Kontroversi Perda Nirtoleransi
Zainal Arifin Mochtar ;
Pengajar Ilmu Hukum dan Ketua
Pukat Korupsi
pada Fakultas Hukum UGM
Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA,
14 Juni 2016
BERAWAL dari Peraturan Daerah Kota Serang No 2 Tahun 2010
tentang Penyakit Masyarakat, Pemkot Serang, Banten, lalu melakukan penegakan
dalam bentuk razia di berbagai tempat yang menjual makanan di siang hari.
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang diembani tugas untuk melakukan
penegakan hukum atas perda tersebut lalu melakukan razia yang eksesif dengan
bentuk penyitaan. Sang pemilik warung menangis di hadapan media, berita yang
menjadi viral kemudian berubah menjadi pembicaraan publik yang besar.
Ada sekian banyak problem yang mungkin dianalisis. Pertama,
apakah perda diperbolehkan mengatur hal-hal yang sangat nirtoleransi seperti
itu. Kedua, analisis terhadap prosesi pembuatan perda. Ketiga, apakah yang
harusnya dilakukan untuk antisipasi hal tersebut.
Secara hukum, perda hanya dapat dibuat dalam rangka menjalankan
tugas otonomi dan perbantuan, serta dalam hal tertentu dapat dibuat dalam
kerangka menjalankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Memang,
kemudian dibuatkan konteks di luar hal tersebut, yakni dalam kerangka
menjalankan materi muatan lokal, tetapi tetap saja ‘dibelenggu’ dengan
ketentuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Muatan lokal
Di sinilah menariknya melihat Perda tentang Penyakit Masyarakat
tersebut. Paling mungkin, perda itu dianggap menjalankan muatan lokal tentang
penyakit masyarakat. Akan tetapi, tentu saja sulit untuk dikatakan apakah ada
kesesuaian muatan tersebut dengan peraturan perundang-undangan. Penyakit
masyarakat secara antropologis dan sosiologis biasanya diidentikkan dengan
narkoba, miras, judi, maksiat, anak jalanan, dan lainnya yang dianggap sangat
mengganggu masyarakat. Yang menarik, mengapa kemudian problem membuka warung
di tengah hari kala puasa ialah bagian yang dianggap sebagai penyakit
masyarakat dan mengganggu masyarakat?
Kondisi objektif serta penalaran yang wajar sangat mungkin
menerima perilaku membuka warung di siang hari kala puasa. Bahkan dalam
perintah agama ada kemungkinan bagi orang muslim untuk tidak berpuasa semisal
halangan, menyusui maupun sakit. Tentu saja menjadi aneh jika menjual makanan
pada kelompok orang ini pun dianggap sebagai bagian yang masuk kategori
penyakit masyarakat. Belum lagi jika dilebarkan analisisnya ke Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang bukan negara agama, tetapi penganut sila
pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, kembali menjadi
pertanyaan, apa yang ada di kepala para pembentuk peraturan daerah ini ketika
membentuk konsep hukum penyakit masyarakat yang memasukkan larangan membuka
warung saat Ramadan.
Kedua, tentu saja kaitan dengan pertanyaan di atas yakni soal
prosesi pembuatan perda itu sendiri. Memang sering kali dinisbahkanlah bunyi
muatan lokal peraturan daerah itu kekeinginan masyarakat lokal tatkala
pembentukan peraturan daerah. Semisal perda Serang ini, Wali Kota mengatakan
hal tersebut merupakan masukan kaum alim ulama dan tokoh masyarakat Kota
Serang serta didukung sepenuhnya oleh mereka.
Partisipasi publik
Inilah yang sering menjadi catatan terbesar dari pembentukan
peraturan perundang-undangan. Sering kali, terjadi pengerdilan public participation yang ala kadarnya
serta merusak prinsip partisipasi itu sendiri. Kritik lama soal public participation yang selama ini
sudah mengecil seiring dengan maraknya proses pengambilan keputusan yang
dalam konteks demokrasi saat ini hanya dikuasakan kepada pasar dan
orang-orang yang dianggap ahli.
Apa yang dituliskan Olle Turnquist, Neil Webster, dan Kristian
Stoke dalam Rethinking of Popular
Representation (2009) menjadi menarik. Sering kali, peraturan kemudian
dirampas orang-orang yang merasa punya otoritas untuk mewakili publik
sehingga sebuah aturan sering kehilangan makna mengatur seluruh rakyat dan
bukan sekadar penerimaan secara oligarkis, baik pasar maupun kalangan ahli.
Alasan bahwa didukung tokoh masyarakat dan kaum alim ulama
tidaklah dapat dijadikan sandaran sejati bahwa perda tersebut sudah benar dan
tinggal dijalankan secara murni dan konsekuen. Masyarakat yang paling kelas
terbawah pun seharusnya punya ruang dalam konsep perda yang wajib disusun
dalam kerangka partisipatif. Pada saat yang sama, inilah kritik terhadap
model legislasi kita yang minim model simulasi dan hanya bertahan pada posisi
partisipasi. Padahal, dalam konsep legislasi bermodel simulasilah akan
ditemukan berbagai kemungkinan dan penyakit bawaan yang akan terjadi dalam
sebuah model peraturan.
Ketiga, tentu yang paling menarik ialah apa yang dapat dilakukan
terhadap perda-perda nirtoleransi macam ini. Bayangan saya, negaralah yang
harus hadir dalam bentuk kekuasaan dan bukan hadir dalam bentuk tindakan
individual. Karena itu, memberikan sumbangan individual seperti yang
dilakukan Presiden Jokowi dan Menteri Dalam Negeri merupakan jauh dari kesan
cukup. Tindakan terlalu individual tersebut tidak akan mengubah apa-apa.
Yang diperlukan lagi-lagi ialah tindakan yang hadir dalam bentuk
negara. Negara memiliki kewenangan executive
review untuk melihat materi muatan perda-perda semacam ini. UU
Pemerintahan Daerah menganut model larangan materi muatan perda yang
bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan
umum dan kesusilaan. Bahkan, dalam konteks ketentuan tentang kepentingan
umum, termasuk di dalamnya ialah ketika aturan tersebut mengganggu kerukunan
warga, mengganggu akses pelayanan publik, mengganggu ketertiban dan
ketenteraman umum, mengganggu kegiatan ekonomi yang meningkatkan
kesejahteraan rakyat serta diskriminasi terhadap suku, agama, kepercayaan,
ras, dan antargolongan serta gender.
Dalam hal itulah, negara harus hadir. Pemerintah pusat dan
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah harus menghadirkan diri
dalam konsep yang lebih substantif mengawal perda-perda tak pas dan punya
daya rusak yang kuat jika dibandingkan dengan perbaikan masyarakat yang
diharapkan.
Selain negara, publik punya hak kuat melalui judicial review. Siapa saja yang
merasa dirugikan dengan perda tersebut bisa membawa ke hadapan Mahkamah Agung
untuk pengujian formil maupun materiil. Tindakan itu pada intinya sebagai
penegas, jangan lagi ada peraturan daerah yang tidak toleran dan merusak
seperti perda tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar