Hubungan
AS-Iran dan Nasib Irak
Ibnu Burdah ;
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam;
Dosen UIN Sunan Kalijaga
|
KOMPAS, 15 Februari 2017
Irak
sepertinya akan menjadi pusat konflik baru antara Amerika Serikat dan Iran.
Menilik berbagai pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan para
pejabat negeri itu, Irak bagi AS di bawah Trump sangatlah penting.
Trump
berargumen, AS sudah menggelontorkan dana dan tenaga sedemikian besar untuk
"pembebasan" Irak dari Saddam Hussein. Menurut dia, AS telah
menghabiskan 3 triliun dollar AS untuk Irak tanpa imbalan apa pun. Sebagai
pedagang, itu bisnis yang benar-benar bangkrut.
Akan tetapi,
pemerintahan Barack Obama meninggalkan begitu saja negeri itu tanpa perolehan
yang berarti. Bagi Trump, keluar dari Irak adalah kesalahan yang sungguh
fatal. Sebab, saat ini, AS seharusnya sedang mengambil laba sebesar-besarnya
dari negara itu. Tentu yang paling diincar adalah sumber minyak.
Pengaruh Iran
Sebaliknya,
Iran dipandang sebagai negara yang memiliki pengaruh sangat besar di Irak
sekarang. Faktanya, kekuatan-kekuatan dalam negeri Irak yang sepertinya dalam
komando Iran sangatlah kuat. Taruhlah kekuatan milisi Syiah terbesarnya,
yaitu al-Hasyd al-Sya'biy, partai-partai politik Syiah, bahkan para penguasa
negeri itu.
Dalam perang
melawan NIIS di Irak saat ini, Iran juga memiliki andil besar. Bagi Iran, Irak adalah harga mati. Irak
adalah garis merah yang tidak boleh diganggu, jangan sampai pasukan AS
kembali. Irak adalah bagian dari blok Syiah yang dipimpin Iran selama ini, di
samping Lebanon-Hizbullah dan Yaman-Houtsi. Selama ini, dalam konstelasi
konflik kawasan, Irak, kendati tak sevulgar Hizbullah, selalu berada di pihak
Syiah, baik itu dalam perang Suriah yang sangat destruktif, di Yaman, dan
lainnya.
Di sisi lain,
Irak sepertinya tak mudah merestorasi stabilitas keamanan dan ekonominya,
sekalipun, misalnya, mereka sebentar lagi mengalahkan NIIS di Mosul. Sebab,
negara itu kemungkinan akan menjadi pusat ketegangan baru antara Iran dan AS.
Apalagi jika Trump bersikeras membawa kembali pasukan masuk ke Irak.
Resistensi kekuatan-kekuatan di negeri itu dan kawasan dipastikan akan sangat
besar.
Nasib sejarah
Nasib sejarah
bangsa Irak beberapa dekade terakhir sungguh kelam. Betapa tidak, lahirnya
pemimpin diktaktor ambisius Saddam Hussein telah menjadi sumber prahara bagi
negara itu. Ia menggeber perang total dengan tetangganya Iran-Persia selama
delapan tahun (1980-1988).
Perang telah
membuat ekonomi negara itu hancur dengan tumpukan utang yang sangat besar.
Sementara negara-negara kaya yang ia lindungi tak mau lagi mengucurkan dana
untuk restorasi Irak pasca perang.
Di tengah
frustrasi dengan keadaan, Saddam Hussein menggebrak Kuwait yang kemudian
melahirkan perang besar dua kali, yakni pada masa Bush dan Bush Jr. Implikasi
dari perang itu tentu sangat besar. Apalagi pasca perang, Irak kesulitan
mewujudkan stabilitas keamanan.
Pertarungan
antarkelompok dan milisi semakin frontal. Hasilnya kurang lebih adalah Syiah
berkuasa dan Kurdi memperoleh otonomi yang luas, sementara Sunni
terpinggirkan.
Inilah yang
antara lain menciptakan situasi bagi lahirnya kelompok yang kemudian disebut
NIIS di bawah pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi dan beberapa pentolan militer
masa Saddam Hussein. NIIS menjadi ancaman bukan hanya bagi Irak dan Suriah,
melainkan juga bagi dunia.
Sepak terjang
kelompok itu di Irak benar-benar mengerikan. NIIS berhasil memproklamasikan
sebuah negara khilafah di wilayah luas Irak dengan pusat kota Mosul. Saat ini
kota Mosul menjadi tempat perang kota yang kemungkinan segera mengakhiri
kekuasaan NIIS di sebagian Irak selama 2,5 tahun lebih.
Prahara NIIS
di Irak kemungkinan akan selesai tak lama lagi. Akan tetapi, Trump, sang
pedagang, bertekad untuk mengambil "hak-haknya dan mengambil laba"
dari kerja keras AS selama ini. Trump sepertinya bersikeras untuk
mengembalikan uang 3 triliun dollar yang digelontorkan AS sekitar tiga dekade
terakhir di Irak dan tentu plus
labanya.
Namun, hingga
kini belum ada sinyalemen jelas langkah konkret apa yang akan diambil Trump
untuk mengembalikan uang AS di Irak itu. Apa ia akan kembali menggeber
pasukan di Irak? Jika Trump memaksakan kembalinya tentara AS ke Irak, itu
pilihan yang mengerikan.
Ia mungkin saja
mengambil opsi lain yang lebih lunak, yaitu
membela kekuatan-kekuatan Sunni atau Kurdi. Jika kelompok Sunni yang
didukung, itu tentu akan menyenangkan sekutu-sekutu Arab Teluk mereka. Jika
Kurdi yang didukung, itu bisa bermakna ganda yang menguntungkan mereka
Pertama,
membuat kekuasaan Syiah berkurang dan
kedua membuat marah Iran karena itu berpotensi domino di Iran. Trump
sepertinya tak begitu hirau dengan kemungkinan terpecahnya Irak jika aspirasi
Kurdi didukung kekuatan besar. Yang penting bagi orang semacam dia adalah
laba dan mungkin itulah yang ia maksudkan sebagai kejayaan AS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar