Dua
Putaran dan Akuntabilitas Survei
Ismatillah A Nu’ad ;
Peneliti
Indonesian Institute for Social
Research and Development, Jakarta
|
JAWA
POS, 16
Februari 2017
BERDASARKAN
quick count maupun exit poll sekian lembaga survei seperti Lingkaran Survei
Indonesia (LSI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Poltracking
Indonesia, dan Indobarometer, tampaknya, Pilgub DKI Jakarta akan berlangsung
dalam dua putaran. Sebab, perolehan suara pasangan Ahok-Djarot dan
Anies-Sandi hanya berbeda tipis sekitar 4 persen. Ahok-Djarot lebih unggul.
Sementara itu, perolehan suara Agus-Sylvi jauh terpaut dari dua pasangan
calon (paslon) lainnya.
Namun, hasil
survei lembaga-lembaga tersebut tidak boleh dijadikan tolok ukur akhir.
Sebab, real count KPU DKI pada Maret nantilah yang resmi harus menjadi
pegangan semua pihak. Hasil sekian lembaga survei itu hanya berfungsi sebagai
pembanding real count KPUD supaya hitungan pilkada DKI bisa terukur secara
berimbang.
Meski,
beberapa pihak masih menganggap lembaga-lembaga survei harus bekerja netral,
tidak boleh berpihak kepada salah satu paslon. Untuk menghindari stereotipe
dan subjektivitas hasil survei, mari kita lihat filosofi dan pendekatan
metodologi yang digunakan lembaga survei.
Selama ini,
para penggiat survei selalu mengagungkan logika: ’’Jika ingin mengetahui
jenis darah dalam tubuh, Anda tak usah repot-repot memberikan semua darah
Anda, tapi cukup setetes saja. Sebab, dari setetes, sudah merepresentasikan
semua darah yang terkandung di tubuh.’’
Sepintas,
logika itu benar jika dinisbatkan pada soal ilmu pasti (scientific science).
Sebab, selama ini jika kita ingin mengetahui golongan darah di tubuh, seorang
dokter hanya mengambil setetes darah yang diambil dari salah satu jari kita.
Namun, apakah
logika yang sama bisa digunakan atau dibangun untuk mengukur kemajemukan
pemilih dalam ilmu sosial atau politik (social science)? Sementara itu, sifat
ilmu pasti memang sangat tepat dan tidak berubah: dari dan sampai kapan pun,
misalnya, 1 + 1 = 2. Sejak dulu hingga kini satu ditambah satu sama dengan
dua, tak pernah berubah. Itulah yang membedakannya dengan ilmu sosial yang
sangat dinamis serta mudah berubah.
Clifford
Geertz (1977) pernah berkata, ’’The way in which mathematicians and
physicists and historians talk is quite different, and what a physicist means
by physical intuition and what a mathematician means by beauty or elegance
are things worth thinking about.’’ Maksudnya, ada perbedaan cara pandang,
persepsi, kerangka berpikir, dan tentu juga hasil antara ahli ilmu pasti dan
ilmu sosial. Karena itulah, jangan mengandaikan atau melogikakan ilmu pasti
untuk diterapkan pada ilmu sosial.
Pertanyaan
lain, apakah tingkat independensi antara surveyor dan responden benar-benar
terjaga? Sebab, selama ini ditengarai atau terdapat kesan, ada penggiringan
wacana dari surveyor ke responden sehingga akhirnya responden memilih salah
satu pasangan yang dikehendaki surveyor yang notabene ’’pesanan’’ salah satu
pasangan tertentu. Sangat langka lembaga survei yang benar-benar netral dan
terbebas dari kepentingan politik.
Di Amerika
sebagai negara bapak demokrasi, ternyata juga terjadi kontroversi lembaga
survei. Lembaga survei dianggap lebih tertarik pada industrialisasi dan
bisnis atau pembentukan opini publik dengan menarik perhatian media massa
daripada mengungkap opini publik yang sesungguhnya. Salah satu lembaga survei
terbesar di AS bernama Gallup Poll yang dianggap sebagai think-thank
pembentuk opini publik lewat survei maupun polling-polling-nya. Gallup ditengarai
berselingkuh dengan kekuasaan yang menginginkan tercapainya kesuksesan
politik di Negara Paman Sam.
Lagi pula,
banyak warga yang menganggap lembaga-lembaga survei memang tidak netral dari
politic of interest tim sukses untuk memenangkan pemilihan. Selain itu,
kinerja lembaga survei dianggap hanya menjadi the opinion makers, yang hendak
memengaruhi pemilih kepada salah satu calon. Tak ayal, lembaga survei tidak
malah menumbuhkan iklim demokratisasi publik, melainkan menebar kebohongan
publik lewat hasil-hasil survei maupun polling yang dibuatnya.
Karena itulah,
banyak orang yang selalu mewanti-wanti dan bertanya-tanya soal tingkat
independensi lembaga survei. Apakah lembaga tersebut memiliki interes politik
ataukah benar-benar independen. Tampaknya, yang pertama lebih mendominasi
daripada yang kedua. Karena itulah, lembaga survei perlu dikawal agar tidak
menyalahgunakan wewenang dan kebebasan berpendapat.
KPU sebagai
penyelenggara sebenarnya telah menerbitkan Peraturan KPU Nomor 40 Tahun 2008
tentang Partisipasi Masyarakat. Peraturan itu, antara lain, mewajibkan semua
lembaga survei mendaftarkan diri ke KPU. Selain itu, lembaga survei
diwajibkan mencantumkan sumber dana dan metodologi dalam melakukan survei.
Ada dua
persoalan yang menjadi bahan masukan bagi lembaga-lembaga survei. Pertama,
lembaga-lembaga itu harus memperbaiki kinerja dan menjaga independensi.
Jangan sampai hasil-hasil survei yang dibuat menimbulkan dilema di masyarakat
atau secara lebih jauh membingungkan masyarakat. Kedua, para pemimpin lembaga
survei tidak boleh merangkap sebagai konsultan politik, tim sukses, atau tim
kampanye yang jelas hal tersebut sangat merugikan kepentingan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar