Badai
Pasti Berlalu
M Subhan SD ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 16 Februari 2017
Pesta telah
usai. Perhelatan politik pemilihan kepala daerah sudah berlalu kemarin. Harus
diakui bahwa situasi kemarin ternyata jauh dari kecemasan selama ini. Pilkada
nyatanya aman-aman saja. Bahkan, Pilkada DKI Jakarta yang selama kampanye
sengitnya luar biasa, ternyata dingin-dingin saja pada hari pencoblosan. Di
100 daerah lain yang sama-sama menggelar pilkada serentak, sampai kemarin
juga dikabarkan berlangsung aman. Demokrasi terkadang menggusarkan saat warming up, tetapi menyejukkan ketika cooling down.
Mengenai siapa
yang unggul bisa terbaca dari hasil hitung cepat, tetapi tetaplah hasil resmi
adalah putusan Komisi Pemilihan Umum Daerah. Akan tetapi, di Jakarta, hasil
hitung cepat memperlihatkan bahwa pesta belum usai. Sebab, tidak ada pasangan
calon yang meraih suara 50 persen plus 1 suara. Hasil hitung cepat Kompas,
pasangan Agus-Sylvi meraih suara sekitar 17,37 persen, Basuki-Djarot sekitar
42,87 persen, dan Anies-Sandi sekitar 39,76 persen.
Pilkada DKI
Jakarta ibarat sinar lampu yang diburu ribuan laron. Namun, pilkada bukan
cuma di Jakarta. Masih ada 100 daerah lain (tujuh di antaranya pemilihan
gubernur) yang menggelar pilkada serentak pada Rabu kemarin. Di Banten,
misalnya, hasil hitung cepat sangat tipis perbedaannya, tak sampai 1 persen antara
pasangan Wahidin Halim-Andika Hazrumy dan pasangan Rano Karno-Embay Mulya
Syarief. Perbedaan kurang dari 1 persen tersebut tentu saja amat riskan. Bisa
berujung pada sengketa pilkada.
Pesta
demokrasi lokal selama ini memang sangat berisik. Kegaduhan tak
henti-hentinya. Panggung politik di negeri ini rasanya sulit ditebak. Minggu
tenang yang dikira benar-benar menjadi hari-hari yang menenangkan ternyata
tidak juga. Satu hari menjelang hari-H pencoblosan, panggung politik terus
bergejolak, tak bisa ditenangkan. Suhu politik semakin menggelegak. Rasanya
tak ada artinya lagi saat atribut kampanye diturunkan dari ruang-ruang
publik.
Paling
mencolok adalah "pusaran angin" setelah mantan Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi yang juga mantan narapidana, Antasari Azhar, mendatangi
Badan Reserse Kriminal Umum (Bareskrim) Polri, Selasa (14/1), mencari titik
terang kasus yang menimpa dirinya. Ketika memberi keterangan pers, Antasari
membuka bocoran tentang nasibnya yang dicurigai sebagai sebuah skenario
besar.
Secara jelas,
Antasari me-mention Cikeas, yang
dikonotasikan pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden dua periode
era 2004-2014. Antasari menyatakan bahwa Hary Tanoesoedibjo diutus Cikeas
untuk meminta agar Aulia Pohan, besan SBY atau mertua Agus Harimurti
Yudhoyono yang jadi tersangka kasus korupsi, tidak ditahan.
Malam harinya,
SBY bereaksi bahwa "nyanyian" Antasari tak lepas dari Pilkada DKI
Jakarta. Pertarungan sangat sengit sejak munculnya tiga pasangan calon di
Jakarta. Kampanye negatif dan kampanye hitam bukan main serunya. Bahkan, di
Pilkada DKI Jakarta, isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menguat
keras. Hampir-hampir kebinekaan Indonesia terancam. Pilkada DKI Jakarta
menjadi politik "tumpas kelor" (zero
sum game). Sentimen etnik dan agama membuat persaingan politik
berlangsung sangat keras.
Kini, sebagian
besar pesta telah usai. Tanpa pertumpahan darah pula. Nyatanya rakyat semakin
dewasa berdemokrasi. Hanya saja, di Jakarta mungkin masih diterpa "badai
politik" karena pesta belum dibereskan. Namun, pengalaman putaran
pertama mestinya menjadi pelajaran berharga. Kata Chrisye, "musim itu telah berlalu/matahari
segera berganti/badai pasti berlalu". Kecuali jika elite politik
kita termasuk mereka yang belum dewasa berdemokrasi dan haus kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar