Selasa, 05 Januari 2016

2016, Membenahi Politik Bersuara

2016, Membenahi Politik Bersuara

  J Kristiadi  ;  Peneliti Senior CSIS
                                                       KOMPAS, 05 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Banyak ungkapan dapat menggambarkan dinamika politik tahun 2015. Namun, hampir semua kalangan sependapat, tahun lalu adalah tahun kegaduhan. Panggung politik membisingkan, riuh rendah, rusuh, serabutan, kadang kala diselingi politik main kayu, lempar kursi, dan sebagainya. Ambang batas kebisingan politik telah melampaui daya tahan gendang telinga masyarakat.

Akibatnya, sebagian masyarakat apatis terhadap politik karena suara yang bergema dari institusi yang rajin mendulang suara rakyat bergema tanpa makna bagi kemaslahatan umat. Berbagai isu politik yang berputar-putar di sekitar kepentingan kekuasaan, seperti pergantian Kapolri, perombakan kabinet, pilkada serentak, kriminalisasi KPK, dan pertarungan internal parpol, hanya memproduksi polusi suara yang menjadikan dunia politik semakin tercemar dan kumuh.

Bersuara tanpa makna secara kasatmata dapat dilihat melalui kinerja lembaga penampung suara rakyat (DPR) pada 2015. Sepanjang perjalanan reformasi politik lebih kurang 17 tahun, kinerja DPR periode 2014-2019 pada 2015 paling buruk dibandingkan DPR periode sebelumnya. Kasus pelanggaran etika tidak kalah menyedihkan. Sebanyak 18 perkara melibatkan anggota DPR dan 2 perkara melibatkan pimpinan DPR di Mahkamah Kehormatan Dewan.

Tingkat tertinggi kebisingan politik yang memekakkan gendang telinga rakyat tahun 2015 adalah sidang MKD mengadili Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus ”catut nama” Presiden dan Wakil Presiden. Banyak kalangan menganggap ”pengadilan” yang seharusnya menegakkan etika gagal karena norma etika hanya direduksi menjadi sekadar deretan huruf tanpa makna. Logika silogisme dalam persidangan jungkir balik berakrobat mengikuti gejolak nafsu kekuasaan, bukan suara rakyat.

Meskipun semua anggota MKD memutuskan yang bersangkutan melakukan kesalahan pada tataran sedang dan berat, sidang berakhir tanpa ”vonis” karena Ketua DPR keburu mundur. Alasannya amat ”mulia”, intinya penghormatan kepada rakyat serta manifestasi kecintaan terhadap Tanah Air, menjaga harkat martabat dan kehormatan DPR. Taburan kata-kata mulia itu amat sulit dirasakan, apalagi dipahami rakyat, di mana kemuliaan itu.

Kausa prima dari politik riuh karena para regulator dalam menyusun regulasi hanya bertumpu pada transaksi kepentingan, mengabaikan etika keadilan. Produk hukum tanpa etika dipastikan merugikan, bahkan menyengsarakan rakyat. Harus diingat, kekejaman yang dilakukan negara tiran serta kolonial kebanyakan didasarkan atas aturan dan hukum, tetapi tanpa keadilan.

Oleh sebab itu, alinea pertama Pembukaan UUD 1945 menegaskan: ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”. Artinya, penindasan dan penjajahan bukan soal regulasi dan undang-undang, melainkan masalah etis, peri kemanusiaan, dan peri keadilan. Itulah sebabnya, selalu dikatakan oleh para bijak, dan dikutip oleh elite, terlepas mereka paham atau tidak, etika adalah landasan hukum tertinggi.

Membenahi politik bersuara dapat dimulai dengan memahami perbedaan antara voice (suara) dan noise (jenis suara yang tidak dikehendaki karena dapat merusak gendang telinga). Dalam khazanah ilmu politik dikenal political voice (suara politik) sebagai institusi yang amat penting dalam masyarakat demokratis. Voice berfungsi mengomunikasikan kepentingan, preferensi, serta aspirasi publik kepada pemegang kekuasaan sehingga mempunyai efek langsung terhadap kebijakan publik agar memihak rakyat. Bersuara secara kolektif mempunyai kekuatan ampuh memengaruhi kebijakan publik.

Tidak berlebihan kalau Hirschman menyebutkan, voice is political action par excellence, bersuara adalah wujud paling utama dari aksi politik (Albert O Hirschman; Exit, Voice, and Loyalty; 1970). Namun, bersuara yang bermakna memerlukan pendidikan dan sosialisasi politik agar warga negara mempunyai civic competence (kompetansi berwarga negara). Kajian yang dilakukan Erik Andersson (The Political Voice of Young Citizens: Educational Condition for Political Conversation -- School and Social Media, 2012), panjang lebar membahas makna percakapan murid-murid di Swedia. Salah satu kesimpulan, betapa penting pendidikan dan sosialisasi politik terhadap generasi muda dipersiapkan agar mempunyai kompetensi berwarga negara karena dalam masyarakat demokratis, percakapan yang berkualitas sangat diperlukan. Bersuara menjadi bermakna, bukan bersuara yang memproduksi kebisingan.

Membiarkan politik riuh tanpa ruh etika seperti manusia tanpa tulang rusuk, lunglai tanpa daya, muaranya rakyat makin sengsara. Politik bising hanya menguras energi bangsa. Belajar dari politik rusuh tahun 2015, suara rakyat harus lebih terkonsolidasi dan fokus sehingga mampu mengontrol ambang batas kebisingan politik. Gema suara rakyat harus jauh melampaui kegaduhan politik yang bersumber dari elite politik. Harus dicegah jangan sampai tubuh politik mengidap penyakit moral insanity, penyakit kelainan jiwa dan buta etika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar