Otonomi Tubuh dan Perilaku Seksual
Andy Ahmad Zaelany ;
Peneliti Puslit Kependudukan
LIPI
|
MEDIA INDONESIA,
15 Juni 2016
GUYONAN remaja: "Puasa Ramadan itu tidak hanya menahan
angry (marah) lho, tapi juga bird (seksual)." Guyonan ini memperoleh
momentum yang tepat dengan keprihatinan banyak orang akan kondisi bangsa
Indonesia yang sudah darurat pergaulan bebas. Di sisi lain, datangnya bulan
Ramadan merupakan harapan berubahnya masyarakat dengan perilaku seksual
terjaga.
Ada sesuatu yang sudah berubah drastis dalam masyarakat kita.
Penulis ingin mencoba menelusuri akar perubahan itu.
Pikiran saya melayang ke 1982, yakni seorang rekan mahasiswi
bercelana jins datang menghadiri kuliah di salah satu kampus di Kota
Yogyakarta. Dia dilarang mengikuti kuliah oleh dosen, bahkan disuruh pulang.
Dia diharuskan mengganti celana jinsnya dengan rok. Celana jins dianggap male
style, pemakainya dianggap kelaki-lakian.
Ternyata tidak memakan waktu lama, pemakaian celana jins
menyebar ke mana-mana dan menjadi lambang generasi muda yang gesit dan aktif.
Tahun 1990-an sudah menjadi pemandangan biasa pemuda pemudi menggunakan
celana jins ke ruang publik, termasuk ke kampus. Perubahan ini dalam
kehidupan sehari-hari tidak hanya terkait dengan aktivitas, tetapi juga cara
pandang terhadap tubuh (korporealitas).
Di masa lalu, orang memandang tubuh sebagai sesuatu yang sakral,
yang harus ditutupi sepatutnya. Pandangan ini semakin sempurna ketika tren
penggunaan jilbab mewabah di kalangan perempuan. Tubuh ialah sesuatu
pemberian Tuhan yang harus diperlakukan sesuai kaidah religius. Manusia
bersikap menghormati tubuh sebagai sesuatu yang suci. Pernikahan merupakan
pranata resmi yang harus ditempuh sebelum berhubungan dengan lawan jenis.
Bahkan, sentuhan fisik dengan lawan jenis pun harus diupayakan seminimal
mungkin sebelum memasuki jenjang pernikahan.
Bersamaan dengan derasnya globalisasi, yang di antaranya semakin
gencarnya adopsi fesyen ala western, pakaian-pakaian yang relatif menonjolkan
bagian tubuh tertentu dan cenderung membuka sebagian tubuh menjadi tren di
kalangan masyarakat. Salah satu dampak globalisasi ialah desakralisasi
terhadap tubuh. Tubuh ialah milik pribadi (private property) yang kita
sendiri memutuskan penggunaannya. Tubuh hanyalah dilihat sebagai materi
profan, benda biasa seperti benda-benda lainnya yang seyogianya dinikmati
untuk memperoleh kebahagiaan.
Otonomi tubuh
Kata 'kodrat' (biologi) sering dipakai untuk menjelaskan kenapa
perempuan menstruasi, menyusui, dan melahirkan. Istilah tersebut juga sering
digunakan untuk suatu konstruksi sosial bahwa pria dan perempuan memang
berbeda dengan pria lebih superior. Salah satu implikasinya, perempuan tidak
'autonomy' terhadap dirinya, terhadap tubuhnya. Korporealitas perempuan hanya
bagian dari kehidupan kaum pria (koerper sein). Perempuan secara kultur sulit
untuk berkuasa terhadap tubuhnya, yang bisa dilihat dari pembuatan-pembuatan
keputusan terhadap kehidupannya.
Kalau perempuan berani mengatakan 'tidak' dan menuntut berbagi
kerja rumah tangga dengan suami dan anggota keluarga lainnya, serta kalau
perempuan berani mengatakan 'tidak' untuk bekerja di usaha keluarga karena
kelelahan, dikatakanlah dia otonom terhadap tubuhnya (koerper haben)(B
Hauser-Schaeublin dan Verena Stolcke, 2000).
Revolusi jins mengembangkan sikap otonomi terhadap tubuh. Tubuh
ialah miliknya sehingga dirinya lah yang paling berhak memutuskan penggunaannya.
Berkembanglah sikap emansipasitoris di kalangan generasi muda yang mendorong
kaum muda aktif dalam kegiatan sehari-hari. Capaian dan kemajuan yang
diperoleh generasi muda, khususnya kaum perempuan semakin terlihat nyata.
Dampak lain dari sikap ini ialah memudahkan dalam mengadopsi western fashion.
Perilaku seksual
Bersamaan dengan menguatnya sikap otonomi tubuh, perilaku
seksual masyarakat juga berubah. Di masa lalu, perilaku seksual dipandang
sebagai sesuatu yang suci, dianggap tabu melakukannya secara sembarangan, dan
dianggap juga sebagian dari ritual yang dinilai ibadah. Namun, kini berubah
dengan melihat tubuh hanya sebagai materi biasa.
Perilaku seksual pun cenderung lebih bebas. Sentuhan-sentuhan
fisik antarlawan jenis menjadi kurang terkontrol oleh norma religius.
Tidaklah mengherankan bila kini semakin meningkat tren pergaulan bebas.
Aktivitas puasa Ramadan diharapkan akan mengubah kondisi ini menjadi
masyarakat dengan perilaku seksual terjaga. Sesungguhnya ideologi otonomi
tubuh merupakan suatu pengembangan mentalitas yang baik bila saja tidak
mengubah nilai budaya yang menghargai kesakralan tubuh! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar