Jangan
Jual Pulau, Sewakan Saja
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 02
Februari 2017
Kita
semua tahu bagaimana nikmatnya dianugerahi keberkelimpahan. Laut kita luas,
ikannya banyak. Matahari bersinar tanpa putus-putusnya. Garis pantai panjang
sekali.
Jumlah
pulau-pulau kita sangat banyak, mencapai 17.508, dan membuat kita menjadi
negara kepulauan terbesar di dunia. Tapi negeri kita juga serba-tertinggal.
Infrastruktur payah. Sudah payah, banyak sekali yang mengatakan ini dan itu
tak boleh. Maklum banyak pengamat yang juga menjadi lobbyist tapi tidak
declare. Selama lebih dari 30 tahun, panjang jalan tol yang kita bangun belum
sampai 1.000 km.
Kita
tertinggal jauh daripada negara-negara tetangga. Malaaga listrik bagi rumah-rumah
tangga. Baru sekitar 88% rumah tangga se- Indonesia yang teraliri listrik
(istilahnya, rasio elektrifikasi). Itu sebabnya pada malam hari masih banyak
desa di Indonesia yang gelap gulita. Kita juga tertinggal dalam membangun
bandara.
Itu
sebabnya banyak terminal bandara kita yang penuh sesak, melampaui daya
tampungnya. Itu sebabnya meski kita punya banyak tujuan wisata yang eksotis,
tak banyak wisatawan yang berkunjung ke sana. Kita tertinggal dalam membangun
pelabuhan laut. Sampai saat ini kita baru memiliki 4 pelabuhan internasional
(Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Emas di Semarang, dan
Tanjung Perak di Surabaya).
Saat
ini jarak antarpelabuhan di negara kita masih 3.000-3.500 km. Ini terlalu
jauh. Sebagai perbandingan, jarak antarpelabuhan di Thailand sudah 50 km atau
di Jepang berkisar 15 km. Itu sebabnya nelayan-nelayan di dua negara tersebut
lebih makmur. Banyaknya pelabuhan membuat nelayan-nelayan di sana mudah
menjual ikan.
Sementara
di negara kita, karena jarak antarpelabuhan masih begitu longgar,
penyelundupan terjadi di mana-mana. Dan masih banyak lagi ketertinggalan
kita. Kita masih membutuhkan banyak bangunan sekolah, pasar (termasuk tempat
pelelangan ikan), instalasi pengolahan air bersih, jembatan, banyak rumah
sakit dan seterusnya. Lalu bagaimana kita memenuhinya?
Banyak Wacana
Saya
mengikuti gagasan yang dilontarkan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan
soal penyewaan pulau. Menteri Luhut memang sangat pragmatis. Anda tahu,
kitatercatatmemiliki 17.508 pulau, tetapi 6.000-an di antaranya kosong tidak
berpenghuni. Mau diapakan asetaset yang ”menganggur” tersebut? Dibiarkan
begitu saja atau dimanfaatkan agar menghasilkan penerimaan untuk negara?
Diskursus soal sewa atau jual pulau ini sebetulnya sudah berlangsung sejak
puluhan tahun silam.
Wacananya
sudah berkembang ke mana-mana. Hitung-hitungannya juga sudah ada. Namun
sampai sekarang belum ada keputusan bulat dan mengikat yang kita hasilkan.
Lain pada tataran wacana, lain pula pada kenyataan di lapangan. Kalau pada
tingkat kebijakan tak kunjung putus, di lapangan sudah belasan pulau, konon,
terjual. Sebagian lainnya disewakan. Modusnya, pulau itu disewakan ke orang lokal
dan orang lokal tersebut kemudiannya menyewakannya ke orang asing.
Begitulah
potret birokrasi kita. Lamban, kurang responsif dan antisipatif. Di jajaran
atas pemikirannya kerap melompat jauh ke depan, tetapi di level menengah
bawah eksekusinya begitu lamban. Maklum aturannya berbelit-belit dan kadang
bertentangan, manusianya banyak takutnya karena juga banyak yang
menakut-nakuti. Akibatnya, ketika suatu kebijakan akhirnya keluar, kondisi di
lapangan ternyata sudah banyak berubah.
Maka
jadilah regulasi itu ketinggalan zaman. Lalu ada juga regulasi yang
kualitasnya memprihatinkan. Banyak regulasi yang dibuat dengan kerangka
berpikir masa lalu. Kemudian regulasi itu diutak- atik sedikit supaya
terkesan ada perubahan. Hasilnya adalah regulasi yang hanya maju selangkah ke
muka.
Bukan
lompatan yang menyongsong jauh ke masa depan. Celakanya, Anda tahu, pembuatan
regulasi kadang juga dijadikan proyek. Ada ongkosnya, ada honornya. Mulai
dari honor rapat-rapat, mendatangkan para pakar sampai studi banding. Itu
dilakukan bukan demi kualitas regulasi itu sendiri, melainkan atas nama
proyek.
Pro - Kontra
Baiklah
saya mau memotret sedikitpro-kontra dimasyarakat soal sewa atau jual pulau
ini. Saya sempat browsing ke berbagai milis yang membahas soal penyewaan
pulau. Pro-kontranya kuranglebihbegini. Adayangmemposting keluhan. Ketika dia
dan beberapa koleganya berkunjung ke sebuah pulau di pesisir selatan Sumatera
Barat, kehadirannya ditolak penghuni pulau. Ia penasaran. Laluia tanya
sana-sini. Rupanya pulau itu memang sudah disewa oleh orang asing.
Ketika
dia datang, di sana kebetulan sedang banyak tamu. Ia pun mengungkapkan
kegeramannya. Bagaimana bisa orang asing melarang kita menginjakan kaki di
Tanah Air kita sendiri? Kegeraman tersebut dengan cepat menjadi viral. Lalu
mencuatlah gagasan untuk membuat petisi yang melarang penyewaan pulau-pulau
oleh orang asing. Jadi ramai lagi. Saya sebetulnya agak heran dengan keluhan
tersebut. Saya akan menjelaskannya dengan contoh yang sederhana.
Kalau
Anda punya tiga rumah dan kebetulan dua di antaranya tidak dipakai. Ketimbang
kosong, tidak terawat, dan tidak produktif, Anda memutuskan untuk
mengontrakkan rumah tersebut. Rumah tersebut jadi terawat dan Anda pun
memperoleh penghasilan tambahan. Tapi tentu ada konsekuensinya. Selama masa
sewa, rumah tersebut tentu dikuasai oleh sang penyewa.
Anda
tak bisa sembarangan masuk ke rumah tersebut–rumah yang notabene masih milik
Anda. Kecuali kalau dalam keadaan darurat. Misalnya ada kebakaran, mendengar
suara ledakan dari dalam rumah, atau kejadian yang bersifat force majeure.
Kondisi semacam itu biasanya diatur dalam perjanjian sewa-menyewa.
Apakah
Anda keberatan dengan kondisi tersebut? Sama sekali tidak. Sudah sewajarnya
begitu. Kalau kita mau masuk ke rumah kita yang disewakan tadi, sepantasnya
tentu harus minta izin kepada sang penyewa. Jangan nyelonong begitu saja. Nanti
disangka maling! Dan ada alasan yang jelas untuk apa Anda mesti masuk ke
rumah tersebut.
Begitu
pula dengan penyewaan pulau oleh orang asing atau siapa pun–termasuk oleh
orang lokal. Oleh karena sudah disewa, tentu kita tak bisa sembarangan
keluar-masuk pulau tersebut. Mesti izin kepada sang penyewa. Maka gagasan
petisi tadi–apalagi kalau argumentasinya ”kita tak bisa menginjakkan kaki di
Tanah Air sendiri”– terasa mengada-ada. Ada kesan kita tak tahu aturan.
Utamanya tentang sewa menyewa. Bicara soal sewa pulau, ini menarik.
Pertama,
menurut saya, petisi tadi cermin dari masih kuatnya gagasan tentang owning
ketimbang sharing dan empowering di masyarakat kita. Bagi mereka, lebih
penting memiliki ketimbang memanfaatkannya. Ini tentu pemikiran lama. Kita
harus mulai meninggalkan pemikiran semacam ini.
Kedua,
kita sewakan saja–dan jangan dijual—pulau-pulau kosong dan tak bernama tadi
untuk, katakanlah, hingga 30 tahun ke depan.
Kepada
siapa pun, orang kita atau orang asing. Hanya seluruh uang sewanya mesti
dibayar sekarang. Uang itulah yang kita gunakan untuk mengatasi berbagai
ketertinggalan kita dalam membangun infrastruktur, terutama infrastruktur
yang mendukung industri pariwisata. Selebihnya kita mesti membereskan aturan
soal ini. Kalau bisa perizinannya dibuat satu pintu dan jangan terlalu rigid.
Sekarang ini kesannya kita mau uangnya, tapi tidak membutuhkan penyewanya.
Mana bisa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar