Selasa, 05 Januari 2016

Setelah PKS Merapat ke Jokowi

Setelah PKS Merapat ke Jokowi

  Syamsuddin Haris  ;  Profesor Riset LIPI
                                                       KOMPAS, 05 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dinamika politik nasional seperti tampak dari Jakarta hampir selalu menghadirkan kejutan. Ketika Partai Amanat Nasional belum memperoleh kompensasi politik yang jelas atas dukungannya terhadap pemerintahan Joko Widodo, Partai Keadilan Sejahtera pun menyusul untuk merapat ke Istana. Ada apa dan ke mana arahnya?

Sulit dimungkiri bahwa politik Indonesia sesungguhnya relatif cair. Seperti bunyi sebuah adagium klasik, "tidak ada musuh abadi dalam politik" atau "tidak ada kawan sejati dalam politik". Yang hampir selalu kekal adalah kepentingan yang sama di antara para elite politik itu sendiri. Ironisnya, adagium yang berlaku hampir di semua rezim politik itu selalu menjadikan rakyat dan kepentingan kolektif sebagai korbannya.

Ketegangan politik pasca Pemilu Presiden 2014 sempat mengkhawatirkan kita semua, tetapi akhirnya mencair setelah Prabowo Subianto turut hadir dalam pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Oktober 2014. Sepanjang 2015, tarik-menarik dan ketegangan politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) yang menjadi oposisi dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai gabungan parpol pendukung pemerintah relatif dapat diredam. Melalui, antara lain, peran Luhut Binsar Pandjaitan selaku Kepala Staf Kepresidenan, pemerintah berhasil "menjinakkan" KMP kendati hal itu tidak sepenuhnya gratis.

Ongkos politik dari harmoni semu relasi KMP dan pemerintah, di antaranya, adalah pembayaran dana talangan Rp 781 miliar bagi korban lumpur Lapindo yang bersumber dari APBN. Padahal, itu seharusnya menjadi beban PT Lapindo Brantas, perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie, Ketua Presidium KMP.

Presiden yang kesepian

Ketika KMP relatif dapat dijinakkan, problem terbesar Presiden Jokowi justru datang dari dua poros kekuasaan yang menjadi basis pendukung mantan Wali Kota Solo itu sendiri, yakni partai pengusung dan koalisi partai pendukung. Meskipun diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan selaku parpol pemenang Pemilu Legislatif 2014 dan didukung koalisi longgar KIH (PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI), Jokowi pada dasarnya adalah seorang presiden yang kesepian. Jokowi tak hanya didukung setengah hati oleh Megawati Soekarnoputri dan PDI-P, tetapi juga digerogoti oleh parpol pendukungnya.

Masih segar dalam memori publik bagaimana Jokowi berjuang "sendirian" menghadapi persekongkolan politik KMP-KIH di DPR dalam pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Padahal KPK telah menetapkannya sebagai tersangka, tetapi kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Konflik internal antara partai pengusung dan koalisi parpol pendukung Jokowi versus Presiden Jokowi itu akhirnya berujung kompromi. Presiden atas dukungan publik menarik kembali pencalonan mantan ajudan Presiden Megawati itu sebagai Kepala Polri, tetapi Jokowi tetap membiarkannya menjadi Wakil Kepala Polri.

Kasus mutakhir yang memperlihatkan dukungan setengah hati PDI-P terhadap Jokowi adalah dibiarkannya Panitia Khusus Angket Pelindo II yang dimotori Rieke Diah Pitaloka memberi rekomendasi aneh bagi Presiden Jokowi, yakni mencopot Menteri BUMN Rini Soemarno. Rekomendasi tersebut bukan hanya tidak etis dan tidak masuk akal karena menyimpang dari otoritas DPR, melainkan juga tendensius secara politik.

Seperti diketahui, sejak Kongres Bali, Ketua Umum PDI-P Megawati mensinyalir ada tiga "penumpang gelap" di lingkaran dalam Istana. Banyak kalangan menengarai bahwa tiga orang yang dimaksud Megawati adalah Rini Soemarno, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Andi Widjajanto yang sudah dicopot dari posisi sebagai Sekretaris Kabinet. Rekomendasi Pansus Pelindo II tampaknya terkait erat dengan agenda titipan partai banteng tersebut.

Selain digerogoti basis politik, Jokowi juga tampaknya mulai mewaspadai kemungkinan adanya agenda tersembunyi di balik kebijakan dan langkah politik para anggota kabinetnya sendiri. Kasus "papa minta saham" yang menerpa Ketua DPR Setya Novanto, bagaimanapun, membuka mata Jokowi untuk lebih hati-hati terhadap orang-orang kepercayaan di lingkaran dalam Istana. Jadi, Presiden Jokowi dihadapkan pula dengan perilaku menteri yang mencoba turut mengail di air politik yang keruh. Kecenderungan beberapa menteri yang secara terbuka saling menyalahkan satu sama lain tak hanya memperkuat dugaan ini, tetapi juga memperlihatkan, Jokowi seolah-olah berjuang sendirian.

Mengapa PKS?

Oleh karena itu, ketika akhirnya PAN merapat ke Istana dan beberapa waktu kemudian PKS turut menyusul, Presiden Jokowi dengan tangan terbuka dan sukacita menyambut uluran dukungan itu. Bagi Jokowi, dukungan PAN serta kehadiran PKS tidak hanya menjadikannya "tidak sendiri", tetapi juga memberi ruang lebih lebar bagi mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut untuk bermanuver lebih cerdas dalam menghadapi partai pengusung dan koalisi parpol pendukung.

Pertanyaannya, mengapa PKS yang akhirnya "silaturahim" ke Istana, bukan Golkar atau PPP yang sebelah kakinya sudah mendukung Jokowi? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, secara obyektif PKS menilai bahwa pemerintahan Jokowi-Kalla memperlihatkan kinerja positif sehingga patut diapresiasi. Percepatan pembangunan infrastruktur dan serangkaian paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah harus diakui sebagai bagian dari kinerja positif pemerintah. Seperti sering dikemukakan para petinggi PKS, selama kebijakan pemerintah bersifat pro rakyat, tak ada alasan bagi PKS untuk tidak mendukungnya.

Kedua, bisa jadi PKS mulai merasa jengah juga dengan politik KMP yang tidak jelas arahnya. Alih-alih menawarkan kebijakan alternatif melalui mekanisme legislasi di DPR, KMP terperangkap sebagai koalisi oposisi yang menutup diri dari aspirasi publik. Hal ini, antara lain, tampak dari dukungan KMP terhadap Setya Novanto, padahal secara terbuka tampak jelas bahwa mantan Ketua DPR tersebut melakukan pelanggaran etik dalam kasus "papa minta saham".

Ketiga, PKS, bagaimanapun, melihat pemerintah sebagai sumber daya politik dan ekonomi terbesar bagi negeri ini sehingga secara matematis parpol yang berada di dalam pemerintah dianggap lebih strategis dan "menguntungkan" dibandingkan di luar pemerintah. Pengalaman manis PKS bergabung ke pemerintah selama periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) sangat mungkin menjadi dasar bagi partai tarbiyah ini mengalkulasi ulang peruntungan politiknya. Sebagai sumber daya ekonomi terbesar, pada umumnya parpol kita berharap dapat "mengais rezeki" dari sumber-sumber pemerintah melalui kapitalisasi jabatan publik yang disandang para kader partai.

Keempat, di luar tiga argumen sebelumnya, Muhammad Sohibul Iman sebagai presiden baru PKS benar-benar ingin silaturahim dan memperkenalkan kepemimpinan baru partai berlambang padi diapit bulan sabit berwarna kuning emas ini. Sebagai pemimpin baru PKS, Sohibul Iman tampaknya ingin mengembalikan marwah partai yang sempat luluh lantak di bawah kepemimpinan Luthfi Hasan Ishaaq. Seperti diketahui, sebagai dampak kasus korupsi yang dialami mantan Presiden PKS tersebut, pada Pemilu 2014 lalu PKS kehilangan 17 kursinya di DPR.  

"Reshuffle" tanpa PKS

Walaupun ada indikasi PKS semakin merapat ke Istana, saya berpendapat, Presiden Jokowi belum akan mengajak PKS turut serta dalam Kabinet Kerja. Perombakan kabinet jilid II seperti sinyal yang pernah diberikan Jokowi sangat mungkin difokuskan pada dua target. Pertama, target percepatan kerja dan kinerja kabinet sehingga sangat mungkin Presiden akan mengganti menteri-menteri yang kinerjanya dianggap tidak optimal. Para menteri yang lebih "mencari kesibukan" ketimbang benar-benar sibuk mengimplementasikan Nawacita Jokowi-Kalla pada akhirnya akan dicopot dari kabinet.

Kedua, target keseimbangan politik baru. Dukungan politik PAN terhadap pemerintahan Jokowi-Kalla, bagaimanapun, ada kompensasi politiknya dalam bentuk satu atau dua kursi kabinet. Bagi Jokowi, dukungan dan kehadiran PAN bukan semata-mata dalam rangka perluasan basis politik pemerintah menghadapi parlemen, melainkan juga dalam rangka keseimbangan politik baru dalam lingkaran kekuasaan pemerintah sendiri. Seperti diketahui, di bawah tekanan politik partai pengusung dan koalisi parpol pendukung, Jokowi memerlukan kemitraan PAN. Konsekuensi logisnya, jatah menteri untuk PAN berasal dari jatah menteri koalisi parpol pendukung Jokowi atau jatah menteri dari kalangan profesional yang tidak memiliki basis politik.

Itulah kira-kira realitas politik yang kita hadapi hari-hari ini. Sebuah realitas yang sangat berjarak dengan nasib sebagian rakyat kita yang sangat mungkin tengah bertaruh nyawa dalam ketidakpastian, apakah mereka masih bisa menatap hari esok atau tidak. Semoga saja para elite politik yang asyik bercengkerama dan saling merajuk mempertemukan kepentingan di antara mereka tidak melupakan untuk mencatat hal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar