Wacana HAM dalam Syariat Puasa
Busman Edyar ;
Kandidat Doktor Pascasarjana
UIN Jakarta;
Dosen Syariah STAIN Curup
Bengkulu
|
MEDIA INDONESIA,
15 Juni 2016
KEBIJAKAN Pemkot Serang,
Banten, yang menutup usaha warung makan pada siang Ramadan patut dikaji
ulang. Kita tak bisa menutup mata bahwa di antara masyarakat ada yang
menggantungkan hidup dengan usaha warung makan. Dari warung inilah mereka
mengasapi dapur dan keperluan survival lainnya. Sekiranya mereka menghentikan
aktivitas usaha, siapa yang menjamin kelangsungan hidup mereka?
Seyogianya antara keinginan
beribadah secara khusyuk dan keinginan untuk tetap berusaha di bulan puasa
tak perlu dipertentangkan. Keduanya merupakan hak asasi yang mesti didapatkan
setiap manusia. Agama pun menghendaki keduanya berjalan secara bersamaan.
Puasa untuk memenuhi kebutuhan mental spiritual, sementara berusaha mencari
rezeki ialah untuk survival. Karena itu, antara satu dan lainnya tak perlu
saling menafikan.
Tidak terkecuali pada bulan
Ramadan ini, merupakan kebijakan yang keliru bila atas nama puasa, semua
kegiatan rutin harus berhenti total.
Allah SWT yang mewajibkan puasa
tetap memberikan alternatif bagi orang yang tidak mampu berpuasa. Dalam QS 2:
184, Allah tegaskan, bagi orang yang sakit, musafir (dalam perjalanan), dan
orang yang sudah tua, boleh tidak puasa. Termasuk di dalam ini wanita yang
lagi haid (HR Bukhari dan Muslim). Para ulama menambahkan ketidakbolehan
puasa itu bagi buruh yang bekerja dengan pekerjaan berat, wanita hamil, dan
wanita menyusui (Sayyid Sabiq dalam Fiqh al Sunnah).
Adanya rukhsah (kemudahan) ini menunjukkan apresiasi yang luar biasa
dalam Islam untuk mengakomodasi hak asasi orang yang tidak mungkin berpuasa.
Artinya, kewajiban puasa tidaklah serta-merta diberlakukan tanpa
memperhatikan kondisi yang diperintah. Dalam konteks itulah kebutuhan pada
warung makan jadi tak terhindarkan.
Selain itu, harus kita cermati
dua hal penting; pertama, sesuai dengan maknanya yang berarti menahan, puasa
lebih berorientasi ke dalam dan berbentuk perenungan, serta introspeksi diri.
Ibadah puasa merupakan ibadah face to
face hamba dengan Tuhannya. Tidak ada yang tahu seseorang puasa atau
tidak kecuali yang bersangkutan dengan Tuhannya. Bisa saja seseorang
menampilkan diri pura-pura puasa, padahal tidak. Karena itu, dalam mewajibkan
syariat puasa ini (QS 2: 183), Allah menggunakan kata-kata `wahai orang-orang
yang beriman' dan tidak menggunakan kata-kata `wahai manusia', sebagaimana
dalam perintah-Nya yang lain. Hal itu menunjukkan yang sanggup menjalankan
puasa secara benar hanyalah orang-orang yang benar-benar beriman.
Demikian juga halnya dengan
hadis Nabi SAW yang menyatakan orang yang berpuasa dengan penuh iman (bukan
sekadar ketahanan fisik) akan diampuni dosanya yang telah berlalu. Atau
penegasan Allah dalam hadis qudsi yang menyatakan puasa sebagai ibadah yang
khusus buat Dia, dan Dia-lah yang akan membalasnya secara langsung (HR Ahmad,
Muslim, dan Nasa'i). Dengan demikian, ibadah puasa tidak ada kaitannya dengan
kegiatan ofensif ke luar, apa lagi sampai menghalangi orang lain untuk
berusaha dan beraktivitas secara normal.
Kedua, sebagaimana mendapat
jaminan dalam UU (UU No 39/1999 ten tang HAM), mencari rezeki ialah hak asasi
yang juga dilindungi Islam. Tak ada dalil qath'i
yang melarang bisnis makanan di bulan puasa. Sebaliknya, banyak sekali nash yang mewajibkan kita untuk
berusaha mencari rezeki ini. Bahkan Nabi SAW menyebut orang yang mau berusaha
sebagai fi sabilillah (orang yang
berada di jalan Allah).
Pada suatu ketika, seseorang
yang terlihat sangat tekun dan rajin bekerja berjalan melewati Nabi dan para
sahabat. Sahabat berkomentar: “Ya, Rasulullah, alangkah baiknya kalau orang
ini berada dalam fi sabilillah.“ Kata
Rasulullah: “Sekiranya ia berangkat
untuk mencari nafkah bagi anak-anaknya yang masih kecil, ia fi sabilillah.
Begitu juga kalau ia berusaha untuk kedua orangtuanya yang telah sepuh, ia fi
sabilillah. Bahkan kalau ia berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya
sendiri, ia tetap dihitung fi sabilillah. Lain halnya kalau ia bekerja karena
riya dan bermegah-megahan, ia di jalan syaithan” (HR Thabrani dari Ka'ab
bin `Ajrah).
Dalam QS 62: 10 Allah
berfirman: “Kalau kalian sudah selesai salat (beribadah), segeralah mencari
karunia Allah,“ dan dalam QS 17: 77 “Berusahalah untuk masa depan akhirat,
tapi jangan lupa usaha untuk kebutuhan dunia.“ Dengan kata lain antara ibadah
dan kegiatan muamalah haruslah dilakukan secara beriringan.
Menuju puasa substantif
Sekalipun puasa diwajibkan
setiap tahun, masih banyak yang terjebak dalam sekadar rutinitas tahunan.
Padahal, puasa bukanlah sekadar menahan rasa lapar dan haus. Namun, sejauh
mana kita mampu mengaktualisasikan substansi puasa tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Minimal akan terlihat dalam dua hal, pertama, kemampuan menahan
ego pribadi. Puasa mengajarkan kita untuk menahan diri dari makan atau
melakukan sesuatu yang halal selama puasa maka apalagi terhadap yang tidak
dibolehkan atau terlarang, tentu kita harus bisa menahan juga. Kehendak untuk
dihargai orang yang tidak puasa paralel dengan kewajiban menghormati orang
yang tak puasa dan orang yang berusaha di bulan puasa pula. Sebaliknya,
memaksa orang lain ikut schedule
orang yang puasa jelas tidak sesuai dengan semangat menahan ego pribadi yang
diajarkan puasa.
Kedua, saatnya meningkatkan
kepekaan sosial kita bagi kelompok duafa. Rasa lapar dan haus yang kita
tanggung selama puasa merupakan rasa harian yang acap kali mereka rasakan
sekalipun bukan bulan puasa. Karena itu, memberikan perhatian yang lebih,
memberi mereka kesempatan berusaha secara wajar dan tidak mengeluarkan
kebijakan yang mempersempit ruang gerak kegiatan usaha mereka, merupakan
pengejawantahan nilai-nilai puasa yang kita lakukan.
Kemampuan kita
mengaktualisasikan substansi puasa inilah yang bisa menghantar kita menjadi
orang takwa sebagaimana disebut dalam QS 2: 183. Kalau kita gagal
mengaktualisasikan ini, bersiaplah jadi orang yang dikatakan Nabi sebagai
orang yang menjalankan puasa, tetapi tak beroleh apa-apa kecuali hanya
beroleh lapar dan haus. Ala kulli hal,
puasa bukanlah segalanya, tetapi hanya satu tahapan pencerahan yang harus
dilalui setiap muslim agar bisa lebih baik, baik terhadap Allah maupun
terhadap sesama manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar