Jerat
Hukum Proyek Strategis Jokowi
Bahrul Ilmi Yakup ;
Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi; Ketua Pusat Kajian BUMN; Kandidat Doktor
Ilmu Hukum BUMN FH Universitas Sriwijaya
|
KOMPAS, 14 Februari 2017
Guna
mewujudkan janji kampanye dalam Nawacita, Presiden Joko Widodo mengusung
berbagai megaproyek strategis bidang infrastruktur. Proyek strategis tersebut
akan memakan biaya sangat fantastis, totalnya lebih dari Rp 20.000 triliun. Proyek
tersebut antara lain pembangunan 47 ruas jalan tol, lima ruas jalan trans,
jalan lingkar, jalan layang, 12 ruas rel kereta api, tujuh proyek
infrastruktur kereta api dalam kota, 17 bandara (11 revitalisasi, 4
pembangunan baru, dan 2 pengembangan bandara strategis), 13 pembangunan
ataupun peningkatan kapasitas pelabuhan, pembangunan 1 juta unit rumah,
proyek pembangunan kilang minyak dan pipa gas, infrastruktur energi asal
sampah, pembangunan proyek air minum, tanggul, pos lintas batas negara, dan
sebagainya.
Niat baik
Presiden Jokowi mencanangkan dan mewujudkan proyek strategis tersebut sudah
seharusnya mendapat apresiasi dan dukungan segenap komponen bangsa. Sebab,
berbagai proyek strategis tersebut akan memberikan manfaat berupa
kesejahteraan untuk rakyat, baik dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, kelancaran
transportasi arus barang dan jasa, maupun membuka keterhubungan antar-daerah
yang selama ini masih dirasakan sebagai kendala yang mengungkung rakyat.
Oleh karena
itu, proyek strategis Jokowi haruslah sukses diwujudkan. Kesuksesan proyek
strategis tersebut paling tidak dapat diukur dari dua aspek, yaitu sukses
pelaksanaan dan sukses permasalahan.
Sukses pelaksanaan dan permasalahan
Kendati
menghadapi berbagai kendala, proyek strategis Jokowi sepertinya akan sukses
dalam pelaksanaan. Optimisme demikian paling tidak didasarkan pada dua
alasan. Pertama, pelaksanaan proyek strategis dibatasi dan dikontrol waktu.
Kedua, pelaksanaan proyek tersebut dilakukan oleh BUMN melalui mekanisme
penugasan khusus yang langsung dari
Presiden Jokowi.
Untuk memenuhi
tenggat, pelaksanaan proyek strategis dipantau langsung oleh Presiden Jokowi.
Dan , karena diberi penugasan, BUMN bekerja super keras dan ketat agar target
waktu pelaksanaan yang ditetapkan Presiden Jokowi terpenuhi. BUMN
melaksanakan proyek strategis tersebut dengan mengerahkan semua sumber daya
terbaiknya secara maksimal.
Permasalahan
yang dihadapi proyek strategis Jokowi dapat diuraikan dalam dua dimensi,
yaitu aktual dan mendatang. Berbagai permasalahan aktual seperti masalah
(kekurangan) pembiayaan, pengadaan tanah, dan monopoli pelaksanaan tentunya akan diatasi dan
disiasati dengan berbagai metode solusi dan instrumen instan. Penggunaan
metode solusi dan instrumen instan
tersebut lazimnya (sangat) rentan menjadi permasalahan hukum di masa mendatang
yang akan menjerat para pelaksananya.
Untuk memenuhi
kebutuhan pembiayaan yang sangat besar, proyek strategis Jokowi tentu akan
menyedot APBN, yang biasanya akan dibiayai dengan anggaran tahun jamak,
selain dari pinjaman atau investasi. Dalam konteks ini, apakah skim dan
mekanisme hukum penetapan anggaran tahun jamak atau pinjaman telah dipenuhi
sebagaimana mestinya? Hal demikian sangat perlu menjadi perhatian pemerintah
agar kelak tak menjadi jerat hukum bagi para personalia pemerintah pelaksana
di masa depan. Sebab, kelak secara alami para personalia itu akan menjadi
para mantan pejabat.
Akibat minimnya luncuran pembiayaan dan pembayaran
dari pemerintah melalui APBN tentunya akan memaksa BUMN pelaksana mencari
sumber dana pembiayaan dari berbagai instrumen keuangan. Pencarian dana oleh
BUMN demikian tentunya harus memenuhi skim dan aturan hukum. Hal demikian
penting diperhatikan manajemen BUMN pelaksana agar tidak menjadi jerat hukum
di masa depan. Apalagi BUMN pelaksana sebagian besar berstatus sebagai
perseroan terbuka yang pengambilan keputusannya harus melibatkan pemegang
saham publik.
Dibandingkan
dengan aspek pembiayaan, aspek pengadaan tanah lebih aman dari jerat hukum.
Sebab, pengadaan tanah sudah dipayungi aturan hukum yang jelas dan terukur. Para
pelaksana pekerjaan pembebasan tanah lebih aman dari jerat hukum, kecuali
mereka memang sengaja melakukan penyimpangan atau kecurangan.
Sementara
menyangkut aspek praktik monopoli, pemerintah dan BUMN pelaksana proyek perlu
memahami aspek hukum monopoli. Riak gugatan hukum terhadap pelaksanaan proyek
strategis yang semuanya dilakukan oleh BUMN melalui penugasan pemerintah
sudah muncul dari kalangan pengusaha swasta yang sudah mulai berani
mengungkapkan ketidaknyamanannya secara terbuka.
Dari aspek hubungan
internasional dan transnasional, praktik monopoli BUMN dalam pelaksanaan proyek strategis
Jokowi juga rentan dibawa ke forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) oleh
pelaku usaha baik domestik maupun transnasional. Sebab, praktik monopoli
jelas dilarang oleh aturan WTO yang telah diratifikasi Indonesia.
Belajar dari proyek BLBI, Hambalang, dan KTP-el
Proyek
strategis sering kali muncul menjadi jerat hukum baik pada saat pelaksanaan
maupun di masa mendatang setelah sang presiden atau personalia pelaksana tak
lagi menjabat. Di masa Presiden Megawati Soekarnoputri muncul kasus Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sampai kini masih terus
dipermasalahkan secara hukum. Di masa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono muncul masalah hukum proyek strategis
Hambalang dan KTP-el dengan berbagai dimensinya. Kasus-kasus itu seyogianya
jadi bahan pelajaran yang berharga bagi Presiden Jokowi dalam melaksanakan
proyek strategis yang diusungnya saat ini.
Oleh karena
bobotnya yang masif, mega, dan sifatnya segera, proyek strategis Jokowi
senyatanya belum dipayungi aturan hukum lengkap dan harmonis. Memang,
Presiden Jokowi telah berupaya membuat payung hukum untuk proyek strategisnya
melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan
Proyek Strategis Nasional.
Meski
demikian, pengaturan proyek strategis Jokowi melalui perpres ini belumlah
lengkap dan harmonis dalam kerangka sistem hukum Indonesia. Sebab, norma
Perpres No 3/2016 memuat cukup banyak
norma perintah, yang harus dilaksanakan baik dalam bentuk melengkapi
pengaturan maupun melalui tindakan konkret. Persoalannya, apakah norma
perintah tersebut sudah dilaksanakan sebagaimana original intens pengaturan?
Lebih dari
itu, pengaturan proyek strategis Jokowi melalui Perpres No 3/2016 dalam hierarki perundang-undangan eks Pasal 7
Ayat (1) UU No 12/2011 senyatanya tak kompatibel. Sebab, materi muatan
perpres ini banyak yang menabrak norma UU yang kedudukannya lebih tinggi
sehingga pelaksanaan norma Perpres No
3/2016 harus dilanjutkan dengan melengkapi atau harmonisasi terhadap UU
terkait.
Hanya dengan melengkapi dan harmonisasi norma hukum terkait,
proyek strategis Jokowi dapat sukses permasalahan hukum, artinya Presiden
Jokowi dan para pelaksana proyek dapat terhindar dari jerat hukum di masa
mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar