Go
Public, untuk Siapa?
Nicky Hogan ;
Direktur Pengembangan BEI
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Februari 2017
PERTENGAHAN
Januari kemarin saya berkesempatan bertemu pemilik perusahaan yang sedang
berencana melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), menjual sebagian sahamnya
kepada publik. Di ruang rapat kantornya yang nyaman, pengusaha muda daerah
itu banyak menuturkan kegiatan usahanya dan beberapa rencana ke depan.
Sampai di satu
momen ketika beliau menyampaikan sebenarnya beberapa institusi asing sudah
melakukan pendekatan untuk menawarkan perusahaannya go public di luar negeri,
saya tidak tertarik karena mengusik nasionalisme saya. Hati saya bergetar dan
bersorak.
Menjadi
perusahaan publik atau istilahnya emiten yang tercatat di BEI, seperti kita
tahu, memberikan banyak manfaat untuk perusahaan. Akses pendanaan murah dari
masyarakat pasar modal, mendongkrak kinerja dan citra perusahaan,
meningkatkan tata kelola perusahaan ke level yang lebih tinggi, hingga
melancarkan proses regenerasi kepemimpinan perusahaan, khususnya untuk
perusahaan keluarga.
Itu hanya
sebagian saja keuntungan perusahaan yang menyandang embel-embel terbuka
(tbk). Bursa efek, di mana pun di seluruh dunia, seyogianya berkah.
Berkah untuk siapa?
Kalau di atas
tadi disebutkan beberapa manfaat untuk perusahaan-perusahaan go public, yang
hingga saat ini tercatat di BEI sebanyak 535 perusahaan, banyak di antaranya
telah menikmati berkah keuntungan go public. Setelah menjadi perusahaan
publik, kemudian membesar, dan terus meraksasa. Kenaikan kinerja
berlipat-lipat selama bertahun-tahun dan market kapitalisasi (baca: 'harga'
perusahaan) yang membumbung tinggi, dengan pengelolaan perusahaan pada level
good corporate governance yang baik.
Berkah
tentunya juga diperoleh masyarakat yang menjadi investor, yang membeli saham
dan menjadi pemegang saham dari perusahaan-perusahaan publik tersebut. Keuntungan
dan kinerja baik perusahaan tentunya akan memberikan bagian keuntungan
(dividen) kepada setiap pemegang sahamnya, demikian pula potensi kenaikan
harga saham dari waktu ke waktu. (Indeks harga
saham gabungan atau IHSG yang menggambarkan pergerakan rata-rata seluruh
saham di BEI menunjukkan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Indonesia
ialah negara dengan kenaikan indeks harga saham tertinggi di dunia, 193%). Selain
merupakan berkah, bursa efek ialah 'agen' pemerataan kesejahteraan.
Beberapa saat
lalu, BEI mengangkat isu perusahaan-perusahaan multinasional yang
mengeksploitasi hasil alam Indonesia, tetapi tidak mencatatkan saham di dalam
negeri, bahkan lebih memilih tercatat di luar negeri. Yang menikmati dividen
dan keuntungan langsung pada akhirnya toh bukan masyarakat Indonesia,
melainkan para investor asing di luar sana. Istilah 'tidak elok' memang pas
untuk kondisi ini.
Di sisi lain
ternyata masih banyak pula perusahaan-perusahaan yang 'mengeksploitasi'
masyarakat. Menjadikan rakyat Indonesia sebagai basis konsumen terbesarnya,
menjual produk dan jasanya, menikmati keuntungan besar selama bertahun-tahun,
tapi juga tidak menjual sahamnya kepada masyarakat, tidak mengembalikan
sebagian keuntungannya kepada masyarakat, tidak memberikan kesempatan kepada
masyarakat turut menikmati.
Mereka tetap
bertahan sebagai perusahaan privat, bukan publik, dan menutup sama sekali
kemungkinan masyarakat Indonesia menjadi bagian dari kepemilikan sahamnya.
Kenapa tidak berbagi?
Saya teringat
kembali awal tahun ini di acara pembukaan perdagangan di lantai bursa,
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan dalam sambutannya manfaat
masuk bursa bukan hanya untuk perusahaan, melainkan juga untuk masyarakat
umum. Menjadi perusahaan publik ialah menjadi aset negara. Perusahaan publik
yang mendapatkan keuntungan, tidak lagi eksklusif, tetapi juga menguntungkan
masyarakat Indonesia.
Di tengah
gencarnya peningkatan literasi dan inklusi keuangan nasional, yang ujungnya
akan bermuara ke kesejahteraan masyarakat, serta gerakan penambahan jumlah
investor pasar modal Indonesia, salah satu pesan terbaik yang sering kali
disampaikan kepada masyarakat calon investor dan investor baru ialah pakai
produknya, beli sahamnya.
Lalu kalau ada
investor yang bertanya, tapi perusahaannya belum go public? Rasanya saya kok
belum cukup tega untuk mengatakan 'ganti'. Beli produk yang perusahaannya
sudah go public.
Sementara itu,
saya hanya mampu membayangkan di satu titik, di suatu masa nanti, alangkah
makmur dan sejahteranya bangsa ini. Perusahaan menjual produk kepada
masyarakat (baca: pemegang sahamnya) dan masyarakat membeli produk dari
perusahaan milik mereka sendiri. Banyak pemilik perusahaan yang saat ini
sudah di titik itu tentunya. Tinggal kebaikan hati untuk berbagi dan membantu
mengantar masyarakat ke masa makmur dan sejahtera itu.
Seperti
pengusaha muda kita tadi, semoga nasionalisme Anda terusik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar