekaan dan pendukung paslon muslim. Belajar dari
pengalaman pilkada di DKI Jakarta pada 2007 dan 2012, isu itu juga muncul walau
tak sekuat pada Pilkada 2017 ini.
Pada dua pilkada sebelumnya, kampanye dengan isu Islam ternyata
kurang berpengaruh pada pilkada Jakarta. Namun, kali ini ada isu lain yang
juga mengemuka, yakni isu ras dan golongan. Ahok keturunan Tionghoa yang
sekaligus mewakili golongan menengah atas. Isu kedua ini tampaknya lebih kuat
ketimbang soal agama.
Kita akan menyaksikan ke mana dukungan partai Demokrat, PPP,
PKB, dan PAN. Demokrat ialah partai nasionalis religius yang multiagama.
Terlepas dari cuitan SBY yang keras terhadap pemerintah yang dituduh
mendukung paslon petahana, para pendukung Demokrat tentunya akan terbelah
antara akan mendukung paslon 2 atau paslon 3. PPP, PKB, dan PAN akan penuh
kebimbangan. Di satu pihak mereka ialah partai-partai pendukung pemerintahan
Jokowi-JK, di lain pihak konstituen mereka sebagian besar ialah kalangan
Islam. Di sini akan kita lihat apakah mereka akan segaris dengan PKS dan FPI
yang berarti mendukung paslon 3, atau lebih mengutamakan keislaman mereka
yang moderat yang berarti mendukung paslon 2. Seandainya isu SARA akan tetap
dimainkan pada putaran kedua pilkada Jakarta, ini akan memberikan keuntungan
bagi paslon nomor dua. Mengapa demikian? Jawabnya ialah, pertama, Jakarta
ialah ibu kota negara, kota metropolitan, dan kota internasional. Warga
Jakarta, seperti pada Pilkada Jakarta 2007 dan 2012, tentunya ingin menjaga
ketenangan dan kenyamanan hidup. Mereka yang tadinya menjadi pendukung paslon
1 atau 3 yang tidak kuat warna keislamannya, tentunya akan berpikir dua kali
untuk memilih paslon 3 yang didukung kuat oleh FPI.
Ini bukan persoalan ketakutan pada Islam, melainkan masih
khawatir pada politik Islam macam apa yang akan dikembangkan di Jakarta ke
depan. Faktor FPI bukan lagi sebagai aset, melainkan liabilitas, terbukti
dengan menangnya paslon nomor 2 di basis kekuatan FPI di Petamburan.
Konstituen tentunya akan berpikir bahwa FPI yang sudah menjadi salah satu
pendukung kuat paslon 3, akan meminta bagian kue kekuasaan karena mereka ikut
andil besar atau memiliki saham politik bagi kemenangan Anies-Sandi, terlepas
persepsi FPI belum tentu benar.
Siapa yang akan menang?
Jika aspek kebinekaan lebih menonjol ketimbang faktor agama,
pasangan petahana akan memenangi pilkada Jakarta putaran 2. PDI-P, Golkar,
NasDem, Hanura, dan PPP versi Djan Farid tentunya akan kerja keras unuk
memenangkan Ahok-Djarot. Kelompok anak-anak muda, kelompok miskin kota dan
kelompok menengah dan atas, tentunya akan semakin mendukung paslon petahana
karena sudah terbukti berhasil mengubah Jakarta menjadi lebih nyaman bagi
semua warganya dari golongan dan agama apa pun.
Mereka yang tidak terdaftar atau tidak bisa memberikan suaranya
pada pilkada hari ini, tentunya akan berusaha untuk dapat memberikan suaranya
pada 19 April nanti. Dua puluh lima persen warga yang tidak memberikan
suaranya hari ini tentunya akan berupaya keras untuk tidak golput pada 19
April karena ini akan menentukan masa depan mereka di Jakarta. Jika aspek
keislaman yang lebih mengemuka, pasangan Anies-Sandi yang akan menang. PKS
tentunya akan berjuang keras untuk memenangkan paslon 3 karena PKS pernah gagal
pada Pilkada Jakarta 2007 khususnya. Gerindra juga akan bertempur keras untuk
membalas kebengalan Ahok yang dulu kader partainya. Petanyaannya ialah sudah
siapkah warga Jakarta untuk memiliki pemimpin yang menonjolkan agama
tertentu? Pertanyaan ini baru akan (terjawab?) pada 19 April mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar