Partai
Politik dan Konstitusi
M Alfan Alfian ;
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional;
Anggota Lembaga Pengkajian MPR-RI
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Februari 2017
KITA
tengah berada di era partai-partai politik menganut sistem multipartai dengan
aneka peran kepolitikan mereka. Peran partai-partai dalam kehidupan demokrasi
kita hampir dominan. Partai berhak menjadi peserta pemilu legislatif,
pilkada, ataupun pilpres. Partai juga berperan penting dalam aneka proses
politik di lembaga legislatif, pemerintahan, dan lainnya.
Presiden
yang proses pemilihannya melalui pemilihan langsung pun mau tak mau harus
punya manajemen yang akomodatif terhadap partai-partai. Nyaris kehidupan
politik kita tak lepas dari peran dan pengaruh partai-partai. Tak berlebihan
kiranya jantung kehidupan politik kita terletak di partai politik, justru
karena dia dipercaya untuk menjadi lembaga formal dalam berpolitik.
Namun,
apabila kita cek pasal-pasal dalam konstitusi kita, UUD NRI Tahun 1945,
partai politik tak dibahas khusus, melainkan dalam pasal-pasal terpencar.
Kata ‘partai politik’ hanya ada empat saja. Pertama, di pasal 6A ayat (2)
‘Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum’. Kedua di pasal 8 ayat (3) ‘Jika presiden dan wakil presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah menteri
luar negeri, menteri dalam negeri, dan menteri pertahanan secara
bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, MPR
menyelenggarakan sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari dua
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh parpol atau
gabungan parpol yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih
suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai
berakhir masa jabatannya’.
Ketiga
di pasal 22E ayat (3), ‘Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan
anggota DPRD adalah parpol’. Keempat di pasal 24C (1), ‘Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum’.
Tampaklah
bahwa konstitusi tak mengatur masalah-masalah penting partai, kecuali diatur
leluasa para politikus yang notabena elite partai di parlemen dan
pemerintahan sebagai pembuat perundang-undangan. Dasar hukum partai politik
memang lebih merujuk pada perundang-undangan. Dokumen pertama kali yang
penting ialah Maklumat Wakil Presiden Muhammad Hatta No X (16 Oktober 1945)
tentang penegasan pentingnya peran KNIP dan, terutama Maklumat 3 November
1945 yang berisi pengumuman pemerintah yang mendorong pembentukan
partai-partai politik.
Pada
era demokrasi terpimpin, dokumen-dokumen pentingnya ialah UU No 7 Pnps Tahun
1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian, dan UU No 13 Tahun
1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-Partai. Pada masa
Orde Baru terdapat UU No 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan
Karya. Lalu disempurnakan lagi menjadi UU No 3 Tahun 1985 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Pada era reformasi sejak 1998, perundang-undangan partai politik terus
berubah menjelang pemilu legislatif. Dokumen-dokumennya ialah UU No 2 Tahun
1999 tentang Partai Politik, UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU
No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan UU No 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Posisi dan peran
Isu-isu
kepartaian dewasa ini sangat kompleks. Sejumlah kritiknya, antara lain (1)
partai dipandang kurang peka dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat, (2)
terlampau terjerat pada oligarki di lingkaran elite pengurusnya sehingga
gagal menjadi instrumen politik yang kuat tradisi demokrasi internalnya, dan
(3) mengalami deideologisasi yang parah, sekadar tampil sebagai entitas
politik yang ‘superpragmatis’, terutama apabila ditunjukkan dari proses
rekrutmen politiknya, serta (4) lemahnya tradisi transparasi dan akuntabilitas
keuangan.
Isu-isu
tersebut biasanya dikaitkan dengan pelemahan kelembagaan partai politik.
Maka, rekomendasi yang lazim diajukan ialah penguatan kelembagaan
(institusionalisasi) terhadap partai-partai politik. Kita tentu setuju
manakala partai diperkuat kelembagaannya sehingga ia kukuh dan fungsional.
Saya berpendapat masalah partai perlu dipertegas posisi dan perannya dalam
konstitusi. Katakan itu langkah awal penting dalam rangka penguatan partai
secara kelembagaan.
Konsekuensinya,
apabila dimungkinkan perubahan kembali UUD NRI Tahun 1945, perlu
dipertimbangkan penegasan terhadap eksistensi dan peran partai dalam
konstitusi dalam bab tersendiri yang mencakup prinsip-prinsip pokok: (1)
partai politik berbadan hukum publik; (2) dibiayai negara, dapat dibubarkan
apabila tidak mampu mengelola keuangannya secara profesional, dan (3)
menjamin proses demokrasi internal, (4) berwenang dalam kandidasi pemilu
legislatif, pilpres, dan pilkada, serta hal-hal lain yang dipandang perlu
guna mempertegas urgensi dan tanggung jawabnya sebagai lembaga politik yang
penting dalam demokrasi. Semoga tulisan singkat ini mampu menjadi bahan
pemikiran dan dapat ditindaklanjuti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar